KAB. SERANG – Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Serang mencatat masih banyak pasangan non-muslim yang belum mencatatkan pernikahannya secara resmi ke negara. Akibatnya, pernikahan yang hanya diberkati secara agama belum tercatat sah secara hukum negara.
“Masyarakat masih banyak yang mengira setelah mendapat surat nikah dari gereja atau pemuka agama, maka pernikahannya sudah sah. Padahal secara hukum, itu belum tercatat sebagai peristiwa pernikahan,” kata Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Disdukcapil Kabupaten Serang, Sutrisyo Rini, Kamis, (17/7/2025).
Ia menjelaskan, pemberkatan di gereja atau prosesi serupa di rumah ibadah hanya menjadikan pernikahan sah secara agama.
Namun, kata dia, untuk sah secara hukum, pasangan tersebut harus mencatatkan pernikahan ke Disdukcapil dengan membawa surat nikah dari pemuka agama.
“Kalau sudah dicatatkan, maka akan keluar akta pernikahan dan statusnya berubah dari belum menikah menjadi (sudah) menikah di sistem administrasi kependudukan,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Kepala Seksi Pernikahan Disdukcapil Kabupaten Serang, Heri Permadi. Ia mengungkapkan, jumlah penduduk non-muslim di wilayahnya hanya sekitar satu persen, namun pencatatan pernikahan masih rendah karena minimnya antusias dari masyarakat.
“Yang kita sasar bukan jumlah penduduknya, tapi mereka yang masuk usia menikah. Sebagian besar belum mencatatkan ke Disdukcapil karena kurang informasi,” kata Heri.
Untuk mengatasi hal itu, pihaknya rutin melakukan sosialisasi melalui berbagai cara. Ia pun menegaskan pentingnya pencatatan pernikahan demi perlindungan hukum keluarga, terutama bagi istri dan anak mereka.
“Kalau belum tercatat, suaminya bisa menikah lagi dan secara hukum masih dianggap lajang. Anak pun berisiko tidak tercatat sebagai anak dari ayahnya di akta kelahiran. Nanti repot untuk sekolah, kesehatan, dan lainnya,” jelasnya.
Disdukcapil, kata Heri, tidak bertugas menikahkan, tapi mencatatkan peristiwa pernikahan. “Setelah pemberkatan di gereja atau prosesi keagamaan lain, mereka harus datang ke kami untuk dicatatkan. Tanpa pencatatan, statusnya tetap belum menikah di dokumen resmi,” tuturnya.
Pihaknya mencatat, sebagian besar pernikahan non-muslim yang sudah tercatat berasal dari umat Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Namun hingga saat ini, belum ada pencatatan dari pemeluk Konghucu.
Heri juga menyoroti masalah perceraian yang tak tercatat akibat ketiadaan data pernikahan yang sebelumnya tidak dilaporkan paska melangsungkan pernikahan.
“Bagaimana kami mau mencatat perceraian kalau pernikahannya saja belum pernah dicatat?” ujarnya.
Ia menyebut alasan utama masyarakat tidak mencatatkan pernikahan adalah kesibukan. Suami istri kerap bekerja dan tak sempat datang ke kantor.
Namun begitu, pihaknya membuka ruang pelayanan fleksibel, bahkan bisa dilakukan dari rumah asal verifikasi tetap dilakukan.
“Silakan datang saat ada waktu. Prosesnya mudah, tinggal membawa dokumen asli, tidak dipungut biaya,” tegas Heri.
Lebih jauh Heri menuturkan, berdasarkan estimasi internal, dari sekitar 50 ribu pasangan suami istri, hanya sekitar 1.500 pasangan non-muslim yang tercatat pernikahannya. Heri berharap kesadaran masyarakat meningkat agar status hukum keluarga lebih terlindungi.
Penulis: Rasyid
Editor: Usman Temposo