Beranda Opini Tantangan Partai Politik Atas Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024

Tantangan Partai Politik Atas Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024

Direktur Yayasan Harsha Citra Indonesia Lukman Hakim. (Istimewa)

Oleh: Lukman Hakim

Direktur Eksekutif Yayasan Harsha Citra Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 tentang Pemisahan Pemilu Nasional (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD) dan Pemilu Daerah (Pemilihan Gubernur, Walikota/Bupati, dan DPRD) yang dilaksanakan maksimal 2 tahun 6 bulan setelah Pelantikan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Saya tidak membahas problematika atas putusan MK, karena putusan itu bersifat final dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR secara teknis perlu merekayasa Undang – Undang sistem pemilu yang akan datang.

Saya hanya fokus membahas agar Partai Politik bisa adaptasi pemilu mendatang berdasarkan Putusan MK 135/2024.

Partai Politik akan menghadapi tantangan baru karena mengubah kebiasaan Pemilu selama 20 tahun Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kab/Kota dan memformat ulang strategi pemenangan untuk menghadapi Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Berikut Tantangan yang dihadapi oleh Partai Politik ;

1. Runtuhnya Cottail Effect

Cottail Effect atau Efek ekor jas adalah kondisi di mana popularitas kandidat di tingkat atas (biasanya presiden) memberi limpahan suara pada kandidat partai di tingkat bawah.

Contohnya calon legislatif, fenomena ini menjelaskan bagaimana caleg yang tak dikenal bisa meraih suara besar hanya karena “menumpang” nama besar partainya atau capresnya.

Salah satu dampak tersembunyi namun sangat menentukan dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah adalah runtuhnya coattail effect atau efek ekor jas dalam dinamika politik elektoral di Indonesia.

Selama lebih dari satu dekade terakhir, efek ekor jas menjadi mesin utama pemenangan partai politik. Figur capres atau tokoh nasional dijadikan lokomotif kampanye yang otomatis menarik gerbong calon legislatif maupun kepala daerah dari partai yang sama.

Namun, mulai 2029 dan 2031, efek ini diprediksi akan melemah atau bahkan menghilang total.

Pada Pemilu 2019 dan 2024, kita melihat bagaimana kandidat legislatif mendulang suara dari pencitraan capres. Partai kecil pun bisa mendapat kursi jika mengusung capres kuat.

Baca Juga :  Sebuah Upaya Menyelamatkan Diri dari PHK

Tapi mulai 2029, ini tidak lagi relevan. Pilpres dan Pileg 2029 akan selesai jauh sebelum Pilkada dan Pemilu DPRD 2031 dimulai. Suasana politik sudah berganti, ingatan publik sudah bergeser

Ini adalah tantangan sekaligus peluang. Kandidat di tingkat daerah dipaksa membangun basis dukungan sendiri, membuktikan kedekatan dan kapasitas personal, bukan hanya “nebeng partai”.

Sementara itu, partai politik harus berbenah: tidak bisa lagi hanya mendompleng elite nasional, tetapi harus mengakar di masyarakat. Artinya, kualitas figur lokal akan menentukan segalanya.

Elektabilitas tidak bisa dipasok dari Jakarta. Semua harus dibangun dari desa, kelurahan, pasar, pesantren, komunitas.

Partai Politik perlu melakukan pra kondisi menghadapi Pemilu Daerah dengan mempersiapkan kader untuk diusung menjadi Kandidat Kepala Daerah yang memiliki populatitas dan kapasitas mumpuni untuk dapat mendongrak perolehan Legislatif di Daerah.

Namun, menguntung bagi Partai Politik yang saat ini kadernya sedang menjabat sebagai Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) yang memiliki infrastruktur politik lengkap dan popularitas yang cukup tinggi di masyarakat untuk mempertahankan kekuasaannya di daerah.

Di sisi lain, antar Partai Politik harus menemukan Paket dealing untuk menjadi Partai Koalisi pengusung pasangan Gubernur dan Bupati/Walikota karena Partai Politik harus memikirkan paket pemenangan Legislatif agar tidak terjadi distraksi yang dapat menurunkan efisiensi dan kualitas kerja tim pemenangan Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

2. Pendanaan dan Logistik Kampanye yang terfragmentasi

Pada pengalaman Pemilu tahun 2024 dan Pilkada Serentak 2025, Partai Politik sudah melewati fase 2 periode pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak yang cukup menguras pikiran, dana dan logistik.

Itu pun, Evaluasi dan pembelajaran dari 2 fase pemilihan lalu belum selesai menjadi dokumen final strategi pemilu berikutnya, Partai Politik harus adaptasi kembali dengan Pemilu Nasional 2029 dan Pemilu Daerah 2031

Jika mengacu pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 di Provinsi Banten, Calon Anggota DPR RI dengan masing-masing 2 hingga 3 Kabupaten/Kota jika rata-rata dibutuhkan dana kampanye Rp10 miliar – Rp15 miliar agar terpilih menjadi Anggota DPR RI.

Baca Juga :  Tekan Potensi Politik Uang, Bawaslu Akan Patroli di Masa Tenang

Maka tahun 2029 biaya dan logistik para Caleg dapat melonjak 2 kali lipat. Karena pertama, tidak ada lagi tandem dengan DPRD Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dapat saling berkontribusi suara dan sharing dana kampanye.

Kedua, Caleg DPR RI bukan hanya memenangkan dirinya tetapi sekaligus memenangkan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Kondisi itu berlaku bagi Calon Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang harus mengeluarkan dana kampanye yang tak biasanya karena harus memenangkan Calon Kepala Daerah yang diusung Partai Politik masing-masing.

Ditambah Pragmatisme Pemilih yang belum tersosialisasi dan kondisi ekonomi nasional pada tahun 2029 dan 2031 yang mempengaruhi harga alat peraga kampanye.

Kampanye harus dijalankan dalam 2 periode yang berbeda, biaya dan sumberdaya harus dipisah memaksa Partai Politik mengalokasikan dana dan SDM dua kali lipat untuk memastikan kemenangan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

3. Masa Vakum Kader Partai Politik di Daerah

Para kader partai tingkat Kabupaten/Kota hingga provinsi yang tidak lolos pada Pileg 2024 atau yang baru akan maju di periode berikutnya, kini menghadapi kenyataan pahit.

Mereka tidak bisa ikut berkontestasi pada Pemilu 2029, karena pemilu legislatif daerah (DPRD I dan II) baru digelar setelah pilkada, sekitar tahun 2031.

Selama tujuh tahun, mereka bukan hanya kehilangan panggung demokrasi, tetapi juga momentum politik, dukungan akar rumput, dan ruang aspirasi rakyat.

Demokrasi daerah akan mengalami kekosongan keterwakilan politik. Ini bukan sekadar masa tunggu, ini adalah koma elektoral—fase beku yang dapat melumpuhkan regenerasi politik lokal.

Secara institusional, Partai Politik kehilangan energi kaderisasi. Mereka yang sudah ditempa, yang sudah disiapkan untuk menjadi calon legislatif, harus disimpan dalam laci selama tujuh tahun.

Partai bisa kehilangan kader terbaik, karena tidak semua tahan untuk bertahan dalam situasi vakum dan ketidakpastian.

Secara personal, para kader yang sudah berinvestasi waktu, tenaga, dan biaya politik, kini harus kembali ke titik nol. Mereka bukan dikalahkan oleh suara rakyat, tetapi oleh penjadwalan ulang konstitusional yang minim kepekaan sosial-politik.

Baca Juga :  Pancasila di Era Milenial

Putusan MK memang didasarkan pada niat memperbaiki sistem—mengurangi beban logistik, menyederhanakan proses, dan membagi fokus pemilih.

Tapi demokrasi bukan hanya soal jadwal, tapi soal partisipasi. Dan partisipasi hanya bermakna jika ada ruang aktualisasi yang berjangka wajar.

Tujuh tahun adalah waktu yang terlalu panjang. Dalam tujuh tahun, siklus hidup rakyat berubah. Masalah berkembang. Aspirasi berlapis. Tapi wakil-wakil rakyat daerah tidak bisa hadir dalam kontestasi.

4. Polarisasi dan Kecenderungan Pemilih yang Berubah

Pemilu serentak selama ini menciptakan “efek ekor jas” (coattail effect), di mana pemilih cenderung memilih calon legislatif dari partai yang mengusung capres pilihannya.

Dalam banyak kasus, pemilih tidak mengenal calegnya, tapi memilih karena figur nasionalnya.

Dengan pemisahan jadwal, pemilih akan dipaksa untuk berpikir lebih dalam dan kontekstual, karena pilihan di daerah tidak lagi terikat langsung dengan dinamika nasional.

Ini membuka peluang bagi calon lokal yang punya kedekatan nyata dengan masyarakat, terlepas dari warna partainya.

Dalam pemilu serentak, polarisasi politik nasional (misalnya “cebong vs kampret”) kerap menular ke tingkat lokal. Dengan jeda dua tahun antara nasional dan daerah, kemungkinan besar tensi politik akan turun, dan pemilih di daerah tidak lagi terjebak dalam kutub-kutub ideologis sempit.

Mereka akan lebih mempertimbangkan rekam jejak, kinerja nyata, dan kedekatan kultural.

Tanpa efek mobilisasi dari pemilu nasional, pemilu daerah berisiko mengalami isolasi politik. Dalam ruang kosong itu, politik transaksional bisa tumbuh subur. Pemilih yang tidak merasa terkoneksi secara emosional dengan proses politik, rentan disasar oleh iming-iming materi.

Perubahan kecenderungan pemilih pasca pemisahan pemilu ini adalah sinyal: politik nasional dan lokal kini benar-benar terpisah panggung. Partai politik, calon, dan penggerak masyarakat harus menyesuaikan strategi. Tak bisa lagi mengandalkan popularitas nasional untuk menang di daerah.

Pemilih akan berubah. Maka cara mendekati mereka juga harus berubah—lebih membumi, lebih terukur, dan lebih tulus.

Tim Redaksi