
SERANG – Kasus Kepala SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, yang memukul siswanya karena merokok di lingkungan sekolah, menuai perdebatan di masyarakat. Sebagian menilai tindakan itu sebagai bentuk kedisiplinan, sementara lainnya menilai sebagai bentuk kekerasan yang tak bisa dibenarkan di dunia pendidikan.
Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Arga Satrio Prabowo, menilai kasus Cimarga menjadi pengingat pentingnya komitmen untuk menjauhkan kekerasan dari lingkungan pendidikan.
Android BantenNews.co.id
Download di Playstore. Baca berita tanpa iklan, lebih cepat dan nyaman lewat aplikasi Android.
“Kita harus clear melihat kasus yang terjadi di sana. Kita lihat murid merokok di sekolah tidak bisa dibenarkan, dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepala sekolah di area pendidikan juga tidak bisa ditoleransi dan dibenarkan,” ujar Arga saat ditemui di Kampus Ciceri Untirta, Kamis (16/10/2025).
Arga menyebut, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang tegas mengenai larangan kekerasan di lingkungan sekolah, antara lain Undang-Undang Perlindungan Anak dan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Ia tidak menampik bahwa di lapangan, kondisi emosi guru atau siswa kerap sulit dikendalikan. Manajemen emosi menjadi hal yang krusial agar konflik antara guru dan siswa tidak terjadi di sekolah.
“Pembinaan ini menjadi hal yang sangat penting bagi guru dan siswa, seperti pembinaan bagaimana guru meregulasi emosi dengan baik dan siswa dibekali kemampuan seperti itu agar kejadian seperti ini bisa diminimalisir,” ujarnya.
Menurut Arga, guru adalah profesi yang memiliki tingkat stres tinggi. Karena itu, mereka perlu dibekali kemampuan regulasi emosi dan stres agar tidak terpancing melakukan kekerasan dalam situasi yang menegangkan.
“Ada beberapa riset bahwa guru adalah salah satu pekerjaan yang rentan stres, sehingga perlu bagi guru punya keterampilan meregulasi stres dan emosi untuk meminimalisir kejadian seperti ini,” ucapnya.
Arga menjelaskan, dalam konteks pembinaan siswa, Permendikbud tersebut secara tegas melarang bentuk hukuman fisik dalam proses pendidikan. Ia menegaskan, sanksi terhadap pelanggaran seharusnya bersifat mendidik, bukan menyakiti.
“Tindakan kekerasan berdampak buruk untuk anak-anak, karena dampaknya buruk akhirnya tidak diperbolehkan dalam pendidikan,” ucapnya.
Ia mengaku sangat tidak setuju dengan bentuk hukuman fisik bagi siswa. Menurutnya, sekolah seharusnya mengedepankan pendekatan konseling dan psikoedukasi bagi siswa yang melanggar aturan, termasuk bagi siswa yang merokok di lingkungan sekolah.
Terkait perilaku siswa yang merokok di sekolah, Arga menilai tindakan itu juga tidak bisa dibenarkan. Sekolah, menurut dia, perlu memperkuat pendidikan pencegahan dan sosialisasi bahaya merokok agar pelanggaran tidak berulang.
Ia juga menilai pentingnya kesepakatan bersama di lingkungan sekolah mengenai aturan dan konsekuensi pelanggaran agar semua pihak memiliki komitmen yang sama dalam penegakan disiplin tanpa kekerasan.
“Warga-warga sekolah (siswa dan guru) perlu menyepakati aturan-aturan apa saja yang tidak boleh, sehingga ketika terjadi pelanggaran ada komitmen bersama untuk menegakkan itu,” tuturnya.
Menanggapi pendapat sebagian masyarakat yang menilai hukuman fisik sebagai hal wajar dengan alasan ‘zaman dulu juga seperti itu’, Arga menegaskan pandangan tersebut sudah tidak relevan.
“Kita jelas menolak kekerasan di dunia pendidikan. Dampaknya terhadap anak bisa panjang, bahkan hingga dewasa,” ucapnya.
Menurut dia, banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang mengalami kekerasan pada masa kecil berpotensi mengulang pola serupa di masa dewasa, termasuk dalam kekerasan rumah tangga.
“Dampaknya tidak hanya satu-dua tahun, tapi bisa memengaruhi seluruh fase kehidupan korban. Karena itu, kekerasan dalam pendidikan harus benar-benar dihilangkan,” ujarnya.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Usman Temposo