Author: Ikhwan Saputro

Optimalisasi Peran Guru dan Transformasi Kurikulum Sebagai Strategi Mewujudkan Pendidikan Berkualitas

Optimalisasi Peran Guru dan Transformasi Kurikulum Sebagai Strategi Mewujudkan Pendidikan Berkualitas Oleh: Ahmad Ikhwan Saputro Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Syarif Hidayatullah Indonesia diprediksi akan mengalami puncak perkembangan pada tahun 2045, bersamaan dengan seratus tahun kemerdekaan. Menuju tahun 2045, proporsi penduduk yang berada dalam usia produktif diperkirakan akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang non-produktif, yang menandakan bahwa adanya peluang besar bagi pertumbuhan bangsa melalui bonus demografi. Agar potensi ini dapat menghasilkan generasi yang cerdas, berkarakter, dan mampu bersaing, peningkatan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas utama. Namun, usaha ini masih terdapat kendala dan tantangan, terutama dalam hal ketidakmerataan distribusi guru, variasi kompetensi antar daerah, serta kekurangan fasilitas pendukung yang menyebabkan kualitas pembelajaran tidak merata. Dalam situasi seperti ini, memaksimalkan peran guru serta memperkuat kemampuan mereka menjadi hal yang sangat diprioritaskan. Selain itu, percepatan perubahan di era digital mendorong perlunya kurikulum yang lebih responsif dan sesuai dengan perkembangan zaman. Proses pembelajaran tidak dapat lagi bergantung pada metode yang lama; sebaliknya, harus memperkuat literasi, inovasi, dan kemampuan lain yang penting agar siswa dapat bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan kebutuhan tersebut, artikel ini bertujuan untuk menguraikan strategi dalam mengoptimalkan peran guru sekaligus melakukan transformasi kurikulum sebagai langkah terencana untuk memperkuat pendidikan nasional dan mempersiapkan Generasi Emas Indonesia 2045. Fakta Tantangan Guru Di Indonesia Yang Belum Proporsional Ketimpangan dalam penyebaran guru tetap menjadi isu utama dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Banyak wilayah, terutama daerah tertinggal, mengalami kekurangan guru, sedangkan kota-kota besar menghadapi kondisi sebaliknya dengan kelebihan tenaga pendidik. Situasi ini semakin kompleks akibat variasi kualitas guru antarwilayah, di mana sebagian besar belum mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Data menunjukkan bahwa hampir 50% dari tenaga pendidik belum memenuhi kompetensi minimum, sehingga mutu pembelajaran di berbagai daerah tidak merata dan berpengaruh langsung pada pencapaian belajar siswa. Pakar pendidikan Tatik, Ph.D. membeberkan empat penyebab rendahnya kualitas guru dalam “Visi Politik Pendidikan Islam Melahirkan Guru yang Kompeten”. Menurutnya, ini tampak dari hasil uji kompetensi 2012—2015, hampir 50% guru tidak bisa mencapai standar minimum. “Bahkan saat pandemi, learning loss sangat besar. Salah satunya karena guru tidak bisa mengubah metode pembelajaran dari offline ke online. Kemudian pada 2020, World Bank melakukan penelitian dan hasilnya dari sekolah-sekolah yang disurvei, 29% tidak bisa mencapai standar minimum yang disebabkan oleh kemampuan dan kapasitas guru,” ungkapnya. Variasi dalam kemampuan guru juga menjadi penghalang lainnya bagi pemerataan mutu pendidikan. Rendahnya kualitas sebagian guru disebabkan oleh keterbatasan pelatihan yang efektif, baik bagi guru maupun kepala sekolah, sehingga peningkatan mutu tidak berjalan optimal. Banyak program pelatihan yang hanya bersifat formalitas dan tidak diikuti penerapan yang konsisten di kelas. Ketidaksesuaian antara pelatihan dan praktik di lapangan mengakibatkan perkembangan kompetensi pedagogik, manajerial, dan profesional guru tidak merata. Menurut Dirjen Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (GTKPG) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Nunuk Suryani, distribusi guru saat ini memang belum merata. Ketimpangan ini berdampak pada kualitas pembelajaran dan memperlebar kesenjangan pendidikan antarwilayah. Sumber : Kementrian Pendidikan Dasar Dan Menengah (Kemendikdasmen)     Akses terhadap pelatihan dan fasilitas pendidikan juga menjadi tantangan besar, terutama di wilayah 3T. Sekitar 35% sekolah dasar di wilayah tersebut masih mengalami kekurangan sarana pendukung penting, termasuk akses internet dan ruang belajar yang layak. Guru yang bertugas di daerah terpencil pun sering tertinggal dalam kemampuan digital karena minimnya pelatihan berbasis teknologi. Kondisi ini semakin diperburuk oleh keterbatasan anggaran untuk pengembangan fasilitas pendidikan, sehingga kesenjangan kualitas antara sekolah di daerah maju dan terpencil semakin terlihat jelas. Negara-negara yang sudah berkembang menunjukkan pola yang jelas tentang bagaimana meningkatkan peran pengajar dan reformasi kurikulum dapat meningkatkan kualitas pendidikan: Finlandia meningkatkan mutu pengajarnya dengan seleksi yang sangat ketat dan menjadikan pendidikan S2 sebagai persyaratan, sambil memberi kebebasan penuh untuk menyesuaikan kurikulum kompetensi di kelas dengan cara yang fleksibel; Jepang menekankan pentingnya pembelajaran karakter melalui kurikulum zest for living dan lesson study yang mendorong pengajaran untuk terus berkembang melalui pengalaman praktis dan refleksi; Singapura menjamin bahwa semua guru mendapatkan pelatihan terpusat dari NIE yang dilengkapi dengan pengajaran pedagogi-teknologi yang kaya, sehingga mampu mengimplementasikan kurikulum yang cepat berganti terutama dalam STEM dan literasi digital secara efektif; sedangkan Korea Selatan menyatu padukan teknologi dalam proses belajar mengajar serta mengevaluasi guru berdasarkan peningkatan kemampuan, bukan dengan cara menghukum, sehingga reformasi kurikulumnya berlangsung dengan stabil dan dapat beradaptasi. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa mutu pengajar yang tinggi, pelatihan yang terus menerus, dan kurikulum yang sesuai saling berhubungan erat, dan Indonesia dapat mengambil ibrah bahwa pengajar yang kuat dan kurikulum yang adaptif adalah kombinasi paling realistis untuk meningkatkan pendidikan nasional ke arah standar global. Strategi Pemerataan Serta Optimalisasi Kualitas Dan Kompetensi Tenaga Pendidik Di Indonesia Peningkatan Pemerataan Penempatan Guru Upaya untuk menyamakan penempatan guru harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, memperkuat program SM-3T, Guru Penggerak, serta skema pengangkatan PPPK khusus untuk daerah 3T. Inisiatif ini berfungsi untuk mengatasi kekurangan guru sekaligus memperbaiki kualitas pengajaran di tempat yang sukar dijangkau. Di samping itu, penggunaan data pokok pendidikan (Dapodik) merupakan elemen krusial untuk merinci kebutuhan guru secara tepat, sehingga penyebaran tenaga pengajar dapat lebih efisien dan tidak terpusat di area tertentu saja.. Penguatan Kompetensi Profesional dan Pedagogik Guru Peningkatan kualitas pendidikan sangat tergantung pada keahlian profesional dan pedagogik para guru, sehingga pelatihan yang berkelanjutan harus disesuaikan dengan kondisi lapangan dan memanfaatkan teknologi digital. Strategi ini memberi kesempatan bagi guru untuk mengembangkan keterampilan dengan cara yang lebih fleksibel dan relevan menghadapi tantangan dalam ruang kelas. Selain itu, sertifikasi kompetensi yang sesuai dengan kurikulum terbaru sangat diperlukan agar guru dapat menerapkan metode pembelajaran yang kontemporer dan memenuhi kelarasan zaman. Peningkatan Kesejahteraan dan Insentif Guru di Daerah Terpencil Guru yang bertugas di lokasi terpencil perlu menerima dukungan kesejahteraan yang cukup, termasuk tunjangan khusus dan sarana penunjang yang layak. Kebijakan ini bukan hanya membantu mereka bertahan dalam kondisi yang terbatas, tetapi juga meningkatkan semangat dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas. Pemerintah juga harus memastikan adanya jalur karier yang adil, sehingga guru di daerah 3T mendapatkan kesempatan pengembangan karier yang setara dengan guru di wilayah lain. Optimalisasi Teknologi dan Inovasi Pembelajaran Pemakaian teknologi menjadi metode yang ampuh untuk memperkuat kemampuan pengajar melalui pelatihan online, platform digital, dan komunitas belajar berbasis internet. Tindakan ini membuka akses yang lebih sederhana terhadap materi pengembangan keterampilan tanpa terikat oleh tempat. Di samping itu, peningkatan kemampuan literasi digital sangat krusial agar pengajar dapat menerapkan teknik pembelajaran yang inovatif, lebih fleksibel, efisien, dan sejalan dengan kebutuhan transformasi pendidikan di zaman digital. Studi Kasus guru dilatih oleh lembaga resmi di bawah Kementerian Pendidikan Di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, banyak sekolah dasar awalnya punya masalah kualitas pembelajaran—guru kurang percaya diri pakai metode aktif, kepala sekolah belum kuat dalam manajemen mutu, dan supervisi pembelajaran masih lemah. Setelah itu, beberapa guru ikut Program Guru Penggerak, sementara kepala sekolahnya ikut Program Peningkatan Kompetensi Kepala Sekolah dan Pengawas yang dibina oleh BBPMP. Hasilnya mulai kelihatan: guru lebih berani pakai model belajar berbasis proyek, kelas lebih hidup, dan kepala sekolah jadi lebih rapi dalam perencanaan mutu lewat PKKS dan perbaikan RKAS. Pengawas juga lebih terarah waktu ngasih pendampingan. Dampak akhirnya—nilai asesmen sekolah naik, iklim belajar lebih positif, dan hubungan guru–orang tua membaik. Ini jadi bukti kalau pelatihan resmi dari Kemendikbudristek memang bisa ngedorong peningkatan mutu pendidikan secara nyata. Kesimpulan dan Rekomendasi Indonesia masih berhadapan dengan berbagai persoalan signifikan dalam mencapai pendidikan yang bermutu. Ini mencakup distribusi guru yang tidak merata, rendahnya keterampilan beberapa pengajar, serta minimnya fasilitas terutama di daerah 3T. Hampir separuh dari guru belum memenuhi standar yang ditetapkan, sedangkan akses terhadap pelatihan dan sarana yang mendukung masih tidak seimbang, mengakibatkan kualitas pembelajaran antar wilayah menjadi berbeda-beda. Di sisi lain, tuntutan di era digital menghimpit sistem pendidikan untuk lebih responsif, tetapi banyak guru yang masih tertinggal dalam hal pemahaman teknologi. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pemerataan dan peningkatan kualitas pengajar harus diprioritaskan untuk menghadapi perubahan dan menyiapkan siswa dengan lebih baik. Oleh karna itu dalam kerangka ini, saran yang patut dilakukan yaitu melakukan pengoptimalan peran guru sebagai langkah yang strategis, mendata penempatan guru agar lebih merata serta merealisasikan kegiatan penguatan program SM-3T secara konsisten dan efesien tidak hanya sekedar formalitas, menyaring Guru Penggerak secara ketat agar memiliki kompetensi dan integritas tinggi, serta pemetaan berlandaskan Dapodik perlu diperhatikan agar kebutuhan guru dapat dipenuhi dengan proporsional. Peningkatan kompetensi profesional melalui pelatihan yang berkelanjutan dan berbasis digital, disertai dengan dukungan kesejahteraan dan jalur karier yang adil. Dengan kerjasama dari seluruh pihak, langkah-langkah ini dapat memperkuat dasar pendidikan nasional dan mendorong terwujudnya Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045.