Beranda Pendidikan Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosa Kata, Begini Tanggapan Dosen Untirta

Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosa Kata, Begini Tanggapan Dosen Untirta

Ilustrasi - foto istimewa TimesIndonesia.co.id

SERANG – Beberapa waktu lalu seorang youtuber bernama Indah Gunawan mendapat kritikan setelah mengatakan Bahasa Indonesia merupakan Bahasa yang miskin kata. Pernyataan Indah diutarakannya dalam podcast di kanal miliknya saat berbincang dengan Cinta Laura Kiehl di video berjudul “Lack of Critical Thinking Skills in Indonesia”.

Dalam video itu, Indah mengatakan Bahasa Indonesia merupakan Bahasa yang miskin kosa kata karena jumlah data entri di kamusnya hanya sekitar 120 ribu entri. Ia membandingkannya dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Arab yang dikatakannya lebih banyak memiliki kosa kata.

Dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBI), Odien Rosidin menanggapi pernyataan itu dengan mengatakan sebetulnya sulit apabila ingin menilai apakah suatu Bahasa dapat disebut miskin atau tidak. Menurutnya jumlah kosa kata dalam kamus tidak semata dapat jadi tolok ukur kaya atau tidaknya suatu bahasa.

Aspek penting suatu bahasa kata Odien sangat ditentukan oleh penuturnya serta aspek kebudayaan serta konteks sosial yang memengaruhinya.

“Saya lebih cenderung berpendapat bahwa penampilan (performansi) berbahasa seseorang ditentukan oleh derajat kompetensinya. Artinya, kemahiran atau keterampilan menggunakan bahasa akan sangat ditentukan oleh penguasaan aspek-aspek bahasa, baik leksikon, gramatika, maupun fonologinya,” kata Odien kepada Bantennews.co.id, Kamis (28/4/2024).

Keterbatasan mengutarakan sesuatu memakai Bahasa Indonesia bukan berarti bahasa itu miskin kosa kata, namun sebanyak apa seorang penutur menguasai kosa kata bahasa tersebut. Kata Odien perlu dipikirkan kembali seberapa banyak kita sudah menguasai kosa kata suatu bahasa sebelum menyebutnya miskin.

“Keterbatasan atau hambatan seseorang berekspresi menggunakan suatu bahasa tidak berarti disebabkan oleh karena defisitnya kekayaan kata bahasa itu. Kita sadarkan diri saja, sebagai penutur bahasa Indonesia, berapakah kosa kata bahasa Indonesia yang kita kuasai dari yang tersedia sekitar 120-an ribu itu?,” imbuhnya.

Namun, jika konteksnya diganti menjadi apakah Bahasa Indonesia perlu menambah kosa kata, Odien setuju. Faktor usia bahasa juga disebutnya menjadi salah satu faktor kenapa suatu bahasa bisa memiliki entri kosa kata lebih banyak dari yang lainnya. Salah satunya dengan cara menyerap dari bahasa lain.

Bahasa Inggris dan Arab tentunya merupakan Bahasa yang jauh lebih tua dari segi usia dibandingkan Bahasa Indonesia. Faktor kolonisasi Inggris terhadap beberapa negara pada zaman dahulu juga jadi faktor kenapa jumlah penutur Bahasa Inggris lebih banyak yang berimplikasi juga pada perkembangan kosa kata.

“Kita tidak mungkin mengandalkan kata yang ada secara stagnan sementara semua elemen kehidupan bergeser, bergegas, dan berkembang lebih maju serta semua harus terwakilkan ekspresinya dalam bahasa kita yang sekarang, kita yang nanti, dan bukan kita yang lalu saja,” kata Odien.

Odien juga menekankan apabila seseorang merasa dirinya kekurangan kosa kata Bahasa Indonesia maka kuncinya adalah dengan menjadi pembaca. Kemalasan seorang penutur dalam membaca literasi dinilai jadi faktor krusial apabila penutur miskin pembendaharaan kata.

“Tingkat penguasaan kosakata seseorang sangat sebangun dengan frekuensi mengakses wacana atau teks. Ketika seseorang memiliki kebiasaan membaca secara fungsional, sudah sangat terbiasa baginya untuk mencari atau menelusuri arti kata baru yang ditemuinya. Kita perlu menaikkan kasta atau hijrah bahasa dari seorang penutur yang bertumpu pada prinsip bahwa berbahasa itu yang penting terpahami oleh lawan tutur dan pesan bisa diterima menuju penutur yang sadar adanya gramatika bahasa dan gramatika budaya. Keduanya tidak dapat diabaikan,” pungkasnya.

Sedikit memiliki pandangan yang berbeda, seniman asal Kota Serang, Sulaiman Djaya berpendapat Bahasa Indonesia sebetulnya merupakan yang taksa. Artinya beberapa kosa kata Bahasa Indonesia memiliki makna ganda.

Ia mencontohkan kata “Dia” yang tidak menafsirkan jenis kelamin apabila digunakan. Berbeda dengan kata “he” dan “she” dalam Bahasa Inggris atau “mudzakkar” dan ‘muannats” dalam Bahasa Arab yang spesifik berarti laki-laki dan perempuan.

Namun, dengan keambiguannya lah Bahasa Indonesia dinilai Sulaiman merupakan Bahasa yang puitis. Ia mengatakan tidak pernah kesulitan mengungkapkan emosi dalam bentuk karya sastra apapun dengan Bahasa Indonesia.

“Kreativitas Puitika Sastra selalu terkait konteks kultural setiap penulis, juga daya cipta setiap penulis. Saya tidak pernah menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang miskin,” kata Sulaiman.

(Dra/red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini