OPINI PUBLIK “Generasi Z dan Bentuk Baru Solidaritas Menggali Teori Sosial yang Inklusif”

Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam era digital yang membentuk pola pikir, nilai, dan bentuk interaksinya dengan dunia. Tak seperti generasi sebelumnya, Generasi Z lebih terbuka terhadap keragaman identitas, lebih peka terhadap isu keadilan sosial, dan memiliki akses instan terhadap informasi global. Hal ini menciptakan bentuk solidaritas baru yang tidak lagi bertumpu pada kesamaan geografis, agama, atau kelas, melainkan pada nilai-nilai inklusif dan kesadaran kolektif akan isu-isu bersama.

Solidaritas di era ini sering kali terbangun melalui media sosial, kampanye daring, dan komunitas virtual lintas batas. Misalnya, gerakan #BlackLivesMatter, #MeToo, hingga isu lingkungan seperti #ClimateStrike menemukan gaungnya justru karena partisipasi aktif Generasi Z yang mengangkat suara-suara terpinggirkan ke ranah publik global.

Namun, bentuk baru solidaritas ini menuntut revisi terhadap teori sosial klasik yang terlalu menekankan struktur dan homogenitas komunitas, perlu diperluas agar mampu menjelaskan bagaimana kohesi sosial bisa terbentuk dari keberagaman dan interaksi digital. Demikian pula dengan teori Habermas tentang ruang publik, yang kini harus mengakomodasi ruang virtual sebagai arena diskursus kritis yang tidak kalah penting.

Untuk menggali teori sosial yang lebih inklusif, kita perlu mempertimbangkan perspektif interseksionalitas dan serta teori jaringan sosial yang menyoroti peran teknologi dalam membentuk komunitas dan solidaritas transnasional.

Generasi Z menunjukkan bahwa solidaritas bukan lagi soal “siapa kita secara biologis atau geografis”, tetapi “apa yang kita perjuangkan bersama.” Di sinilah pentingnya teori sosial yang adaptif—yang tidak hanya menjelaskan masyarakat, tetapi juga mampu menavigasi perubahan yang dibawa oleh generasi muda yang semakin sadar, kritis, dan inklusif.

Kita sering melihat narasi tentang individualisme dan keterasingan yang disebabkan oleh teknologi. Namun, Generasi Z juga menunjukkan kemampuan luar biasa untuk membentuk komunitas dan aksi kolektif secara daring. Solidaritas mereka mungkin tidak selalu terikat oleh kedekatan geografis atau identitas primordial, melainkan oleh kesamaan nilai, minat, dan isu yang mereka perjuangkan.

secara implisit menantang kita sebagaai mahasiswa untuk tidak hanya melihat solidaritas dalam kerangka “gotong royong” yang seringkali diasosiasikan dengan masyarakat tradisional. Meskipun nilai tersebut tetap relevan, bentuk solidaritas Generasi Z bisa jadi lebih cair, berbasis proyek, dan terhubung secara global. Ini membuka pertanyaan menarik tentang bagaimana nilai-nilai lokal berinteraksi dengan pengaruh global dalam membentuk kohesi sosial generasi ini.

kita juga sebagai mahasiswa harus  melihat Generasi Z bukan hanya sebagai konsumen teknologi, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang sedang merumuskan ulang makna solidaritas dan inklusivitas di era digital Indonesia.

  • Penulis:
    Ridwan Ardiyansyah
    Angga Rosidin S.I.P., M.A.P
    Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos.        (Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang – Serang )
Bagikan Artikel Ini