
PANDEGLANG – Sejumlah warga di Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, menuntut ganti rugi lahan yang akan digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai markas Batalyon Teritorial Pembangunan. Bahkan, tuntutan itu beberapa kali disampaikan ke pihak desa bahkan ke TNI langsung.
Masyarakat juga sempat mendatangi lokasi yang sedang digarap oleh TNI untuk mempertanyakan kejelasan ganti rugi lahan mereka. Pasalnya, saat ini sekitar 5 hektare lahan sedang digarap untuk proses pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan.
Salah satu Ketua RT di Kampung Sukamaju, Desa Rancapinang, Suarta menegaskan warga tidak menolak pembangunan Batalyon. Namun, mereka hanya menuntut ganti rugi lahan seluas 367 hektare yang kini diklaim milik TNI.
“Kami memohon keadilan dan kebijakan untuk rakyat Rancapinang karena lahan-lahan dan pohon milik masyarakat sudah ditebang, dirusak. Tetapi belum ada penyelesaian dengan baik untuk masyarakat,” kata Suarta saat melakukan aksi unjuk rasa menyambut kedatang Wakil Kepala Staf Angkatan Darat di lokasi pembangunan, Kamis (12/6/2025).
Suarta menyesalkan aktivitas alat berat di lahan tersebut karena sudah merusak pohon-pohon produktif. Namun, tidak ada kejelasan terkait ganti rugi kepada masyarakat.
“Kami sangat menyesal dan sedih banget, karena dari dulu sampai sekarang belum ada kejelasan ganti rugi status lahan-lahan kami yang mau dibangun. Dan sekarang sudah dirusak tanpa ada hitungan yang jelas, itulah yang kami keluhkan,” keluhnya.
Dirinya berharap pemerintah mampu menyelesaikan permasalahan ini tanpa ada pihak yang harus dirugikan.
Sebab, dirinya mengaku sebagian besar warga di daerah tersebut menggantung penghasilan mereka dari hasil pertanian dan perkebunan.
“Kehidupan kami dari awal sampai sekarang bergantung pada hasil perkebunan, buah kelapa bisa dijual kalau tidak ditebang. Kayunya bisa digunakan kalau tidak dirusak,” ucapnya.
“Tapi tidak apa-apa dirusak kalau ada penyelesaian untuk masyarakat jadi enak, nyaman dan tenteram. Nanti masyarakat dari mana untuk makan ke depannya,” ucapnya.
Ia menjelaskan asal mula konflik tanah tersebut dimulai, sekitar tahun 1997 pihak TNI dan masyarakat setuju jika lahan tersebut digunakan untuk lokasi latihan pertempuran hutan.
Selain itu, masyarakat mendapatkan kompensasi dari TNI sebagai bentuk ganti rugi garapan karena khawatir ada tanaman warga yang rusak setelah aktivitas latihan.
Namun kompensasi tersebut hanya sebatas ganti rugi garapan bukan jual beli tanah milik warga. Belakang diketahui bahwa tanah dengan luas 376 hektare tersebut sudah muncul Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dimiliki oleh TNI.
“Dulu (1997) ganti rugi apabila ada tanaman-tanaman yang rusak tetapi ko sekarang mengakui lahan kami yang 376 hektar. Makanya saya sebagai wakil masyarakat mau dan mengharapkan pemerintah yang adil dan bijaksana untuk kenyamanan masyarakat,” katanya.
Kata dia, dari total 376 hektare lahan yang kini diakui oleh TNI bukan hanya hutan atau perkebunan warga saja, melainkan banyak bangunan rumah milik masyarakat dan sekolah milik negara.
“(Pemukiman) Banyak dari Rancecet, terus Sukamaju itu banyak. Ada juga sekolah yang masuk di blok TNI, masyarakat tidak tahu dan tidak paham apa itu blok TNI dan masyarakat bertanya-tanya sampai sekarang juga,” ujarnya.
Terpisah, Danramil Cimanggu, Kapten Infanteri Supandi menjelaskan, kedatangan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) ke Rancapinang untuk meninjau langsung lokasi yang akan dijadikan Batalyon Teritorial Pembangunan dan ingin mengetahui sejauh mana progres pembangunannya
Saat disinggung terkait konflik lahan dengan warga, dia menjelaskan, awalnya tanah tersebut statusnya Tanah Negara (TN) dan masyarakat sekitar memanfaatkan lahan tersebut untuk digarap.
Kemudian lahan tersebut sempat digunakan untuk latihan. TNI sempat memberikan kompensasi ganti rugi garapan dan bukan jual beli lantaran tanah tersebut milik negara.
“Ada kejadian pro dan kontra di sini. Mereka ada yang tidak mengetahui terkait pembebasan lahan ini, tapi yang kami ketahui berdasarkan informasi tanah di sini adalah tanah negara,” ucapnya.
“Dan dulu ada tim pembebasan lahan ganti rugi garapan, bukan jual beli tanah. Karena ini tanah negara dan kami sudah lakukan sosialisasi sehingga dulu tidak ada masalah,” bebernya.
Danramil juga mengaku, pada saat pembentukan tim ganti rugi garapan semua pihak dilibatkan, termasuk warga sekitar dan aparatur desa.
Namun, untuk bukti konkret terkait lahan tersebut milik TNI, dirinya mengaku data tersebut berada di Markas Zibang III Siliwangi.
“Kalau yang kami ketahui kronologi kejadian pada saat pembebasan itu tahun 1997 yang dilakukan oleh salah satu PT saya lupa namanya. Dia (PT) membentuk tim dan orang-orangnya itu berasal dari sini semua,” katanya.
“M9ereka ada yang masih hidup ada juga yang sudah meninggal dan bahkan aparatur desa juga mengetahui. Kalau datanya itu ada di Zibang kami hanya sebatas mengetahui saja karena datanya ada di Zibang,” tutupnya.
Penulis : Memed
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd