JAKARTA – Sejak setahun lalu produk lauk pauk khas Indonesia, tempe mulai merambah pasar ekspor. Makanan berbahan dasar kedelai itu juga ditargetkan bisa masuk ke pasar Arab Saudi.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengungkapkan pengrajin tempe telah mengekspor produknya ke Korea Selatan, Hongkong dan Malaysia sejak pertengahan 2018 lalu.
Setelah enam bulan, menurut dia, pengrajin tempe telah berhasil mengirim 20-30 kontainer tempe ke tiga negara tujuan ekspor itu. Adapun setiap kontainer memuat kurang lebih 20 ton tempe.
Aip menjelaskan pengrajin bisa menjual tempe dengan harga dua kali lipat lewat ekspor. Saat ini, harga tempe di dalam negeri berkisar Rp15 ribu-Rp20 ribu per kilogram (kg) di dalam negeri. Sedangkan jika diekspor, pengrajin tempe bisa mematok harga Rp40 ribu-Rp 50 ribu per kg.
“Jadi kalau satu kontainer pengrajin bisa mendapatkan kurang lebih Rp800 juta sampai Rp1 miliar. Jadi diharapkan bisa meningkatkan kesejahteran pengrajin tempe,” kata Aip kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/1).
Melihat peluang tersebut, maka pengrajin tempe akan mempeluas pasar ekpor. Aip mengatakan negara yang menjadi target pasar ekspor selanjutnya adalah Arab Saudi. Alasannya, Arab Saudi menawarkan pasar yang menjanjikan lantaran adanya masyarakat yang hendak melaksanaan ibadah umroh dan haji.
“Satu tahun yang berangkat umroh lebih dari 1 juta orang dan yang berangkat naik haji di atas 200 ribu orang. Jadi itu pasar yang besar, selama 40 hari mereka tinggal di sana dan pada umumnya mereka minta makanan tempe,” papar Aip.
Aip menuturkan kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta ton setiap tahunnya. Per 1 kg kedelai itu, lanjutnya, bisa menghasilkan 1,8 kg tempe. Dengan perhitungan itu, maka pengrajin tempe bisa menghasilkan kurang lebih 4-5 juta ton tempe tahu per tahun. Jumlah itu, kata Aip, setara dengan kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Meskipun pengrajin telah menyasar pasar ekspor, ia memastikan masyarakat tidak akan kekurangan ketersediaan tempe. Tempe yang diekspor juga harus memenuhi aturan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Namun demikian, bukan berarti ekspor tempe selalu mulus. Aip memaparkan kendala ekspor tempe yaitu ancaman busuk di dalam kontainer akibat lamanya proses di pabean.
“Ada pengalaman ekspor Korea, karena ini bahan makanan maka pemeriksan di sana ketat sakali butuh satu minggu. Jadi begitu keluar (pabean) minggu kedua sudah busuk. Akhirnya kami rugi,” ujarnya.
Untuk itu, sebagai pihak fasilitator Gakoptindo akan mengajukan bantuan dari pemerintah, baik dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama, dan pemangku kepentingan terkait.
Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan pemerintah akan mendorong ekspor tempe ini lewat penyediaan teknologi pangan. Dengan demikian, tempe ekspor tersebut bisa awet sehingga mengurangi risiko busuk di kontainer.
“Kami akan bicara lagi dan kami mau dorong,” kata Enggar. (Red)