Beranda Peristiwa Warga Keluhkan Jual Paksa Tanah PIK 2, Ombudsman: Kepala Desa Tak Seharusnya...

Warga Keluhkan Jual Paksa Tanah PIK 2, Ombudsman: Kepala Desa Tak Seharusnya Jadi Broker

Rajudin saat mengadu ke Ombudsman. (Rasyid/BantenNews)

KAB. SERANG – Rajudin, warga Desa Muncung, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten Serang menceritakan bahwa tanah milik keluarganya sekitar 9 hektare diuruk paksa oleh pihak pengembang, meski belum pernah dijual secara sah.

Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Agustus 2024, tanpa kesepakatan yang jelas antara pemilik lahan dan perusahaan pengembang yang diduga terafiliasi dengan proyek kawasan PIK 2.

“Padahal orang tua saya menolak menjual tanah itu, sudah ada banyak tawaran dari perusahaan, tapi kami tetap bertahan. Lalu tiba-tiba Jumat siang, tanah itu diuruk,” ujar Rajudin saat ditemui, Selasa (8/7/2025).

Ia menjelaskan, keluarganya bahkan telah memasang spanduk penolakan sebagai bentuk pemberitahuan pemilik dan penolakan penjualan lahannya.

Namun begitu, kata dia, pengurukan tetap dilakukan. Rajudin menuding proses itu sebagai bentuk tekanan terhadap pemilik lahan agar menyerah dan menjual.

“Akhirnya tanah itu dijual karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Harganya Rp55 ribu per meter. Tapi pembayaran juga belum lunas, baru uang muka,” ucapnya.

Menurut Rajudin, proses jual beli dilakukan melalui kelurahan, dengan keterlibatan aparat desa, pihak luar, dan perwakilan dari perusahaan.

Ia menduga pengurukan dilakukan dengan mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk memberikan tekanan.

“Yang datang menawar itu bawa-bawa nama PSN. Padahal setahu saya, proyek PSN tidak masuk ke desa kami. Tapi tetap saja disampaikan ke warga seolah-olah wajib dijual,” jelasnya.

Atas peristiwa itu, Rajudin mengadu ke Ombudsman RI Perwakilan Banten, berharap pemerintah turun tangan sebagai penengah.

“Kami minta negara hadir untuk menengahi, jangan sampai rakyat terus dirugikan seperti ini,” tegasnya.

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Banten, Zainal Muttaqin, menanggapi laporan warga Muncung tersebut. Menurutnya, dalam tata ruang Kabupaten Tangerang, lahan yang dimaksud memang telah dialihfungsikan dari kawasan pertanian atau empang menjadi zona permukiman.

Baca Juga :  Exit Tol Bitung Belum Bisa Dilalui Kendaraan, Ketinggian Air 1 Meter

Namun perubahan fungsi itu tidak serta-merta melegalkan praktik jual beli yang tak adil.

“Kalau mau dibangun permukiman, sah-sah saja secara tata ruang. Tapi proses jual-belinya harus adil dan transparan. Kalau warga tidak mau menjual, ya tidak boleh dipaksa,” tegas Zainal.

Ia menyebut, laporan resmi dari warga memang belum diterima secara formal. Namun Ombudsman telah mengidentifikasi persoalan serupa di sejumlah desa pesisir utara, termasuk yang berbatasan dengan Kabupaten Serang.

Kata Zainal, beberapa di antaranya diduga berkaitan dengan pengurukan lahan dan pembangunan pagar laut yang juga dipersoalkan oleh nelayan.

Zainal menilai, keterlibatan aparatur desa dalam transaksi lahan patut dipertanyakan.

“Kalau kepala desa ikut menjadi perantara atau broker perusahaan, itu tidak etis. Kepala desa seharusnya menjadi fasilitator, bukan berpihak,” ujarnya.

Menurutnya, aparatur desa seharusnya mencatat riwayat tanah secara transparan, memfasilitasi komunikasi antara warga dan perusahaan, serta memastikan transaksi terjadi atas dasar kesepakatan sukarela dan tercatat secara administratif.

“Kami sudah mengingatkan pemerintah daerah agar menjalankan fungsinya sebagai administrator. Jangan sampai mengambil peran yang justru membuat warga merasa ditekan,” katanya.

Lebih jauh Zainal menegaskan, pembangunan apa pun, meskipun didasarkan pada regulasi resmi, tetap harus mengedepankan hak-hak masyarakat.

“Tidak boleh ada pembangunan yang dilakukan dengan mengabaikan partisipasi dan hak dasar warga,” pungkasnya.

Penulis: Rasyid
Editor: TB Ahmad Fauzi