Beranda Opini Sengkarut Tantangan Ketahanan Pangan pada Desa Transisi

Sengkarut Tantangan Ketahanan Pangan pada Desa Transisi

Ilustrasi - foto istimewa kompas.com

Oleh: Mahpudin, Dosen Pembimbing Lapangan KKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

Ketahanan pangan selalu menjadi diskursus yang tidak pernah selesai untuk diperbincangkan. Ini disebabkan karena pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia (primary need) sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup seseorang. Hari ini, negara di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia terus memberikan perhatian terhadap permasalahan pangan dengan mengelola berbagai kebijakan guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan. Pemerintah Indonesia misalnya, salah satu kebijakan yang dikeluarkan terkait pangan adalah mewajibkan bagi seluruh pemerintah desa untuk mengalokasikan dana desa minimal sebesar delapan persen untuk ketahanan pangan desa.

Di samping itu, permasalahan stunting juga masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan. Isu stunting dan ketahanan pangan kerapkali tidak dapat dipisahkan, mengingat pada banyak kasus stunting bermula pada persoalan pangan yang tidak tercukupi baik dari segi kualitas pangan (gizi) maupun kuantitas pangan (ketersediaan atau konsumsi). Desa sebagai institusi pemerintahan di level micro yang bersinggungan secara langsung dengan masyarakat, memiliki tanggungjawab yang cukup besar untuk menangani stunting dan ketahanan pangan secara bersamaan.

Makna Ketahanan Pangan yang Dinamis

Ketahanan pangan (food security) sendiri memiliki makna yang sangat luas sehingga bersifat dinamis dan cair. Pemaknaan terhadap ketahanan pangan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Awalnya, ketahanan pangan dipahami sebagai ketersediaan pangan (supply) yang hadirnya ketersediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi individu atau rumah tangga keluarga dalam jangka pendek dan panjang. Pemaknaan ini berimplikasi terhadap adanya kebutuhan akan ketersediaan lahan yang dimanfaatkan secara produktif untuk menghasilkan pangan dalam jumlah yang besar.

Tata kelola diarahkan agar pemerintah mempertahankan – bahkan jika perlu memperluas area lahan pertanian untuk menunjang ketersediaan pangan. Selain itu memaksimalkan lahan tidak produktif untuk dimanfaatkan sebagai pertanian atau perkebunan. Strategi yang biasa dipilih oleh pemangku kebijakan adalah alih konversi lahan dari hutan disulap menjadi pesawahan sebagaimana yang terjadi pada hutan-hutan di Kalimantan dan Papua. Misalnya, pemerintah pusat memperkenalkan kebijakan alih fungsi lahan di hutan Papua dikenal dengan program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)

Pemaknaan ketahanan pangan yang diartikan sebagai ketersediaan (supply) dalam perkembangannya tidak dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan yang semakin kompleks. Laju pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat cepat tidak diikuti oleh pertambahan lahan pertanian atau perkebunan untuk menunjang pangan. Di samping itu, ketika ketersediaan pangan tercapai tidak lantas memberikan jaminan bahwa setiap orang dapat mengakses pangan karena buruknya infrastruktur dan rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan. Artinya muncul masalah aksesibilitas terhadap pangan.

Persoalan ini telah menggeser makna ketahanan dari ketersediaan (supply) menjadi aksesibilitas (accessibility). Individu atau rumah tangga keluarga dikatakan tahan pangan jika dapat mengakses pangan dengan mudah baik karena ditunjang oleh kondisi infrastruktur yang mendukung pangan maupun kemampuan daya beli terhadap pangan. Pemaknaan ketahanan pangan yang berubah juga berdampak terhadap fokus kebijakan tata kelola pangan yang berbeda. Misalnya, pemerintah membangun waduk artifisial untuk pengairan lahan sawah, memperbaiki infrastruktur berupa jalan, drainase, dan pasar untuk memudahkan aksesibilitas. Termasuk memberikan bantuan sosial kepada keluarga miskin baik berupa uang tunai maupun beras untuk mengatasi masalah lemahnya daya beli. Operasi pasar juga dilakukan untuk mengendalikan harga pasar.

Ketahanan pangan yang dimaknai sebagai accessibility ternyata masih menuai kelemahan. Muncul pandangan bahwa ketahanan pangan yang menitikberatkan pada aspek ketersediaan dan aksesibilitas telah mengabaikan masalah kualitas pangan. Kualitas pangan yang dimaksud adalah variasi pangan dan kecukupan gizi dari pangan yang dikonsumsi oleh sesorang. Sederhananya, memiliki stok persediaan beras (nasi) saja tidak cukup mengatakan bahwa seseorang telah tahan pangan. Karena setiap orang harus mengonsumsi makanan yang beranekaragam mulai dari pangan makanan pokok, ikan, sayuran, buah-buahan.

Masalah kualitas pangan menyebabkan makna ketahanan pangan menjadi lebih luas yaitu aspek diversifikasi pangan. Hal ini juta berdampak pada perubahan paradigma kebijakan terkait pangan. Mungkin kita masih ingat bahwa pemerintah saat ini tengah gencar mengampanyekan gerakan “Kenyang Tidak Harus Selalu Nasi”, “GEMARIKAN (gerakan masyarakat makan ikan)”, “Ayo Makan Sehat dan Bergizi”. Isu diversifikasi pangan menjadi sorotan di tengah merebaknya kasus stunting, mengingat salah satu penyebab dari stunting adalah kurangnya asupan gizi seimbang yang dikonsumsi.

Maka ketahanan pangan yang terus berubah karena mengalami perluasan menegaskan bahwa urusan pangan bersifat dinamis. Tiga makna utama pangan: supply, accessibility, dan diversification telah membawa implikasi yang berbeda terhadap permasalahan pangan yang dihadapi termasuk tata kelola kebijakan pangan apa yang perlu dicanangkan. Letak persoalannya adalah makna ketahanan pangan yang mana akan dijadikan rujukan dalam tata kelola pangan.

Desa Transisi dan Tantangan Ketahanan Pangan

Pengelolaan ketahanan pangan pada setiap pemerintah desa tidaklah sama. Umumnya, desa akan mengandalkan pemanfaatan lahan sawah atau kebun sebagai modal dasar adanya ketersediaan pangan (supply). Namun, menjadi persoalan bagi desa yang tidak ditopang oleh potensi pertanian sebagaimana dialami oleh desa transisi. Desa transisi dimaknai sebagai kondisi desa yang di dalamnya terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun-temurun tinggal di desa tersebut dan masyarakat pendatang yang baru menempati desa tersebut. Desa transisi juga ditandai dengan mata pencaharian warga desa yang tidak lagi mengandalkan sektor pertanian secara tradisional.

Kabupaten Serang misalnya memiliki desa-desa yang berada di sekitar wilayah industri sehingga menyebabkan terjadinya perbuahan sosial pada desa tersebut. Salah satunya, Desa Pringwulung, Kecamatan Badung. Desa ini berdekatan dengan wilayah industri Cikande Modern sehingga menyebabkan banyak orang baru yang tinggal di Desa untuk keperluan bekerja. Banyaknya pekerja yang bekerja di wilayah industri telah menyebabkan tingginya permintaan terhadap ketersediaan perumahan, terutama bagi pendatang. Implikasinya tidak sedikit lahan pertanian dan perkebunan di Desa Pringwulung dikonversi menjadi komplek perumahan.

Hal ini telah memunculkan permasalahan baru dalam ketahanan pangan pada aspek ketersediaan lahan. Hasil pertanian yang dimanfaatkan sebagai pangan menjadi sulit dicapai di desa transisi karena minimnya ketersediaan lahan. Selain itu, jumlah petani di desa ini terus menyusut seiring hadirnya pabrik-pabrik di kawasan industri. Data BPS tahun 2020 menyebut bahwa sekitar 27% warga di Desa Pringwulung bekerja di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan, sementara 47% lainnya bekerja pada sektor industri dan kerajinan. Sisanya 16%. Data ini menjadi penguat soal desa transisi yang tidak lagi bertumpu pada pertanian. Kurangnya lahan pertanian dapat menyebabkan permasalahan ketahanan pangan. Implikasinya, pemerintah desa harus mencari alternatif strategi lain untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan sesuai dengan konteks karakter desa transisi.

Budidaya Ikan dalam Ember untuk Ketahanan Pangan

Merespon adanya keterbatasan lahan untuk menopang ketahanan pangan pada desa transisi, mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang sedang melakukan Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) kelompok 13 Desa Pringwulung, Kecamatan Bandung berinisiatif untuk membuat program Budidaya ikan dalam Ember. Program ini hadir berangkat dari kondisi dan permasalahan di Desa Pringwulung karena minimnya lahan pertanian dan jumlah petani yang kian menyusut. Budidaya ikan dalam ember dipilih sebagai alternatif mendorong ketahanan pangan keluarga – terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan kosong.

Ember dipilih sebagai media untuk budidaya ikan. Selain itu, pada permukaan atas ember, ditanami sayuran seperti kangkung. Program pemberdayaan ini setidaknya memberikan dua keuntungan yaitu ketersediaan ikan dan sayuran sebagai konsumsi pangan. Ikan dan sayuran menjadi penting dalam ketahanan pangan terutama pada aspek diversifikasi pangan. Mahasiswa KKM terlebih dahulu memberikan edukasi kepada masyarakat desa mengenai pemahaman tentang ketahanan pangan dan tata cara budidaya ikan dan sayuran dalam ember. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan ember, benih ikan, dan tanaman kangkung kepada warga secara gratis untuk menjadi percontohan sekaligus pembelajaran.

Program budidaya ikan dalam ember ini perlu mendapat dukungan dari pemerintah desa agar tidak hanya berhenti sebatas pada kegiatan KKM mahasiswa saja. Apalagi pemerintah desa saat ini memilik anggaran delapan persen dari APBDes untuk ketahanan pangan. Maka penyaluran anggaran untuk budidaya ikan dalam ember dapat menjadi alternatif. Mengingat ketahanan pangan tidak hanya sebatas dipahami secara sempit pada ketersediaan pangan, melainkan juga diversifikasi pangan.

(***)

 

 

 

 

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini