OPINI PUBLIK “Teori Sosial: Dampak Disinformasi terhadap Kepercayaan Sosial di Era Media Sosial”

Media sosial saat ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, banyak dari kita yang tak lepas dari membuka Instagram, TikTok, Twitter, WhatsApp, dan platform lainnya. Media sosial bukan hanya tempat hiburan, tapi juga menjadi sumber informasi, berita, bahkan tempat berdiskusi tentang isu-isu sosial dan politik. Namun di balik kemudahan akses dan kecepatan penyebaran informasi ada satu ancaman besar yang sangat nyata yaitu disinformasi.

Disinformasi adalah penyebaran informasi yang salah secara sengaja untuk menyesatkan orang. Berbeda dengan misinformasi yang biasanya terjadi karena ketidaktahuan, disinformasi dibuat dengan tujuan tertentu entah itu politik, ekonomi, atau kepentingan pribadi. Di era media sosial, disinformasi bisa menyebar dengan sangat cepat bahkan lebih cepat dari berita yang benar. Lalu apa dampaknya bagi kepercayaan sosial?

Pertama, disinformasi merusak kepercayaan antarwarga. Kita semakin sering melihat masyarakat yang terpecah karena informasi yang salah seperti mulai dari hoaks seputar vaksin, isu rasial, agama, hingga politik. Ketika orang mempercayai informasi yang salah, mereka cenderung mencurigai orang lain yang punya pandangan berbeda. Ini menciptakan polarisasi sosial di mana orang hanya percaya pada kelompoknya sendiri dan menolak mendengar pihak lain. Padahal kepercayaan sosial tumbuh dari keterbukaan dan rasa saling menghargai.

Kedua, disinformasi melemahkan kepercayaan pada institusi publik. Ketika hoaks tentang pemerintah, lembaga kesehatan, atau institusi pendidikan beredar dan dipercaya, masyarakat menjadi tidak mudah percaya terhadap keputusan atau kebijakan yang sebenarnya penting untuk kebaikan bersama. Akibatnya kerja sama sosial terganggu bahkan bisa menimbulkan penolakan terhadap program-program penting seperti vaksinasi, bantuan sosial, atau pendidikan kewarganegaraan.

Ketiga, disinformasi menciptakan rasa takut dan panik yang tidak perlu. Kita bisa lihat saat awal pandemi COVID-19, ketika hoaks tentang obat ajaib atau teori konspirasi menyebar luas. Banyak orang jadi bingung, cemas, bahkan bertindak gegabah karena tidak tahu mana informasi yang bisa dipercaya dan ketika masyarakat kehilangan rasa aman dan kepercayaan hubungan sosial menjadi lebih rapuh. Lalu bagaimana kita bisa menghadapinya?

Pertama, literasi digital dan literasi media harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak dan remaja harus belajar cara memverifikasi informasi, membedakan berita bohong dan fakta, serta tidak mudah terpancing judul-judul provokatif.

Kedua, platform media sosial juga harus lebih bertanggung jawab. Mereka perlu memperkuat sistem pemeriksaan fakta, memberi label pada konten yang menyesatkan, dan memberi ruang bagi edukasi publik. Kita juga sebagai pengguna punya peran besar jangan asal sebarkan, baca dulu dengan teliti, cek sumbernya, dan juga pikirkan dampaknya.

Ketiga, pemerintah perlu memperkuat kebijakan dan penegakan hukum terhadap penyebar disinformasi tanpa melanggar kebebasan berekspresi. Ini perlu dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik.

Akhirnya, kita semua perlu menyadari bahwa kepercayaan sosial adalah modal penting dalam hidup bermasyarakat. Ketika kepercayaan itu hilang kita tidak hanya kehilangan rasa aman tapi juga kehilangan kemampuan untuk bekerja sama, berbagi, dan menyelesaikan masalah bersama. Disinformasi mungkin sulit dihentikan sepenuhnya, tapi dengan kesadaran kolektif, literasi yang kuat, dan sistem sosial yang adil, kita bisa memperkecil dampaknya. Karena di dunia yang penuh informasi ini justru yang paling berharga adalah kebenaran dan kepercayaan.

Penulis:

Ika Nur Elva Riani

Angga Rosidin S.I.P., M.A.P

Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.

(Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang-Serang)

Bagikan Artikel Ini