Beranda Opini Abah Hamid Sang Menara Api

Abah Hamid Sang Menara Api

Oleh : Ade Irawan, Direktur Visi Integritas

Pesan whatsapp dari Rizky Ghozali, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang dikirim pada Jum’at malam baru saya baca Sabtu subuh. Isinya kabar buruk: saturasi oksigen Abah Hamid turun dan kaki mulai dingin. Sejak Abah Hamid masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto karena Covid19, saya selalu meminta update perkembangan kondisinya dari Ghozali.

Bukan kali pertama saya menerima berita mengenai kondisi Abah Hamid yang turun tiba-tiba. Tiga hari sebelumnya, Ghozali menginformasikan hal serupa. Menurutnya dokter sudah meminta keluarga untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi esoknya datang kabar baik, kesehatan Abah Hamid makin bagus, saturasi oksigennya meningkat. Harapan dan doa saya pun begitu untuk kabar buruk yang kedua ini: dosen millenial -demikian ia biasa menyebut dirinya- bisa kembali pulih.

Namun beberapa jam setelah membaca kabar dari Ghozali, sejumlah kawan menyampaikan kabar kepergian Abah Hamid. Walau sudah mengetahui kondisi sebelumnya, tapi berita duka di Sabtu pagi tetap menyesakan dada. Kaget dan sedih bercampur. Kehilangan orang yang begitu luar biasa, salah satu sahabat terbaik, dan intelektual cum akvitis.

Saya tidak ingat secara persis kapan pertama kali berjumpa dengan Abah Hamid. Sepertinya sekitar tahun 2012, ketika saya masih di Indonesia Corruption Watch (ICW) dan melakukan riset di Banten. Abah Hamid satu dari beberapa dosen, aktivis, dan jurnalis yang menjungkirbalikan pendapat saya terkait masyarakat sipil di Banten.

Sebelumnya saya yakin tidak banyak orang berani di Banten. Mengingat reputasinya sebagai daerah yang penuh kekerasan, jawara, dan santet. Apalagi jika dilihat dari luar, provinsi pecahan Jawa Barat tersebut terkesan ‘adem ayem’. Ternyata saya keliru. Cukup banyak orang dan kelompok militan. Berani bersuara terbuka mengkritik dan melawan korupsi yang mulai marak di tubuh pemerintah provinsi. Abah Hamid satu di antaranya.

Sikap kritis dan kegandrungan Abah Hamid menyuarakan kepentingan masyarakat sepertinya sudah tertanam kuat sejak kuliah. Sewaktu masih mahasiswa, ia aktif di banyak organisasi. Tidak mengherankan ketika menjadi dosen, ia sadar betul pada tanggungjawabnya sebagai intelektual. Kampus baginya bukan ‘menara gading’. Indah dan megah, tapi tidak memiliki kontribusi bagi perubahan nasib masyarakat.

Abah Hamid tidak memasrahkan diri terperangkap urusan admistrasi dan perkuliahan. Secara sungguh-sungguh ia juga menjalankan tugas pengabdian kepada masyarakat. Abah Hamid memilih menjadi ‘menara api’. Kerap ‘turun gelanggang’ memberi arah gerakan di Banten. Bagi saya, ia sudah menjadi semacam ‘google maps’nya para aktivis. Memberi peta jalan agar mereka tidak tersesat dalam berjuang. Tiada henti membakar semangat para aktivis yang kerap menyala sewaktu diskusi, tapi redup ketika kembali ke rumah.

Keyakinannya bahwa perguruan tinggi tidak boleh dipisahkan dari masyarakat juga ditunjukan dengan mengundang para aktivis dan jurnalis untuk bicara di kampus. Abah Hamid pun menginisiasi kerjasama program studi yang dipimpinnya dengan ICW. Untirta menjadi kampus pelopor yang menggunakan Akademi Antikorupsi sebagai salah satu sumber belajar. Hamid berharap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah pendidikan antikorupsi bisa langsung mengimplementasikannya di masyarakat. Kini puluhan perguruan tinggi lain mengikuti jejak Untirta.

Tidak berhenti sampai di situ, Abah Hamid pun secara khusus meminta ICW untuk melatih koleganya bersama para aktivis di Banten mengenai cara membaca, menganalisis, dan tracking Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Termasuk teknik untuk mengawasi pengadaan barang dan jasa. Abah Hamid ingin agar perguruan tinggi bisa turut memberi solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat.

Abah Hamid pun selalu memelihara integritasnya. Suatu waktu ia menelepon. Bercerita bahwa baru menolak mentah-mentah tawaran penelitian dari salah satu satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di kabupaten/kota di Banten. Pasalnya, ia diminta berjanji menyerahkan kembali separuh honorarium penelitian. Alasan si pegawai SKPD, uang cashback tersebut akan digunakan untuk membiayai konsultan politik yang membantu bos-nya mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Menurut Hamid, praktik pembajakan perguruan tinggi oleh birokrasi di daerah kerap terjadi. Beberapa di antaranya memunculkan skandal dan berujung di tangan aparat penegak hukum. Walau di sisi lain ia mengaku anggaran bagi dosen untuk melakukan penelitian masih sangat minim.

Komunikasi saya dengan Abah Hamid makin sering ketika kami memintanya menjadi salah satu associate di Visi Integritas, sebuah lembaga yang diinisiasi oleh ICW, jurnalis, peneliti, dan profesional. Bersama Adnan Pandu Pradja, Paku Utama, Savic Ali, Hamid berkontribusi dalam merumuskan berbagai ide segar guna membangun integritas dan budaya antikorupsi institusi pemerintah dan swasta. Kolaborasi terakhirnya dengan Visi ketika menjadi narasumber webinar mengenai peningkatan tata kelola pemerintah daerah pada 7 Oktober 2020.

Sebenarnya interaksi dengan Abah Hamid tidak melulu dalam urusan serius. Kami juga kerap membahas kopi, olahraga, hingga cita-citanya menjadi youtuber. Sesekali ghibah. Ia juga ikut dalam whatsapp grup (WAG) yang berisi aktivis dan jurnalis Banten seperti Bonnie Triyana, Beno, dan Danang Widoyoko. Sejatinya WAG diniatkan untuk tujuan serius. Tapi ujungnya berisi bahasan, foto, video yang sama sekali jauh dari serius. Dan Abah Hamid sepertinya tidak tahan.

Pertemuan terakhir saya dengan Abah Hamid terjadi di akhir tahun 2020. Bersama Buya Taftazani, saya minta agar ia berbagi energi dengan kawan-kawan aktivis Banten Bersih dan Nalar Pandeglang yang tengah menyelenggarakan strategic planning. Seperti biasa, semangatnya tetap menyala di tengah frustrasi kawan-kawan melihat hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Pesannya yang masih saya ingat dan terus akan diingat adalah meminta kawan-kawan aktivis tidak pernah surut berjuang seberat apa pun kondisinya.

Sama sekali tidak menyangka itu akan jadi pertemuan terakhir. Padahal kami sudah memiliki banyak rencana bersama pasca-Corona mereda. Tapi ternyata Allah SWT punya rencana lain, memanggil Abah Hamid lebih cepat.

Sebuah pesan whatsapp masuk Sabtu menjelang siang, dari Okamoto salah satu sahabat dekat Abah Hamid dari Kyoto University. Isinya: “Abdul Hamid wafat ya. Turut berduka cita. Sangat-sangat menyedihkan, sangat-sangat”. Selamat jalan Abah Hamid, terimakasih atas segala dedikasimu, dari kami sahabatmu yang sangat kehilangan. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini