Author: Muhammad Iqbal

OPINI PUBLIK : Anak SD yang Berpacaran dan Kecanduan Gadget Mengancam Masa Depan Pendidikan

Siapa sangka, zaman sekarang anak SD sudah sibuk main perasaan. Bukan main bola, main kelereng, atau main rumah-rumahan seperti kita dulu. Sekarang, mereka main cinta-cintaan! Tambah lagi, gadget seakan sudah jadi “Sahabat” yang nggak bisa lepas. Dua hal ini pacaran dini dan gadget sebenarnya punya dampak yang cukup serius, terutama di dunia pendidikan. Yuk, kita bahas santai tapi serius.   Dulu, anak SD biasanya cuma mikirin main bareng teman-teman, belajar, dan bantu orang tua. Sekarang, banyak anak SD yang mulai “pacaran” ya, meski mungkin masih polos, tapi sudah ada rasa-rasa spesial. Sering banget kita lihat di media sosial, ada anak SD yang foto mesra bareng “gebetan” di sekolah, atau saling tukar hadiah kecil-kecilan. Lucu? Mungkin iya. Tapi, dampaknya ke pendidikan? Bisa jadi serius banget.   Pertama, pacaran dini ini bikin fokus belajar anak terganggu. Logikanya, kalau udah sibuk mikirin gebetan, apa iya mereka bisa serius waktu belajar di kelas? Seringnya malah pikiran melayang ke mana-mana. Nggak jarang, anak-anak ini malah lebih semangat chat sama pacar di jam pelajaran daripada dengerin guru ngajar. Akibatnya, nilai bisa jeblok, dan mereka jadi nggak punya fondasi yang kuat buat masa depan.   Kedua, pacaran dini juga bisa bikin anak-anak SD cepat dewasa sebelum waktunya. Bukan dewasa yang positif ya, tapi lebih ke arah nggak sesuai usia. Anak SD seharusnya belajar main, belajar sosialisasi, dan ngembangin kreativitas mereka. Tapi kalau terlalu sibuk pacaran, mereka bisa kehilangan momen penting masa kecil. Padahal, masa kecil itu nggak akan terulang lagi.   Nah, sekarang kita bahas gadget. Ini nih, “biang kerok” yang bikin anak SD makin gampang kecanduan. Siapa sih yang nggak punya gadget sekarang? Bahkan anak-anak SD sudah punya HP canggih. Awalnya cuma buat main game atau nonton video. Tapi lama-lama, gadget jadi candu. Anak-anak jadi lupa waktu, lupa belajar, bahkan lupa makan! Nggak jarang juga kita lihat anak SD yang matanya udah “merah” gara-gara main gadget kelamaan.   Kecanduan gadget ini bukan cuma bikin anak males belajar. Lebih dari itu, gadget bisa jadi pintu buat hal-hal yang nggak pantas. Misalnya, anak SD yang awalnya cuma main game, tapi lama-lama malah nonton konten yang belum cocok buat umur mereka. Ini jelas bahaya banget, karena bisa mempengaruhi pola pikir mereka yang masih polos.   Selain itu, gadget bikin anak jadi kurang gerak. Dulu, anak SD biasa main petak umpet,gobak sodor, karet main bola, atau lari-larian. Sekarang? Lebih banyak duduk sambil scroll TikTok atau main game online. Padahal, aktivitas fisik penting banget buat perkembangan anak. Kalau mereka terus-terusan nunduk lihat layar HP, ya, kesehatan fisik mereka juga jadi taruhan.   Kalau udah pacaran dini dan kecanduan gadget? Waduh, ini kombo yang lumayan “ngeri” buat masa depan pendidikan. Mereka nggak cuma kehilangan fokus belajar, tapi juga kehilangan kemampuan bersosialisasi secara langsung. Anak-anak jadi lebih nyaman ngobrol lewat chat daripada ketemu langsung. Ini bikin mereka susah berkembang secara emosional dan sosial.   Sebagai orang dewasa, kita tentu nggak bisa cuma geleng-geleng kepala. Harus ada aksi nyata. Misalnya, guru dan orang tua bisa lebih aktif ngasih edukasi tentang bahaya pacaran dini dan kecanduan gadget. Jangan cuma marah atau larang-larang. Jelaskan ke anak-anak kenapa ini penting. Ajak mereka diskusi, kasih contoh nyata, biar mereka ngerti dampaknya.   Orang tua juga harus jadi contoh yang baik. Kalau orang tua sendiri sibuk main HP, ya anaknya bakal ngikut. Batasin penggunaan gadget di rumah, dan ajak anak main bareng. Bisa main board game, masak bareng, atau aktivitas seru lain yang bikin anak lupa sama gadget-nya.   Sekolah juga harus ikut ambil peran . Jangan cuma fokus pada nilai, tapi juga perhatikan kesehatan mental dan sosial anak-anak. Guru bisa bikin aktivitas yang ngajak anak-anak buat kerja sama langsung, biar mereka lebih semangat interaksi di dunia nyata.   Intinya, Anak SD yang Berpacaran dan Kecanduan Gadget Mengancam Masa Depan Pendidikan ini emang masalah serius. Tapi bukan berarti nggak bisa diatasi. Kuncinya ada di tangan kita orang tua, guru, dan masyarakat. Kalau kita mau bareng-bareng ngasih contoh dan membimbing mereka, pasti bisa kok. Ingat, masa depan pendidikan mereka ada di tangan kita juga. Jadi, yuk, bareng-bareng kita jaga generasi penerus bangsa ini!   Penulis : Muhammad Iqbal Al-Mas’ud  

OPINI PUBLIK : Budaya Politik Kita Ikut Berperan atau Cuma Penonton?

Kalau ngomong soal politik, banyak dari kita langsung angkat tangan. “Ah, politik mah urusan elit, kita rakyat kecil bisa apa paling cuma bisa nonton.” Nah, mindset semacam ini ternyata bukan hal baru, tapi bagian dari yang disebut budaya politik kaula sebuah kondisi di mana masyarakat sadar dan tau akan adanya sistem politik, tapi memilih diam dan tidak merasa punya pengaruh apa-apa. Padahal, menurut para ahli, budaya politik itu ibarat cermin: ia merefleksikan hubungan antara rakyat dengan sistem politik yang membingkai kehidupan mereka. Di negara demokratis seperti Indonesia, partisipasi warga negara bukan cuma hak, tapi juga kewajiban. Ironisnya, banyak yang justru merasa jauh dari proses itu. Kenapa bisa begitu? Jawabannya ada pada proses panjang yang disebut sosialisasi politik bagaimana kita belajar mengenal sistem politik dari keluarga, sekolah, media, bahkan lingkungan sosial. Kalau dari kecil yang kita lihat hanya ketidakadilan, korupsi, dan janji politik yang tak ditepati, ya wajar kalau kita skeptis dan akhirnya apatis. Tapi bukan berarti kita harus terus berada di zona nyaman itu. Justru sekarang, di era keterbukaan informasi, kesempatan untuk membangun budaya politik partisipatif terbuka lebar. Anak muda bisa belajar dan menyuarakan pendapatnya lewat media sosial, ikut diskusi publik, bahkan terlibat langsung di komunitas atau organisasi. Partai politik juga punya peran vital, bukan hanya sebagai kendaraan menuju kekuasaan, tapi juga sebagai agen pendidikan politik. Sayangnya, kadang yang terjadi justru sebaliknya: mereka lebih sibuk menjaga citra daripada membangun kesadaran politik rakyat. Jadi, kita ini mau jadi bangsa yang kritis dan aktif, atau cuma jadi penonton di tanah sendiri? Kuncinya ada di kita. Mari bangun budaya politik yang baik dan ubah pola pikir kita. Politik adalah ruang kita semua untuk ikut menentukan masa depan bersama. Kalau kita diam saja, jangan kaget kalau keputusan-keputusan penting tetap dikendalikan oleh mereka yang tak peduli pada kepentingan publik. Penulis : Muhammad Iqbal Al-Mas’ud, Angga Rosidin S.I.P., M.A.P , Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.IP., M.Sos