Beranda Hukum HAN 2025, Angka Kekerasan Seksual di Kabupaten Serang Mengkhawatirkan

HAN 2025, Angka Kekerasan Seksual di Kabupaten Serang Mengkhawatirkan

Kasatreskrim Polres Serang AKP Andi Kurniady. (Rasyid/bantennews)

KAB. SERANG – Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 menjadi momen refleksi dan perayaan perlindungan terhadap anak, khususnya di wilayah Kabupaten Serang.

Alih-alih menunjukkan kemajuan dalam perlindungan anak, angka kekerasan seksual terhadap anak justru menunjukkan tren peningkatan.

Berdasarkan data Polres Serang, selama tahun 2024 tercatat sebanyak 42 kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Sementara itu, hingga pertengahan Juli 2025, jumlah kasus serupa juga terjadi yang mencapai angka sebanyak 12 laporan. Angka tersebut dinilai mengkhawatirkan, karena terjadi belum genap satu tahun.

“Kami menangani peningkatan ini dengan tiga pendekatan: otentif, preventif, dan represif,” kata Kasatreskrim Polres Serang, AKP Andi Kurniady, saat dihubungi BantenNews.co.id, Rabu (23/7/2025).

Pendekatan represif, lanjut Andi, dilakukan dengan memberikan hukuman maksimal kepada pelaku.

“Contohnya kasus kekerasan seksual di salah satu pondok pesantren di Cikande. Pelaku dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun penjara,” ucapnya.

Meski begitu, Andi menegaskan penindakan hukum bukan satu-satunya cara yang ditempuh. Pihaknya juga menggandeng UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT-PPA) untuk memperkuat upaya pencegahan kasus serupa.

Kata Andi, sosialisasi dan peningkatan pemahaman tindak kejahatan kekerasan seksual juga rutin dilakukan ke wilayah-wilayah rentan maupun komunitas yang bersinggungan langsung dengan anak-anak.

“UPT-PPA kini hadir di setiap kecamatan. Ini sangat membantu. Salah satu penyebab meningkatnya angka pelaporan adalah karena korban kini mulai berani bicara,” katanya.

Ia mencontohkan kasus lama yang baru terungkap di salah satu SMA Negeri di Kota Serang.

“Itu sebetulnya kasus lama, cuma karena korban kan baru mau melapor dan speak up sekarang,” ujarnya.

Lebih jauh, Andi juga menyebutkan, perubahan sikap korban turut didorong oleh keberadaan pendamping dan edukasi dari pihak terkait.

Baca Juga :  Pemkot Serang Tak Libatkan Anjal di Peringatan Hari Anak

“Dulu, korban sering merasa malu atau takut karena masih ada stigma bahwa menjadi korban kekerasan seksual adalah aib. Sekarang perlahan itu mulai berubah,” tuturnya.

Namun, ia tak menampik, stigma sosial terhadap korban masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk terus melakukan pengawasan dan pelindungan hak-hak korban.

“Korban seharusnya diposisikan sebagai individu yang harus dilindungi, bukan dijauhi,” tegasnya.

Ia juga memastikan, setiap korban yang melapor selalu dibekali dengan pendampingan psikologis untuk menghilangkan trauma dari hal buruk yang menimpanya.

“Harus (ada pendampingan). Itu wajib. Tidak hanya saat proses hukum berlangsung, tapi juga pasca penahanan pelaku,” tutupnya.

Penulis : Rasyid
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd