Beranda Ramadan Syekh Asnawi Caringin, Ulama yang Gigih Melawan Penjajah

[Seri Ulama Banten] Syekh Asnawi Caringin, Ulama yang Gigih Melawan Penjajah

Syekh Muhammad Asnawi dari Caringin. (Sumber: De Locomotief, 28 Juni 1937)

SYEKH Asnawi Caringin terlahir dengan nama Tubagus Muhammad Asnawi di kampung Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten pada tahun 1850 Masehi. Ia merupakan putra dari pasangan Abdurrahman dan Ratu Sabi’ah.

Nasab beliau dari jalur ayah bersambung sampai kepada Sultan Banten, sedangkan dari pihak ibu, nasab beliau sampai ke Sultan Agung Mataram.

Ia dikenal sebagai ulama yang gigih menentang penjajahan Belanda. Ia mengorganisir para jawara Banten untuk menentang penjajahan.

Sejak usia 9 tahun, Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah.

Di sana ia berguru kepada Syekh Nawawi Al-Bantani bersama santri-santri asal Indonesia semisal Kiai Cholil Bangkalan, Hadratusysyekh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Selain belajar ilmu-ilmu agama, ia juga belajar tarekat kepada Syekh Abdul Karim Tanara, ulama Banten yang juga bermukim di Makkah.

Setelah mengaji bertahun-tahun di Tanah Suci, Asnawi pulang ke kampung halamannya pada tahun 1870. Untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmunya, ia mendirikan pesantren di kampung tersebut. Pesantren tersebut dikenal dengan ilmu fiqih, tasawuf, dan ilmu beladiri.

Ketika gunung krakatau meletus, ia beserta keluarganya selamat dengan mengungsi ke kampung Muruy, Menes. Sayang seluruh pesantrennya di kampung Caringin hancur lebur. Ketika kembali lagi ke kampung halaman dari pengungsian, ia membangun ulang pesantrennya. Serta mendirikan masjid yang diberi nama masjid Agung Assalafi, atau menurut sumber lain Salafiah.

Arsitektur Masjid Salfiah merupakan campuran dari unsur lokal dan luar. Unsur lokal terlihat dari atapnya. Sementara unsur luar terlihat dari bentuk jendela dan pintu dengan ukuran relatif besar. Juga pilar-pilar yang mengelilingi masjid.

Pada tahun 1925, ia mengerahkan santri-santrinya untuk turut membangun jalan antara Labuan dan Carita.

Karena memimpin pemberontakan pada tahun 1926, ia dan keluarganya dipenjara pemerintah kolonial Belanda. Mula-mula dipenjara di Tanahabang Jakarta, kemudian Cianjur. Selama di pengasingan, ia tetap berdakwah dan mengajarkan tarekat ke masyarakat Cianjur. Sementara anaknya, KH Mohammad Hadi dan menantunya, KH Akhmad Khatib yang juga ikut memberontak dibuang ke Digul hulu, Papua sekarang.

Kecintaannya akan perjuangannya terhadap ilmu agama melalui pesantren, penjara tidak membuatnnya jera. Dari dalam penjara, Asnawi meminta dua orang cucunya yang kakak beradik, yaitu KH Tubagus Muhammad Muslih dan KH Tubagus Ahmad Maemun untuk membangun dan meneruskan kembali pesantren Caringin. Pada tahun 1930 berdirilah madrasah Masyarkul Anwar yang terletak di di depan Masjid Salafiah.

Pada tahun 1931, KH Tubagus Muhammad Asnawi bebas dari penjara. Kemudian pada tahun 1937, ia wafat. Jenazahnya dikebumikan di Masjid Salafiah. Makamnya hingga sekarang tidak pernah sepi dari para peziarah. (Ink/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini