Anak dari Gouda
Gouda, musim dingin tahun 1565. Kabut tebal turun dari kanal-kanal sempit dan menyelimuti rumah-rumah batu di sepanjang jalan utama. Di sebuah rumah berlantai kayu, tangis seorang bayi laki-laki memecah kesunyian pagi. Bayi itu kelak membawa nama yang akan menggema di seantero samudra: Cornelis de Houtman.
Ia tumbuh di kota yang makmur karena bir dan perdagangan kayu. Dari jendela rumahnya, Cornelis kecil sering melihat tong-tong bir berguling di atas jalan berbatu, kuda-kuda menarik gerobak, dan aroma malt memenuhi udara. Kakeknya, seorang pedagang kayu yang terkenal rajin, memasok bahan peti mati untuk pemerintah kota—bisnis yang aneh tapi menguntungkan.
Android BantenNews.co.id
Download di Playstore. Baca berita tanpa iklan, lebih cepat dan nyaman lewat aplikasi Android.
Ayahnya, Dirck de Houtman, menjabat sebagai anggota dewan kota dan kapten milisi sipil. Ia dikenal keras, disiplin, dan sangat taat pada ajaran Protestan. Ketika Gouda bergabung dengan Pangeran William of Orange pada tahun 1572, Dirck langsung berdiri di barisan depan. Pemerintah kota mengangkatnya menjadi anggota dewan, dan dari sana, keluarga De Houtman makin disegani.
Mereka memiliki salah satu dari 126 pabrik bir yang menjadikan Gouda kota paling harum di seluruh Holland Selatan. Setiap sore, aroma malt dan hop menyeruak dari cerobong pabrik, menandai keberhasilan bisnis keluarga itu.
Namun Cornelis tak tertarik pada bir. Ia lebih suka mendengarkan cerita para pelaut yang datang dari jauh. Ia duduk di pelabuhan kecil, menatap kapal-kapal dagang berlayar ke utara membawa ikan, ke selatan membawa anggur, ke barat membawa harapan. Laut selalu memanggilnya—diam, dingin, tapi menggoda.
“Laut bukan tempat untuk anak pedagang,” kata ayahnya suatu malam sambil meneguk bir hangat.
“Tapi laut punya suara sendiri, Ayah,” jawab Cornelis. “Dan aku ingin tahu apa yang ia katakan.”
Ketika usianya menginjak dua puluh tahun, Cornelis meninggalkan Gouda. Ia naik kereta kuda menuju Amsterdam, kota yang sedang tumbuh menjadi jantung perdagangan dunia. Di sana, ia menemukan apa yang selama ini ia cari: petualangan dan pengetahuan.
Ia belajar navigasi dari Robbert Le Canu, ahli pelayaran yang masyhur di kalangan pelaut muda. Setiap pagi, ia menggambar bintang-bintang di atas meja kayu, menghitung garis lintang, dan mengukur arah angin dengan alat sederhana. Ia menghabiskan malam di dermaga, menatap langit gelap dan berusaha membaca peta bintang yang akan menjadi sahabatnya di laut lepas.
Tapi belajar berlayar pada masa itu tidak mudah. Belanda masih tertinggal jauh dari Portugis dan Spanyol dalam seni navigasi. Banyak kapal yang tersesat karena peta yang salah. Kompas masih menjadi barang langka, dan sebagian besar pelaut hanya tahu satu hal: ikuti bintang utara, atau mati di tengah laut.
Cornelis menolak menyerah. Ia mempelajari setiap rahasia laut yang bisa ia temukan—arah arus, pola angin, bahkan cara membaca warna air untuk menebak kedalaman. Ia ingin menjadi lebih dari sekadar pelaut. Ia ingin menjadi penemu jalur baru.
Selain mempelajari ilmu pelayaran, Cornelis juga menekuni perdagangan. Ia belajar menghitung risiko, membaca pasar, dan memahami bagaimana rempah, gula, dan kain dapat mengubah nasib seseorang. Dari para saudagar tua, ia mendengar nama-nama tempat yang membuat darahnya berdesir: Goa, Malaka, Banten—tanah jauh di Timur yang katanya wangi oleh cengkih dan pala.
Di pelabuhan Amsterdam yang sibuk, kapal-kapal datang dan pergi membawa kisah tentang kekayaan dan kehancuran. Cornelis berdiri di tepi dermaga, menatap layar putih yang mengembang di kejauhan.
Ia tahu, suatu hari nanti, layar itu akan menjadi miliknya.
Ia akan berlayar menembus batas dunia yang dikenal, mengejar matahari ke timur, mencari jalur menuju negeri rempah—dan mungkin, tanpa ia sadari, membuka babak baru dalam sejarah bangsanya.
Dari sinilah, kisah Cornelis de Houtman dan perjalanannya menuju Nusantara dimulai.
Di alun-alun Gouda yang tenang, berdiri sebuah monumen batu abu-abu. Di bawah langit Belanda, tertulis pada monumen: “Kepada saudara Cornelis dan Frederik de Houtman, putra dan warga Gouda, sebagai perintis persekutuan antara Belanda dan Insulinde. Dari keturunan yang bersyukur.”
Antara Ambisi dan Keangkuhan
Amsterdam, musim semi tahun 1592.
Di sebuah rumah kayu di tepi kanal, Cornelis de Houtman menatap peta dunia yang terbentang di mejanya. Matanya menyusuri garis-garis halus yang melukis samudra dan benua. Tangannya bergetar ringan, bukan karena takut, melainkan karena gairah yang mendidih di dalam dada—hasrat menembus dunia yang bersembunyi di balik cakrawala.
Ia baru pulang dari Lisbon setelah setahun hidup di jantung kekaisaran Portugis. Di sana ia menyamar, mendengarkan, dan mencatat jalur pelayaran rahasia menuju Hindia. Ia tahu risikonya. Pemerintah Spanyol dan Portugal menggantung setiap mata-mata Belanda yang tertangkap. Tapi Cornelis tak pernah gentar. Ia menikmati bahaya, bahkan lebih dari hasil yang mungkin ia peroleh.
Selama di Lisbon, ia menelusuri pelabuhan dan memancing cerita dari pelaut mabuk. Ia membeli informasi dengan uang dari investor Amsterdam. Ia mendengar bisik-bisik tentang jalur rempah, tentang badai di Tanjung Harapan, dan tentang sebuah kota pelabuhan di Jawa bernama Bantam.
Ketika ia kembali ke Amsterdam pada Mei 1594, kabar keberaniannya sudah mendahuluinya. Para saudagar Compagnie van Verre menyanjungnya sebagai perintis yang cerdas dan berani, lelaki dengan mata elang dan naluri dagang yang tajam. Mereka percaya Cornelis bisa membuka jalur baru menuju kejayaan Belanda.
Namun di balik kekaguman itu, Cornelis menyimpan sisi yang lebih gelap.
Orang-orang dekatnya menyebutnya sombong, keras kepala, dan kejam. Ia cepat marah dan jarang mendengarkan pendapat orang lain. Ia menolak kritik dan menuntut kesempurnaan dari setiap awak kapal, sementara ia sendiri jarang bercermin.
“Cornelis selalu berteriak paling keras,” kata seorang perwira muda, “tapi saat bahaya datang, ia bersembunyi di balik peta.”
Sifat itu kelak menjerumuskannya.
Selama pelayaran ke Hindia, Cornelis mengatur logistik dengan teliti dan menjaga setiap pengeluaran dengan ketat. Ia cerdik dan hemat dalam berdagang. Tapi kehati-hatian itu berubah menjadi kesalahan fatal di Bantam. Ketika pedagang lokal menawarkan harga lada, ia menolak. Ia menunggu panen berikutnya demi harga yang lebih murah.
Namun laut tak pernah menunggu.
“Siapa yang datang terlalu hati-hati,” ejek seorang pedagang tua, “akan pulang dengan kapal kosong.”
Pedagang Portugis di Bantam memanfaatkan kelengahannya. Mereka menebar fitnah, memutarbalikkan kata-kata, dan menggiringnya ke dalam permainan politik yang tak ia pahami. Cornelis, dengan watak keras dan keyakinan yang berlebihan, menantang pejabat Jawa yang berkuasa. Para penjaga menangkapnya, dan ia meringkuk di penjara lembab selama berminggu-minggu.
Penahanannya mengguncang semangat kru. Para awak berbisik di geladak, mempertanyakan kepemimpinannya. Ketegangan memuncak saat kapten kapal, Jan Meulenaer, tewas mendadak pada malam Natal 1596.
“Diracun,” bisik seorang pelaut muda. “Siapa lagi kalau bukan Cornelis?”
Kecurigaan menyebar seperti wabah. Para pelaut menyeret Cornelis, mengikat tangannya dengan rantai besi, dan mengurungnya di ruang gelap bawah dek. Dewan kapal akhirnya membebaskannya karena tak menemukan bukti. Tapi noda kecurigaan tetap menempel di namanya.
Selama puluhan tahun, orang-orang menyebut Cornelis dengan bisikan tentang racun dan pengkhianatan. Sejarawan jarang berani membelanya. Baru berabad kemudian, dua peneliti, Rouffaer dan IJzerman, meneliti ulang catatan lama dan menyingkirkan rumor itu ke ranah dongeng laut.
Cornelis de Houtman meninggal muda, di usia tiga puluh empat tahun, tak lama setelah ekspedisi berakhir. Namun kisahnya tak ikut terkubur. Ia membuka jalan yang menghubungkan Belanda dengan dunia Timur—jalan menuju rempah, menuju kekayaan, menuju Nusantara.
Di balik keangkuhan dan keras kepalanya, Cornelis tetap berdiri sebagai manusia yang mengubah sejarah. Ia bukan pahlawan sempurna, hanya seorang lelaki yang berani menantang samudra dengan seluruh keberaniannya—dan menanggung akibat dari ambisi yang ia nyalakan sendiri.
Bersambung…