Beranda Peristiwa Pedagang Baju di Pasar Tradisional Tergerus Tren Belanja Online

Pedagang Baju di Pasar Tradisional Tergerus Tren Belanja Online

Pedagang baju di Pasar Induk Rau. (Audindra/bantennews)

LANGIT kota Serang tampak makin kelabu ketika jarum jam mendekati angka empat. Gemuruh petir sesekali mengagetkan pejalan kaki yang berlalu-lalang di Pasar Rau Serang. Hujan rintik-rintik kecil yang datang dengan amat malu-malu tidak jadi alasan untuk para pedagang menutup lapak dagangannya.

Pasar yang dibangun tahun 1982 sebagai relokasi para pedagang dari pasar lama Banten ini telah menjadi tempat bergantung hidupnya ratusan pedagang. Salah satu lapak yang masih buka di sore hari yaitu toko baju milik Indra Jambak (54). Toko itu berada di Blok D 10 Nomor 7 letaknya hanya sepelemparan batu dari pintu masuk pasar. Buka dari pukul 08.00-17.00 WIB.

Perantau dari Maninjau, Sumatera Barat itu telah berjualan di Pasar Rau selama 16 tahun. Selama itu, dirinya konsisten menjadi penjual baju khusus perempuan setelah sebelumnya berjualan di Tanah Abang, Jakarta dari tahun 80-an.

“Cewek itu memang daya belinya kan lebih kuat dibanding cowok kalau cowok sekali setahun kadang enggak,” kata Indra ketika memberi tahu alasan berjualan baju wanita.

Indra sudah mulai merantau sejak lulus SMA, naluri berdagang khas orang Minang telah mengalir di tubuhnya yang kemudian membawanya pertama kali merantau ke Palembang pada tahun 1987. Naluri itu kemudian menguat sehingga menuntun dirinya untuk mengadu nasib di Jakarta sebelum akhirnya berakhir di Serang.

Toko milik Indra merupakan satu dari puluhan kios baju tradisional yang masih bertahan di Pasar Rau. Namun kini usaha Indra dan puluhan pedagang lainnya mulai kalah saing dengan menjamurnya distro lokal dan tren belanja baju online.

Hal itu pertama kali terasa ketika masa awal Pandemi Covid-19 di tahun 2019. Karena diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah, tren belanja online mulai digandrungi masyarakat.

Di sisi lain dampaknya para pedagang yang hanya menjajakan dagangannya secara langsung di pasar hanya bisa gigit jari karena tidak bisa membuka toko dan sepi pembeli. Sempat senang karena pandemi usai, nyatanya Indra merasa tokonya tidak pernah seramai dulu sebelum pandemi.

“Ini PPKM sudah dicabut tapi kok enggak ada pengunjung aneh gitu kan?Ternyata orang banyak belanja di toko online itu yang dominannya Tiktok itu kan ada karena live bisa belanja langsung,” kata Indra.

Hari demi hari kemudian dilalui dengan semakin berkurangnya pengunjung toko. Saat masa pra belanja online, Indra bisa mengantongi Rp4 juta dalam sehari, namun kini untuk dapat Rp1 juta dan dapat pelanggan 2 dalam seminggu pun ia sudah bersyukur.

Bukannya menolak kemajuan, Indra mengatakan dirinya pernah menjajal berjualan online dan menjual dagangannya di aplikasi Shopee. Ternyata ia hanya bisa bertahan 3 bulan karena tidak bisa bersaing harga dengan para pedagang online lainnya.

“Kita ini kan kalau disebutnya tangan ketiga gitu kan. Pertama produsen, produsen jual ke Tanah Abang terus dari Tanah Abang nanti kita beli nih. Misalnya kalau kemeja atau kaus ini gitu kan di online mereka Rp20.000, Kita belanja di Tanah Abang Rp21.000 dijual pada Rp25.000 itu pun susah gitu. Dengan barang yang sama kita jual cuma Rp50.000, orang bisa jual Rp50.000 dapet 3 biji” keluhnya.

Ia tahu betul jika alasan pedagang online dapat membanting harga semiring mungkin karena mereka dapat memangkas harga distribusi dan sewa toko. Sedangkan untuk Indra dengan harga sewa kios Rp40 juta per tahun kemudian membeli dari tangan kedua. Untuk ikut banting harga itu malah dapat membuat usahanya gulung tikar dengan cepat. Beruntungnya, saat hari-hari besar seperti Idul Fitri tokonya masih dilirik pengunjung yang masih melestarikan budaya beli baju baru ketika lebaran.

Sudah kewalahan menghadapi pedagang online, kini toko baju di pasar tradisional juga makin digencet dengan menjamurnya distro lokal ala anak muda dan tren belanja baju bekas atau thrifting. Melawan dua “raksasa” tren fashion itu membuat Indra pusing tujuh keliling.

“Nah itu yang lebih parah lagi impor impor China itu levis ini harga Rp4.000 di China. Jadi itu  udah parah banget gitu ya. Masa levis (dijual lagi) ada Rp20.000 ya,” imbuhnya.
Untuk kualitas, Indra masih yakin jika toko baju miliknya masih dapat bersaing dengan pedagang online. Baju-baju yang dijualnya dengan harga Rp25-150 ribu masih dapat dijamin kualitasnya.

Terakhir, Indra berharap agar Pemerintah dapat mendorong UMKM seperti dirinya untuk dapat kembali hidup. Namun, jika kondisi kedepannya tidak berubah, beralih dagangan mungkin menjadi opsi terbaik untuknya.

“Saya pelan-pelan usaha lain, pelan-pelan belajar juga kan, sekarang lagi coba sama teman karena harus cepat cari backup, lagi belajar sih,” Ujar Indra seraya tersenyum.

(Dra/red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini