Beranda Peristiwa Warga Pulau Sangiang Terancam Terusir dari Kampung Halaman

Warga Pulau Sangiang Terancam Terusir dari Kampung Halaman

Mahasiswa menggelar acara teatrikal dalam rangka mendukung perjuangan masyarakat Pulau Sangiang

SERANG – Ratusan masyarakat Pulau Sangiang, Kabupaten Serang berkumpul di pantai Anyer, meminta dukungan masyarakat luas atas perjuangan mereka mempertahankan tanahnya.

Aksi teatrikal mahasiswa menjadi pembukanya. Teater itu menggambarkan perjuangan masyarakat empat kampung di Pulau Sangiang mempertahankan tanah ulayatnya dari penyerobotan.

Mahasiswa ini mengeluarkan sebuah ungkapan berbunyi “tong potong roti, dicampur mentega, Belanda sudah pergi kini datang gantinya. Tong potong roti, dicampur mentega, siapa beli pulaunya” yang terus di ucapkan berkali-kali.

Ratusan warga Pulau Sangiang kini terancam terusir dari wilayahnya yang telah ditempati selama ratusan tahun lalu. Setidaknya, sejak jaman Kesultanan Banten dan Kerajaan Lampung berdiri.

Status tanahnya yang merupakan tanah Ulayat dari Kerajaan Lampung, tiba-tiba berubah memiliki sertifikat dan sudah terbagi-bagi.

“Yang kita tahu tanah Ulayat diberikan oleh kerajaan Lampung. (Surat Ulayat) aslinya ada tulisan Lampung, dihibahkan ke masyarakat,” kata Nurwahdini, Kades Cikoneng, Pulau Sangiang, saat ditemui di Anyer, Kabupaten Serang, Sabtu (25/8/2018) malam.

Pulau Sangiang memiliki luas 768 hektare dan ditempati oleh 48 Kepala Keluarga (KK) secara turun temurun. Tanpa aliran listrik, warga mengandalkan penerangan melalui mesin genset di setiap rumahnya.

Nurwahdini bercerita ditahun 1983, status Pulau Sangiang berubah menjadi Cagar Alam. Kemudian tahu 1991 hingga 1992, terjadi pembebasan lahan di Pulau Sangiang seluas 251 hektare untuk dijadikan sebuah penginapan yang dikelola oleh Pondok Kalimaya Putih (PKP).

Lalu ditahun 1993, muncul surat keputusan Menhut bahwa pengelolaan Pulau Sangiang dilakukan oleh BKSDA bersama PKP tanpa melibatkan masyarakat setempat.

“(Munculnya sertifikat tanah) saya tidak tahu (kenapa). Karena mengenai hal itu, data-data masalah pulau Sangiang hilang. (sengaja dhilangkan) enggak ngerti, begitu saya jadi kepala desa, (data) itu udah enggak ada,” terangnya.

Masyarakat bersama mahasiswa dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Banten terus berupaya mendapatkan kembali hak masyarakat sebagai tanah Ulayat. Setidaknya hal ini dilakukan oleh Agra sejak tahun 2013.

Masyarakat yang tinggal di empat kampung Desa Cikoneng yakni kampung Bojong, bubur, Tegal dan Cikoneng sudah berkali-kali mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemkab Serang, Pemprov Banten hingga Kemenhut untuk meminta solusi. Namun kehadirannya seperti tidak di ladeni.

“Tahun 1983 di ubah menjadi cagar alam. Nah mulai terjadi konflik, warga tidak terima dijadikan cagar alam, karena (status) tanahnya Ulayat. Sekarang statusnya di ubah menjadi taman wisata alam,” kata Muhibuddin, Ketua Agra Banten, ditempat yang sama, Sabtu (25/8/2018).

Warga Pulau Sangiang yang sehari-harinya sebagai petani dan nelayan, kini sudah kesulitan bercocok tanam. Lantaran, pulau yang sudah ditempatnya sejak ratusan tahun itu, tiba-tiba dihuni oleh babi hutan, rusa, musang, monyet dan binatang liar lainnya yang sebelumnya tak ada.

Warga pulau yang berada di Selat Sunda dan menjadi pemisah antara Pulau Jawa dan Sumatra pernah meninggalkan rumahnya, lantaran Pulau Sangiang dikuasai oleh Jepang. Kemudian ditahun 1955 mereka kembali menempati lagi rumahnya.

Kini, mereka terus berupaya mempertahankan tanah milik nenek moyangnya dengan status tanah Ulayat. Bukan lagi berubah menjadi ‘sertifikat’.

“Nah itu yang menanami babi hutan itu kehutanan (Kemenhut) yang bekerjasama dengan perusahaan yang menguasai pulau tersebut,” ujarnya. (You/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini