Beranda Peristiwa Warga Padarincang Kembali Tolak Proyek Geotermal

Warga Padarincang Kembali Tolak Proyek Geotermal

Warga Padarincang yang tergabung dalam Syarekat Perjuangan Rakyat (Sapar) kembali melakukan aksi menolak proyek Geotermal atau tenaga panas bumi

SERANG – Warga Padarincang yang tergabung dalam Syarekat Perjuangan Rakyat (Sapar) kembali melakukan aksi menolak proyek Geotermal atau tenaga panas bumi di wilayah tersebut. Masyarakat meminta pihak perusahaan menghentikan proyek tersebut karena merasa cemas dengan dampak lingkungan proyek.

Perwakilan warga dari Sapar, Haji Doif, menyatakan bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Geotermal akan merusak ekosistem pertanian dan kultur masyarakat setempat.

Belum lagi ancaman dampak lingkungan berkaitan dengan aktivitas panas bumi di wilayah tersebut mulai dari ancaman lumpur panas dan sebagainya.

“Daerah kami rawan gempa karena lempengannya masih terasa jika terjadi gempa di Lebak dan Pandeglang. Apalagi kalau ada aktivitas geothermal, ini kan bisa menjadi trigger (pemicu) bencana alam. Di sisi lain, lahan kami potensial untuk pertanian, jadi tidak sesuai dengan kondisi lingkungan. Maka dari itu kami menilai proyek tersebut tidak ramah lingkungan, sosial, budaya dan akan merusak ekosistem,” katanya di sela aksi, Senin (26/8/2019).

Di sisi lain, ia menambahkan proyek tersebut tidak sesuai dengan kultur pertanian di Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Janji perusahaan yang akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar menurutnya, tidak sebanding dengan kerugian dan manfaat yang dirasakan masyarakat setempat.

Ia mencontohkan, luas wilayah persawahan di Padarincang mencapai 6 ribu hektare. Hasil pertanian dari 1 hektare sawah bisa mencapai 4 ton gabah. Total hasil gabah dari sawah seluan 6 ribu hektare mencapai 24 ribu ton dalam waktu empat bulan.

“Jika dikonversi ke rupiah dengan nilai gabah Rp4000 saja mencapai Rp96 miliar per 4 bulan. Perbulannya 34 miliar. Ini kalau hitungan secara matematis,” katanya.

Dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja, lanjut dia, jika perusahaan menyerap tenaga kerja 1.000 orang dengan gaji tiap karyawan sebesar Rp5 juta per bulan maka total sebesar Rp5 miliar.

“Jauh dengan hitungan hasil pertanian. Belum lagi potensi wisata dan perkebunan warga,” jelasnya.

Selain itu, industri tersebut dinilai akan menggunakan air dari hulu yang akan merugikan lahan pertanian warga.

“Makanya tuntutan kami izin proyek itu dicabut selamanya, kami menolak adanya ekspolitasi panas bumi karena di daerah pemukiman warga,” tandasnya.

Di sisi lain, pihaknya menuding persahaan melakukan manajemen konflik antar warga.

“Bukannya memberikan pengertian kepada masyarakatr tapi melakukan manajemen konflik secara horizontal antar masyarakat. Apakah ini target yang ingin dicapai dari isu clean energy. Kalau benar clean energy maka cara-caranya juga harus clean,” kata dia.

Ia berharap, proyek geothermal tersebut tidak seperti Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi Daratei Mataloko di daerah Ngada, Flores-NTT. Sebagai mana diketahui, Lembaga Komnas HAM menetapkan bahwa, dampak Lingkungan proyek PLTP Daratei di Desa Ulubelu, Kec. Golewa, Kab. Ngada, Prov. NTT, merupakan pelanggaran HAM sesuai kunjungan kerja pada tanggal 29-30 April 2015.
(You/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disiniĀ