Beranda Opini Saat Perempuan Menjadi Tertuduh

Saat Perempuan Menjadi Tertuduh

Ummu Azka

Oleh: Ummu Azka Revowriter Serang Banten

Apa kabar perempuan dunia? Era globalisasi nampaknya belum juga berpihak kepada mereka. Alih alih berdaya, perempuan di era ini seolah dijadikan kambing hitam kemiskinan. Dilansir dari detiknews.com, menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penyebab kemiskinan di negeri ini diantaranya adalah karena masih banyak perempuan yang belum berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Untuk itu menurutnya harus ada upaya penyetaraan gender agar partisipasi perempuan dalam perekonomian semakin optimal. Pembukaan lapangan kerja dan kesempatan berperan seluas luasnya bagi perempuan menjadi titik penting agar perempuan bisa ambil bagian di dalamnya.

Namun faktanya, pernyataan Menteri keuangan tersebut tak sejalan dengan kondisi ril di lapangan. Contohnya yang menimpa desa TKW. Sebuah desa yang terletak di wilayah lombok (nusa tenggara barat). Desa ini dikenal sebagai desa TKW karena hampir seluruh perempuan di wilayahnya bekerja sebagai TKW ke luar negeri. Partisipasi perempuan di desa ini cukup tinggi. Ironisnya, ada konsekuensi pahit yang harus ditelan. Para perempuan tersebut terpaksa meninggalkan anak-anaknya demi pekerjaan. Bahkan tak jarang rumah tangga yang mereka bangun berakhir dengan perceraian karena alasan jarak dan terhambatnya komunikasi.

Disarikan dari bbcnews.com, sebanyak kurang lebih 350 anak di desa tkw tersebut, kini berada dalam pengasuhan dua generasi di atasnya yakni nenek dan juga kerabatnya. Hal ini mengakibatkan masalah baru berupa rendahnya daya intelektual serta minimnya semangat belajar. Selain itu,” generasi tanpa ibu” tersebut menjadi masalah sosial baru ketika melewati fase anak anak yang penuh bimbingan serta fase remaja yang butuh pantauan. Karenanya tak heran jika di desa ini ditemukan banyak remaja putus sekolah dan juga pergaulan bebas.

Underdiagnosis terhadap permasalahan kemiskinan seperti diatas tak ubahnya seperti maling teriak maling. Kemiskinan yang membelit umat sejatinya adalah karena ulah sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini. Kegagalan kapitalisme sekuler dalam meriayah umat serta menjadikannya hanya sebagai objek mengeruk keuntungan telah membuat mereka kalang kabut dan menyalahkan perempuan yang “diam” di rumah sebagai sumber masalah.

Pandangan perempuan yang “diam” di rumah dianggap sebagai masalah, menggiring pada satu pertanyaan besar : sebenarnya ide apa yang sedang ditawarkan? Ya, ide kesetaraan gender yang menganggap bahwa partisipasi perempuan dalam kehidupan publik, serta turut sertanya mereka dalam bekerja akan menambah value dalam perekonomian. Harapannya adalah dengan ikut bekerja, maka pendapatan meningkat dan kemiskinan bisa berkurang. Pemikiran ini jelas bathil karena bersumber dari satu pemikiran pangkal yang juga fasad, yakni Sekulerisme Kapitalis.

Tawaran “kesetaraan” pada perempuan nyatanya menafikan kewajiban mereka sebagai ibu dan pendidik generasi. Janji manis ide gender yang akan melibas batas diskriminasi pada perempuan di sisi lain malah menjadikan kaum perempuan semakin tak memiliki pelindung. Betapa kerasnya dunia kerja yang harus dihadapi? betapa mengerikannya kampanye kesetaraan saat perempuan didorong untuk hidup dibawah bendera liberalisme? perempuan mulai dikenalkan hak untuk memilih tidak menikah bahkan menolak menjadi ibu.

Perempuan juga dikenalkan hak atas tubuhnya yang menjadi dalih bagi mereka agar “bebas” memperlakukan tubuhnya tanpa aturan. Diantara imbasnya adalah banyaknya pelecehan terhadap syariat jilbab.
Jelas sudah, tawaran kesetaraan gender sebagai solusi bagi kemiskinan hanyalah bentuk penyesatan. Membuai umat dengan tawaran menggiurkan, namun nihil kenyataan. Janji manis kaum feminis memberdayakan perempuan jelas hanya akan menambah banyaknya permasalahan umat yang sudah kalut akibat diterapkannya sekulerisme kapitalis. Karenanya, tak ada pilihan lain keluar dari jeratan kemiskinan sistemik ini selain dengan menerapkan syariat Islam dalam semua lini kehidupan. sistem ekonomi dalam Islam yang dijalankan secara integral dengan keseluruhan aturan Islam meniscayakan terpenuhinya segala kebutuhan asasi bagi masyarakat, bahkan hingga taraf makmur.

Jejak gemilang umat tanpa kemiskinan pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), namun umat Islam akan terus mengenangnya sebagai Khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.
Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz halaman 59 meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata,”Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Pemberian intensif serta gaji yang sangat layak untuk para guru serta pegawai pada masa itu, telah menjadikan masyarakat berdaya secara ekonomi. Hak rakyat miskin ditunaikan dengan baik melalui optimalnya pengelolaan zakat. Sementara persediaan baitul maal selalu penuh terisi. Jejak emas sejarah Islam ini menjadi bukti nyata bahwa Islam adalah solusi bagi permasalahan kemiskinan.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini