Beranda Opini Revolusi Sosial Banten di Awal Kemerdekaan

Revolusi Sosial Banten di Awal Kemerdekaan

Pegiat Literasi, Moch. Nasir SH. (doc.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bisa dikatakan sebagai titik kulminasi dari rangkaian perjuangan Revolusi Nasional yang berhasil mengubah suatu tatanan kenegaraan dari sistem kolonial menjadi sistem ketatanegaraan nasional. Pemerintah Indonesia sebagai representasi bangsa yang secara resmi berhasil mengambil alih kekuasaan dari penjajah, berupaya agar pelaksanaan ketatanegaraan nasional berjalan dengan baik di seluruh daerah. Namun dalam kenyataannya, pada awal kemerdekaan hampir di seluruh daerah terjadi gejolak.

Penataan organisasi pemerintahan di daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat tidak sepenuhnya dipatuhi oleh daerah, banyak pejabat daerah yang diangkat Pemerintah Pusat, didaulat oleh rakyat, saran pemerintah agar di daerah dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah yang untuk sementara berfungsi sebagai Lembaga Legislatif pun banyak disalahgunakan sehingga kemudian muncul gerakan sosial (masyarakat) yang mengarah pada terjadinya Revolusi Sosial di daerah yang menimbulkan kekacauan seolah-olah daerah mempunyai sistem pemerintahan sendiri dan lepas dari kendali Pemerintah Pusat.

Munculnya Revolusi Sosial di daerah, dilatarbelakangi oleh pemikiran para pejuang daerah bahwa revolusi nasional yang telah mengambil alih kekuasaan dari penjajah, tidak ada artinya jika hanya merebut dan mengenyahkan kekuasaan asing belaka tanpa menghilangkan sistem atau tatanan lama. Maka dari itu harus ada pembersihan para pejabat, pegawai pemerintahan yang sejak berabad-abad menjadi tulang punggung pemerintah penjajah dan banyak mengisap sendi-sendi kehidupan ekonomi dan sosial rakyat di daerah.

Demikian pula halnya di Banten, pada awal kemerdekaan, terjadi gerakan sosial yang mengarah pada sistuasi kekacauan akibat munculnya berbagai huru hara. Gerakan di Banten ini banyak dimotori oleh kaum keagamaan (Islam) yang memang sejak abad sebelumnya tumbuh subur, sifat revolusionernya menentang penjajah.

Berbarengan dengan itu, ada pula rasa pertentangan atau kecemburuan yang bersifat kedaerahan dalam arti bahwa sejak lama para pejabat atau pegawai pemerintahan bukan diambil dari masyarakat Banten, tetapi lebih banyak dari Priangan sehingga muncul kecemburuan akibat adanya ketimpangan baik secara ekonomi maupun sosial antara masyarakat Banten dengan orang-orang Priangan yang banyak menduduki jabatan.

AH. Nasution menulis bahwa saat itu kondisi ekonomi sosial masyarakat Banten tidaklah memuaskan, jauh ketinggalan dari daerah yang ada di Jawa Barat. Kemakmuran suatu desa di Priangan adalah suatu kemewahan kalau dibandingkan dengan kemiskinan di suatu desa di Banten. Apa yang dikatakan oleh AH. Nasution di atas, bisa digambarkan bahwa menjelang akhir tahun 1944 hingga pertengahan tahun 1945, rakyat kekurangan sandang pangan sehingga menimbulkan keresahan masyarakat, akibatnya muncul ketegangan sosial antara pejabat dengan rakyat.

Peristiwa perampokan terhadap rumah Camat Cinangka pada 16 Agustus 1945 adalah buktinya. Saat itu masyarakat Cinangka mendatangi Camat untuk meminta bantuan sandang/pangan, namun ia tidak mau memberikan sehingga rakyat marah dan pada malam harinya rumah sang Camat dirampok, lalu kemudian lari dan minta pertolongan. Tetapi rakyat justru semakin marah hingga akhirnya dalam sebuah penyerangan terhadap Camat dan Wedana, Wedana Anyer justru yang terbunuh, sedangkan yang lainnya berhasil lolos.

Revolusi Sosial di Banten pada awal kemerdekaan ini bisa dirunut dari terjadinya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan jarak yang hanya 100 km dari Jakarta, Proklamasi ini sampai ke Banten sekitar tanggal 22 Agustus 1945 melalui kabar yang disampaikan kepada tokoh Banten seperti KH. Achmad Chatib, Ki Syam’un dan Alimangku. Mendengar bahwa Indonesia telah merdeka dari kekuasaan penjajah, kaum pergerakan Banten segera melakukan aksi. Para pemuda segera menurunkan bendera Jepang di Hotel Vos (sekarang Kodim Serang) dilanjutkan dengan penurunan bendera Jepang di kantor-kantor pemerintahan.

Melihat situasi yang demikian, para pejabat sipil Jepang, kecuali militernya banyak yang melarikan diri dari Banten termasuk Syucokan (Residen) Banten yaitu Yuki Yoshii dan menyerahkan jabatannya kepada Fuku Syucokan (Wakil Residen) Raden Tirtasuyatna yang berasal dari Priangan. Sedangkan Tirtasuyatna diangkat menjadi Residen oleh Pemerintah Pusat yang baru terlaksana pada tanggal 29 September 1945.

Kondisi sosial Banten saat itu berada dalam situasi yang memanas dalam kaitan dengan urusan pemerintahan sehingga memaksa pejabat sipil dan pegawai pamongpraja yang berasal dari Priangan banyak yang melarikan diri meninggalkan Banten lantaran merasa khawatir menjadi sasaran kemarahan orang Banten yang sudah lama memendam rasa tidak senang terhadap para pejabat asal Priangan. Raden Tirtasuyatna yang baru diangkat menjadi Residen Banten pun tak kuasa untuk bertahan di Banten hingga akhirnya ikut meninggalkan Banten.

Setelah Raden Tirtasuyatna melarikan diri, terjadi kekosongan kepemimpinan Keresidenan di Banten. Semangat revolusi tetap bergelora, Ali Mangku dari Angkatan Pemuda Indonesia tampil sebagai pemrakarsa untuk melucuti orang-orang Jepang. Terjadinya kekosongan kepemimpinan di Banten, membuat para tokoh merasa khawatir dan akhirnya berkumpul untuk membahas masalah ini. Saat itu disepakati mengusulkan KH. Achmad Chatib menjadi Residen Banten, sementara Ki Syam’un menangani urusan kemiliteran. Usulan tersebut disetujui Pemerintah Pusat pada 6 Oktober 1945. Sejak itu KH. Chatib resmi menjdi Residen Banten.

Langkah awal KH. Achmad Chatib dalam memimpin Banten adalah mengambil kebijakan bahwa Bupati tetap dipegang oleh Bupati lama yakni Bupati Serang dijabat R.Hilman Djajadiningrat, Bupati Lebak R.Hardiwinangun dan Bupati Pandeglang Djumhana. Namun pengangkatan para Bupati lama ini justru menimbulkan ketidak puasan bagi kaum revolusioner karena dianggap masih berbau kolonial. Sejak saat itu terjadi ketegangan antara tokoh garis keras dengan pemimpin Banten. Bersamaan dengan itu, KNI di daerah sebagaimana diinstruksikan oleh Pemerintah Pusat, di Banten justru berjalan dengan alur sendiri seolah lepas dari kebijakan pusat.

Pemimpin KNI pada saat itu adalah Ce Mamat untuk Kabupaten Serang, Muhammad Ali untuk Kabupaten Pandeglang dan untuk Lebak dipegang oleh Jayarukmantara. KNI daerah yang saat itu difungsikan sebagai Lembaga Legislatif, berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Pemerintah Pusat karena oleh para pentolannya diubah menjadi Dewan Rakyat.

Kondisi Banten saat itu bisa dikatakan memanas karena terjadi konflik sosial. Dewan Rakyat mengancam akan membunuh orang-orang yang tidak disenangi jika tidak segera diadakan perombakan kepemimpinan. Setelah terjadi kompromi, maka saat itu disepakati perombakan struktur kepemimpinan dimana saat itu Ulama dijadikan sebagai Bupati yakni, KH. Syam’un sebagai Bupati Serang sekaligus Pimpinan Tertinggi Kemiliteran, KH.Tb. Abdulhalim sebagai Bupati Pandeglang dan KH. Hasan sebagai Bupati Lebak. Sementara birokrasi di bawah, dari Camat hingga Lurah, hampir semuanya dipegang oleh kaum Ulama. Bisa dikatakan bahwa antara bulan Oktober hingga akhir tahun 1945, Banten betul-betul mengalami kekacauan politik karena satu sisi harus mempertahankan negara Republik Indonesia, tapi sisi yang lain juga muncul gerakan-gerakan revolusioner yang mengarah pada kekacauan kekuasaan daerah sehingga seolah-olah tidak jelas mana lawan mana kawan.

Dalam rangka mempertahankan negara, para pejuang Banten dan BKR pimpinan Ki Syam’un menyerbu markas tentara Jepang di bawah komando Ali Mangku lantaran pihak militer Jepang tidak mau menyerahkan senjata dan tetap bertahan di Serang. Penyerangan itu mengakibatkan kekalahan pihak Jepang hingga akhirnya melarikan diri ke Jakarta. Situasi semakin genting saat KH. Ahmad Chatib diminta oleh rombongan Ce Mamat untuk menyerahkan kekuasaan sebagai Residen kepada Ce Mamat. Sejak itu KH. Achmad Chatib praktis menjadi Residen bayangan karena kekuasaannya di bawah kendali Ce Mamat. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Ce Mamat melalui Dewan Rakyat memegang kendali pemerintahan, sedangkan Dewan Rakyat bertindak sebagai eksekutif yang bisa mengatur struktur pemerintahan seperti membentuk kepolisian sendiri dengan nama Polisi Khusus yang di dalamnya dikuasai oleh para Jawara, Dewan Rakyat juga membentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang bertugas mengatur distribusi pangan.

Dengan adanya tindakan Ce Mamat yang demikian, telah membuktikan adanya konflik antara pihak tentara di bawah kendali Ki Syam’un dan para radikalis pimpimpinan Ce Mamat termasuk para Jawara di dalamnya. Contoh yang paling nyata adalah terjadinya konfrontasi di wilayah Pandeglang dimana saat itu tentara yang sedang berpatroli dan kebetulan kendaraannya mogok, diserang dan ditembaki hingga ada yang ditawan. Pihak tentara kemudian membalas dengan mengadakan penyerbuan ke markas para jawara. Situasi ini memaksa KH. Achmad Chatib turun tangan untuk melerai dan berjanji akan menyelesaikan pertikaian antara dua kubu.

Dewan Rakyat dengan pasukan bernama Laskar Gutgut yang di dalamnya berkumpul para Jawara terus mengadakan agitasi, Hilman Jayadiningrat ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Demikian pula Wedana Asnawi dari Kantor Kabupaten Pandeglang dan Jaksa Entol Tarnaya dan Kepala Kepolisian ditangkap oleh para jawara dan dimasukkan ke dalam penjara di Ciomas. Wakil Residen Zulkarnain Surya Kartalegawa melarikan diri ke Priangan, sementara beberapa pejabat di daerah yang tidak disenangi banyak yang dibunuh.

Pada peristiwa yang lain, lagi-lagi pasukan tentara yang sedang berpatroli mendapat tembakan hingga menewaskan dua orang tentara. Tentara tidak tinggal diam hingga akhirnya mengadakan penyerbuan. Situasi yang semakin memburuk di Banten, membuat Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan Jaksa Agung turun ke Banten. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno menyalahkan pembubaran KNI dan memerintahkan pembentukan kembali KNI. Sedangkan Wakil Presiden mengatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak berguna dan berseru agar dibubarkan.

Kedatangan Presiden Soekarno ini dijaga ketat oleh pasukan TKR karena ada laporan bahwa Ce Mamat dan kawan-kawan akan menculik Soekarno. Meskipun ahirnya penculikan itu gagal, namun penculikan lain terjadi saat Presiden Soekarno mengunjungi Rangkasbitung yakni penculikan terhadap mantan Bupati Pandeglang R. Hardiwinangun yang dibawa oleh para pemuda dengan alasan Presiden akan bicara dengannya, namun oleh para penculik, Hardiwinangun dibawa ke tangsi polisi jawara dan kemudian dibawa ke daerah Bayah. Sesampainya di jembatan Cisiih kemudian ditembak dan mayatnya dilempar ke kali.

Demikian juga di Serang, pada akhir bulan Desember 1945, pasukan Dewan Rakyat yang didukung para Jawara menangkap tokoh TKR Entol Tarnaya dan Oskar Kusumaningrat, keduanya dimasukkan penjara di Ciomas. Pada titik ini, tentara yang dipimpin oleh Ki Syam’un akhirnya mengambil langkah yakni mengambil tindakan keamanan. Di Rangkasbitung, TKR kemudian menyerbu markas polisi jawara dan menduduki kantor Dewan Rakyat serta menangkap para pemimpinnya kecuali Takhril yang berhasil meloloskan diri. Dewan Rakyat Rangkasbitung kemudian dibubarkan.

Pasukan TKR terus bergerak, di Serang TKR terus mengadakan penyerbuan dan berhasil membubarkan pasukan yang menentang tentara. Saat itulah Ce Mamat, Ahmad Basaif dan Ali Rakhman sebagai pentolan Dewan Rakyat ditangkap.

Dengan adanya penyerbuan tentara terhadap markas Dewan Rakyat itu, berhasil membebaskan Hilman Jayadiningrat, Entol Tarnaya dan Oskar Kusumaningrat. Atas permintaan Panglima Komandemen Jawa Barat, Jenderal Didi Kartasasmita, Hilman Jayadiningrat beserta  tokoh Dewan Rakyat, Ce Mamat dan Ali Rakhman dibawa ke Purwakarta.

Sejak ditangkapnya Ce Mamat, maka tamat pula hiruk pikuk pemerintahan yang diakibatkan adanya Dewan Rakyat dan KH. Achmad Chatib kembali dengan penuh kendali memegang kekuasaan pemerintahan sebagai Residen Banten. (*)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News