
SERANG – Puluhan aktivis koalisi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) perguruan tinggi negeri di Banten berunjukrasa di depan Gedung DPRD Banten, KP3B, Curug, Kota Serang, Selasa (13/10/2020). Mereka menuntut dicabutnya Undang-undang (UU) Cipta Kerja.
Setidaknya terdapat sembilan tuntutan massa, di antaranya adalah, meminta mencabut UU Cipta Kerja dan kembali fokus penanganan virus Corona, jalankan reforma agrarian untuk mewujudkan kedaulatan pangan, menciptakan pembangunan ekonomi inklusif. Naikan Upah Minimum Provinsi Banten (UMP), lindungi petani dan lakukan pemberdayaan.
Prioritaskan pelayanan listrik bagi masyarakat bukan perusahaan, wujudkan pendidikan ilimiah yang demokratis serta mengabdi kepada masyarakat, wujudkan pembangunan yang ramah lingkungan dan mengecam keras tindakan represif terhadap keberlangsungan demokrasi.
Koordinator Lapangan, Ibnu Mas’ud mengatakan, disahkannya UU Cipta Kerja di masa pandemi Covid-19 mengakibatkan timbulnya keresahan di masyarakat, tak terkecuali para aktivis mahasiswa di Banten. Dirinya menilai, UU tersebut menjadi sebuah malapetaka.
“UU tersebut berdampak buruk bagi perkembangan lini sektoral di masyarakat,” kata Ibnu dalam orasinya.
Dikatakan Ibnu, yang paling menjadi sorotan tajam dalam UU CIpta Kerja dimana terdapat penyederhanaan perizinan yang tampaknya akan mengubah paradigma perizinan berusaha, dari pendekatan berbasis izin menjadi pendekatan berbasis risiko, serta menghapus izin-izin dan pesyaratan yang dianggap dapat menghambat investasi.
“Lingkungan hidup dianggap sebagai salah satu risiko dalam perizinan usaha. Yang mengakibatkan penggolongan persyaratan izin usaha/kegiatan berdasarkan besarnya risiko terhadap Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) menjadi usaha yang berisiko rendah, menengah dan tinggi. Serta adanya penghilangan terminologi Izin Lingkungan dan Izin Lingkungan tidak lagi menjadi syarat,” katanya.
Lebih lanjut, Ibnu mengungkapkan, penerbitan izin usaha yang berakibat dihapusnya izin lingkungan akan mengurangi aspek pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
“Belum lagi adanya penghilangan ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran izin akan memberi sinyal positif bagi pelaku usaha untuk memilih mengabaikan lingkungan hidup. Dengan demikian, penghapusan sanksi pidana bagi perbuatan pengabaian, perusakan dan pencemaran lingkungan sama saja dengan menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan kesalahan,” ungkapnya.
Dengan demikian, Ibnu menilai, pelaku usaha tidak akan menganggap perbuatan yang berpotensi merusak dan mencemari lingkungan tersebut sebagai kesalahan.
“Konsekuensinya, pelaku usaha akan abai terhadap upaya-upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan serta perlindungan lingkungan hidup. Omnibus Law pun mendorong adanya liberalisasi sumber-sumber agraria, perampasan tanah rakyat yang membahayakan petani,” ujarnya.
Ibnu menilai, UU Cipta kerja seharusnya menciptakan peluang kerja bagi tenaga kerja lokal sehingga bisa mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Tapi, dalam substansinya justru UU tersebut malah memberikan kesamaan derajat dengan tenaga kerja asing. “Tentunya ini juga menjadi malapetaka yang menghancurkan bagi masa depan kita,” pungkasnya.
(Mir/Red)