Di Kota Serang, keberadaan gereja berfungsi sebagai ruang dialog sekaligus pengakuan atas hak beribadah bagi masyarakat non-Muslim. Hal ini mencerminkan adanya penerimaan sosial terhadap prinsip hidup rukun dalam keberagaman. Kehadiran tempat ibadah tersebut tidak hanya menandai kebebasan beragama, tetapi juga menunjukkan bahwa toleransi dapat terwujud ketika akal budi, hukum, dan sikap sosial berjalan secara selaras.
Sebaliknya, kondisi di Kota Cilegon yang hingga kini belum memiliki gereja menggambarkan tantangan nyata dalam mewujudkan toleransi sejati. Penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah kerap dibingkai sebagai upaya menjaga kerukunan. Namun, dalam praktiknya, sikap tersebut justru merefleksikan dominasi perspektif mayoritas yang kurang menghormati hak-hak kelompok minoritas.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, situasi ini menunjukkan pendekatan yang irasional dalam memahami ajaran agama. Religiusitas yang autentik seharusnya menempatkan keadilan dan penghormatan terhadap individu sebagai prinsip utama, bukan eksklusivitas yang membatasi kebebasan beribadah. Kerukunan sejati bukanlah penghapusan perbedaan, melainkan pengelolaannya melalui dialog dan pemahaman bersama.
Perbandingan antara Serang dan Cilegon menunjukkan bahwa toleransi tidak hanya ditentukan oleh regulasi formal, tetapi juga oleh kesadaran sosial dan budaya masyarakat. Di Serang, kerukunan tercermin dari penerimaan terhadap keberadaan berbagai tempat ibadah. Sementara itu, penolakan yang masih kuat di Cilegon menegaskan pentingnya pendidikan toleransi yang berkelanjutan.
Pemikiran Ibnu Rusyd menegaskan bahwa agama dan akal budi dapat berperan penting dalam membangun kesadaran bahwa pemenuhan hak beribadah bagi seluruh umat beragama bukanlah ancaman, melainkan fondasi persatuan.
Revitalisasi prinsip-prinsip pemikiran Ibnu Rusyd—khususnya toleransi beragama, dialog antariman, dan pemikiran kritis—perlu dijadikan landasan untuk menjembatani perbedaan pendekatan antara Serang dan Cilegon menuju arah yang lebih inklusif. Kerukunan beragama di Banten tidak dapat dijaga hanya melalui slogan atau retorika toleransi.
Kerukunan harus diwujudkan secara konkret dengan menjamin kesempatan yang setara bagi setiap kelompok untuk menjalankan keyakinannya. Tanpa komitmen tersebut, kerukunan hanya akan menjadi perdamaian yang rapuh dan dangkal, yang berpotensi memicu perpecahan di masa depan.
Penulis:
Finda Wassilah
Dosen Pembimbing:
Angga Rosidin, S.IP., M.A.P
Ketua Program Studi:
Zakaria Habib Ar-Razie, S.IP., M.Sos
Program Studi Administrasi Negara
Universitas Pamulang Kampus Serang