Author: debhy dwi utami

Tradisi Banten – Disimpang Jalan Modernisasi

Banten hari ini berdiri di antara dua arus besar: tradisi yang mengakar kuat dan modernisasi yang terus mendesak masuk. Di satu sisi, masyarakat adat seperti Baduy tetap teguh menjaga nilai-nilai leluhur, menolak teknologi dan gaya hidup modern sebagai bentuk ketaatan terhadap adat. Di sisi lain, kehidupan kota di Tangerang dan Serang berlari cepat mengikuti irama global, di mana budaya lokal perlahan kehilangan ruang dan makna. Modernisasi membawa berbagai kemudahan, tetapi sering kali juga mengikis makna kultural yang menjadi dasar kepribadian masyarakat. Tradisi yang dahulu hidup sebagai praktik sosial kini direduksi menjadi tontonan festival. Ia tampil eksotis untuk kepentingan pariwisata, bukan lagi sebagai bagian dari identitas yang dihayati. Banten pun kini berada di simpang jalan: mempertahankan nilai asli budaya, atau membiarkannya terseret arus perubahan? Masyarakat Baduy menjadi potret paling jelas dari dilema itu. Mereka menolak listrik, kendaraan, dan gawai bukan karena anti kemajuan, melainkan karena kesadaran bahwa modernisasi yang tak terkendali dapat mengubah tatanan sosial yang diwariskan turun-temurun. Namun, tekanan dari luar semakin kuat. Aktivitas pariwisata dan ekonomi di sekitar wilayah adat membawa tantangan baru. Generasi muda Baduy mulai mengenal dunia digital, dan perubahan itu perlahan mengguncang keseimbangan nilai adat. Menurut Republika (2025), wisata massal yang tidak menghormati aturan adat telah menimbulkan kekhawatiran akan komersialisasi budaya di wilayah Baduy. Sementara itu, di kawasan urban Banten — khususnya Tangerang Raya — budaya global kini mendominasi ruang publik. Tradisi lokal seperti debus, palang pintu, dan tarian khas Banten hanya tampil di acara seremonial. Kalangan muda jarang melihat budaya sebagai bagian dari jati diri; mereka lebih terhubung dengan tren media sosial ketimbang akar tradisi sendiri. Data dari TangerangNews (2024) mencatat bahwa jumlah pelaku seni tradisional menurun sekitar 30 persen dalam lima tahun terakhir, akibat minimnya regenerasi dan dukungan finansial. Ironisnya, upaya pelestarian pemerintah kerap berhenti di tingkat seremonial. Festival budaya digelar dengan meriah, tetapi persoalan mendasar seperti regenerasi pelaku seni, pendidikan budaya di sekolah, dan pemberdayaan ekonomi berbasis tradisi jarang tersentuh. Padahal, tradisi tidak akan bertahan hanya karena dipertontonkan; ia hidup bila menjadi kebutuhan dan kebanggaan masyarakatnya. Jika modernisasi dimaknai sebagai upaya memperkuat kualitas hidup tanpa meniadakan akar budaya, maka Banten memiliki peluang besar untuk berdamai dengan perubahan. Teknologi justru bisa menjadi sarana pelestarian, bukan ancaman. Komunitas muda dapat menghidupkan tradisi melalui media digital, kreasi seni modern, atau pariwisata edukatif yang menghormati nilai-nilai lokal. Banten tidak perlu memilih antara tradisi dan modernisasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menempatkan keduanya dalam keseimbangan yang bijak. Tradisi harus diberi ruang untuk tumbuh di tengah dunia modern, dan modernisasi perlu diarahkan agar memperkuat nilai-nilai lokal. Sebab, kehilangan tradisi berarti kehilangan arah, sementara menolak kemajuan berarti menutup masa depan. Di simpang jalan inilah Banten sedang diuji — apakah ia akan melangkah maju dengan jati diri, atau berlari cepat tanpa akar. Penulis: Debhy Dwi Utami-Mahasiswi Administrasi Negara, Universitas Pamulang, Serang Dosen Pembimbing: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P. Zakaria Habib Al-Ra’zie, S.I.P., M.Sos. Program Studi: Administrasi NegaraUniversitas Pamulang (UNPAM) Kampus Serang