Beranda Artis “Anuja”: Mimpi Kecil yang Menyala dari Lorong Kumuh

“Anuja”: Mimpi Kecil yang Menyala dari Lorong Kumuh

Adegan di film Anuja. (IST)

DI TENGAH debu jalanan, gemuruh mesin jahit, dan riuh pasar pakaian bekas, seorang gadis kecil bernama Anuja bermimpi. Bukan tentang mainan atau permen seperti anak-anak seusianya. Tapi tentang angka, soal cerita di balik rumus, dan tentang sekolah—tempat ia belum pernah benar-benar duduk sebagai murid. Film pendek Anuja (2024) karya Adam J. Graves menggambarkan kisah itu, sebuah potret getir dan indah tentang harapan yang tumbuh di tempat paling tidak terduga.

Dengan durasi hanya 22 menit, Anuja menyuguhkan lebih dari sekadar film pendek. Ia adalah sapuan lembut realitas sosial yang keras, dibalut narasi hangat tentang hubungan saudara, pilihan sulit, dan secercah cahaya dalam gelapnya kemiskinan. Film ini bahkan mencuri perhatian dunia, dinominasikan dalam Academy Awards 2025 untuk kategori Best Live Action Short Film.

Sajda Pathan, pemeran utama dalam film ini, bukanlah aktris profesional. Ia lahir dan besar di jalanan Delhi, dan diasuh oleh Salaam Baalak Trust—sebuah organisasi nirlaba yang mendampingi anak-anak terlantar. Dalam Anuja, Sajda tak sekadar berakting. Ia menceritakan dirinya sendiri, melalui tatapan penuh rasa ingin tahu dan diam yang menyimpan ribuan suara.

“Dia tidak butuh naskah,” kata Adam J. Graves dalam sebuah wawancara di Montclair Film Festival. “Sajda tahu betul bagaimana rasanya memilih antara makan atau belajar.”

Anuja digambarkan sebagai anak jenius dalam matematika yang bekerja di pabrik garmen bersama kakaknya, Palak. Ketika seorang guru melihat potensinya dan menawarkan kesempatan untuk mengikuti tes beasiswa, keluarga Anuja dihadapkan pada dilema pelik: membayar biaya ujian sebesar 400 rupee, atau mempertahankan kerja anak-anak demi bertahan hidup.

Di sinilah Anuja menggedor nurani penonton. Di balik angka-angka dan dialog sederhana, film ini memperlihatkan betapa tak adilnya dunia bagi anak-anak miskin. Bahkan untuk bermimpi pun, mereka harus “membayar” mahal.

Baca Juga :  Gisella Anastasia Main Film Lagi

Sinematografi film ini sangat sederhana: kamera yang mengikuti langkah kaki kecil Anuja di gang-gang sempit, pencahayaan natural yang tak menyembunyikan warna debu dan keringat. Namun justru di situlah letak kekuatan film ini. Ia terasa nyata. Ia tidak sedang berusaha membuat penonton menangis—tapi justru karena itu, ia menghantam lebih dalam.

Tidak ada musik dramatis, tidak ada kata-kata puitis. Hanya sunyi, napas tertahan, dan tatapan dua saudara yang tahu bahwa cinta kadang berarti harus memilih siapa yang berkorban lebih dulu.

Dari Gang Sempit ke Panggung Dunia

Anuja telah diputar di berbagai festival film dunia dan memenangkan sejumlah penghargaan, termasuk “Best Live Action Short” di HollyShorts dan “Grand Prize” di New York Shorts. Tapi lebih dari sekadar piala, film ini membuka mata dunia terhadap kenyataan yang selama ini terlalu sering diabaikan: bahwa jutaan anak seperti Anuja nyata adanya.

Film ini juga menjadi bukti bahwa film pendek bisa berdampak panjang. Bahwa sebuah cerita kecil, ketika diceritakan dengan kejujuran dan empati, bisa mengubah cara pandang, bahkan kebijakan.

Film ini ditutup dengan akhir yang menggantung. Tidak ada kepastian apakah Anuja ikut ujian atau tetap bekerja. Tapi justru di sanalah letak keistimewaannya. Ia membiarkan penonton bertanya: apakah kita, sebagai masyarakat, sebagai orang dewasa, telah memberi pilihan yang adil bagi anak-anak seperti Anuja?

“Anuja adalah film yang membuat kita menunduk. Bukan karena malu telah menangis, tapi karena sadar betapa banyaknya Anuja di luar sana, dan betapa sedikitnya yang benar-benar kita dengar,” tulis seorang kritikus dari Decider.

Tim Redaksi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News