Beranda Opini Resistensi terhadap Kebijakan Pajak di Masa Lalu dan Problem Masa Kini

Resistensi terhadap Kebijakan Pajak di Masa Lalu dan Problem Masa Kini

Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan, Moch. Nasir Rosyid SH. (dok.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan

Apa yang terjadi di Pati beberapa waktu lalu, ketika masyarakat turun ke jalan menentang kebijakan Bupati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, adalah sebuah catatan kelam dalam praktik perpajakan di negeri yang kerap disebut subur makmur ini. Lonjakan tarif yang begitu drastis, tanpa disertai komunikasi publik yang baik, membuat rakyat merasa diperlakukan sebagai objek pemerasan alih-alih sebagai subjek pembangunan.

Sesungguhnya, keluhan dan penolakan terhadap pajak bukanlah fenomena baru. Dalam catatan sejarah, protes rakyat terhadap kebijakan fiskal yang dianggap tidak adil sudah berulang kali terjadi. Melalui historical approach, kita bisa melihat bagaimana pada masa kolonial Belanda, rakyat dipaksa tunduk pada berbagai pungutan yang menjerat hidup mereka. Pajak tanah, pajak hasil bumi, hingga kerja rodi menjadi simbol ketidakadilan yang memicu perlawanan rakyat di berbagai daerah. Artinya, ketidakadilan dalam pajak selalu meninggalkan luka kolektif yang panjang.

Di antara catatan tentang resistensi masyarakat terhadap kebijakan perpajakan di masa lalu dapat dilihat antara lain dari peristiwa Qiu Zuguan (abad 18), Pemberontakan Petani Banten (Abad 19) Perang Kamal (Abad 20).

Peristiwa Qiu Zuguan

Qiu Zuguan adalah seorang pejabat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang menjabat sebagai Kepala Lembaga Boedelkamer, sebuah institusi yang mengurus harta peninggalan orang-orang Tionghoa di Batavia (kini Jakarta).

Sejak diangkat pada tahun 1715, Qiu Zuguan diberi wewenang untuk menarik pajak dari aset peninggalan tersebut. Namun kebijakannya tidak berhenti di sana. Ia juga memberlakukan pajak atas warga Tionghoa yang hendak menggelar upacara pernikahan, bahkan ketika seseorang meninggal dunia, keluarga masih diwajibkan membayar pungutan dengan dalih “sertifikat kematian”.

Praktiknya, hampir semua aktivitas rakyat dikenakan pajak atau pungutan. Qiu Zuguan bahkan menerapkan pajak kepala. Siapa pun yang menolak membayar, diancam dengan denda sebesar 25 gulden atau hukuman penjara. Kebijakan inilah yang membuat rakyat, khususnya warga Tionghoa, hidup dalam kesengsaraan dan menumbuhkan kebencian mendalam terhadap Qiu Zuguan.

Baca Juga :  Membumikan Sastra Bagi Generasi Milenial

Meskipun perasaan dendam itu tidak termanifestasikan dalam bentuk perlawanan fisik, resistensi rakyat tampak jelas saat Qiu Zuguan meninggal dunia. Konon, tidak ada satu pun masyarakat yang bersedia mengangkat peti jenazahnya. Peti mati itu dibiarkan terbengkalai di tengah jalan, seolah menjadi simbol penolakan terakhir terhadap kebijakan zalim yang diwariskannya.

Pemberontakan Petani Banten 1888

Pada abad ke-19, rakyat Banten dipaksa menanggung beban berat akibat berbagai pajak kolonial. Beberapa bentuk pajak itu antara lain pajak perdagangan, pajak pasar, pajak kepala, pajak tanah dan hasil bumi.

Pajak yang memberatkan ini menjadi pemicu lahirnya pemberontakan rakyat di Cilegon. Masyarakat yang sudah lama tertekan melawan Kolonial dimotori dan dipimpin oleh tokoh-tokoh agama (kiai) seperti Ki Wasid, H.Tubagis Ismail, H.Ishak dan lainnya. Pemberontakan ini oleh Sartono Kartodirjo disebut Pemberontakan Petani Banten 1888. Resistensi tersebut tidak hanya berakar pada penderitaan ekonomi, tetapi juga pada keyakinan bahwa kebijakan pajak kolonial telah melanggar rasa keadilan.

Meskipun akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh pemerintah kolonial, perlawanan petani Banten menjadi catatan penting bahwa rakyat kecil selalu mencari jalan untuk menolak sistem pajak yang menindas.

Perang Kamal 1913

Memasuki abad ke-20, perlawanan rakyat terhadap pajak kolonial juga tercatat dalam Perang Kamal di Ranah Minang, yang kini termasuk wilayah Sumatera Barat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1908. Rakyat biasa menyebutnya sebagai Perang Blasting, karena kata blasting berarti pajak.

Di daerah Kamal, masyarakat yang mayoritas petani menolak membayar pajak atas tanah dan ternak yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Penolakan tersebut dipimpin oleh Syekh Abdul Manan, seorang tokoh agama yang disegani masyarakat setempat.

Awalnya, gerakan ini berbentuk protes sosial terhadap kebijakan kolonial. Namun, ketika tuntutan mereka tidak dihiraukan, protes itu berkembang menjadi perlawanan bersenjata pada tanggal 15–16 Juni 1908.

Dalam pertempuran sengit yang terjadi, tercatat hampir 100 orang pemberontak gugur tertembak oleh serdadu Belanda. Di pihak kolonial, 12 orang tewas dibunuh rakyat, sementara sekitar 20 orang lainnya luka-luka. Perang Blasting menjadi catatan penting tentang bagaimana kebijakan pajak yang menindas mampu memicu perlawanan rakyat hingga titik darah penghabisan.

Baca Juga :  Kronik Geger Cilegon 1888 (Resensi atas Buku Pemberontakan Petani Banten 1888) Bag.4

Dari Batavia abad ke-18, Banten abad ke-19, hingga Minang abad ke-20, sejarah memberi pelajaran yang sama: pajak bukan sekadar instrumen keuangan, melainkan juga menyangkut rasa keadilan sosial. Jika pajak hanya dirasakan sebagai beban tanpa manfaat nyata bagi rakyat, resistensi akan selalu muncul, entah dalam bentuk perlawanan diam, protes sosial, maupun pemberontakan terbuka.

Pajak yang dianggap tidak adil memicu aksi massa yang berujung bentrokan dengan aparat kolonial. Perlawanan rakyat ini menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang sewenang-wenang selalu berpotensi menjadi bara api perlawanan. Meskipun kalah secara militer, namun perlawanan menjadi simbol resistensi rakyat terhadap kolonialisme ekonomi.

Sejarah ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah saat ini. Bahwa kebijakan fiskal tidak bisa diputuskan sepihak. Ia harus berpijak pada prinsip transparansi, keadilan, dan kepentingan rakyat. Tanpa itu, pajak akan kembali dilihat bukan sebagai gotong-royong menuju kesejahteraan, melainkan instrumen penindasan yang diwarisi dari masa kolonial.

Problem Masa Kini

Kini, lebih dari seabad kemudian, persoalan serupa kembali muncul dalam wajah yang berbeda. Kenaikan PBB hingga 250 persen di Pati, tentu saja, mengingatkan kita pada warisan kelam itu. Pajak sejatinya adalah instrumen pembangunan. Namun, ketika rakyat merasakan bahwa pajak hanya menjadi beban, bukan sarana kesejahteraan, ditambah lagi maraknya kasus penyelewengan uang negara yang dilakukan elite politik dan elite ekonomi, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah runtuh. Bukan hanya menurunkan legitimasi kepemimpinan baik nasional maupun lokal, tetapi juga menggerus optimisme masyarakat terhadap janji-janji pemerintahan yang seharusnya hadir untuk melindungi dan menyejahterakan.

Pemerintah semestinya menyadari, pajak tidak sekadar angka dalam dokumen resmi pembangunan baik APBN maupun APBD, tetapi juga menyangkut rasa keadilan sosial. Menaikkan pajak tanpa melihat daya dukung ekonomi rakyat sama saja dengan menutup mata terhadap kondisi riil di lapangan. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja dan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, rakyat membutuhkan uluran tangan, bukan tambahan beban.

Baca Juga :  Minimnya Kesadaran Mengantre Masyarakat Indonesia

PBB yang saat ini menjadi momok bagi masyarakat Pati—dan mungkin juga masyarakat di daerah lain—sesungguhnya hanyalah bagian kecil dari persoalan besar dalam sistem perpajakan nasional. PBB adalah salah satu instrumen fiskal yang kewenangannya diberikan kepada daerah, sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur APBD.

Di luar itu, masih ada problem perpajakan yang lebih besar, misalnya terkait PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Namun demikian, sesuai aturan perundang-undangan, pemerintah daerah memiliki hak atas sebagian penghasilan pajak tersebut melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH), yang dalam struktur APBD dicatat dalam pos Pendapatan Daerah melalui Dana Perimbangan.

Sungguhpun demikian, dalam praktiknya terdapat banyak kendala. Tidak sedikit daerah terutama kabupaten/kota, termasuk Cilegon sama sekali tidak memperoleh DBH dari PPh Pasal 25 dan 29. Ada beberapa kemungkinan penyebab:
1. Bergantung pada kebijakan pusat – Pemerintah pusat memegang kendali penuh atas distribusi dana perimbangan.
2. Kurangnya transparansi – Tidak jelas berapa besar realisasi penerimaan pajak PPh 25 dan 29 yang sebenarnya berasal dari daerah asal wajib pajak.
3. Domisili wajib pajak di luar daerah – Banyak perusahaan atau wajib pajak besar berkedudukan hukum di luar daerah tempat aktivitas ekonominya, sehingga setoran pajak tercatat di daerah lain.

Oleh karena itu, kejadian di Pati hendaknya menjadi pelajaran berharga. Kebijakan fiskal harus dibangun di atas prinsip transparansi, komunikasi, dan keadilan. Pajak sejatinya adalah kontrak sosial antara negara dan rakyat.

Dalam sistem pemerintahan saat ini, pemerintah pusat seharusnya mulai berpikir lebih serius mengenai pemanfaatan hasil pajak sesuai dengan aturan perundang-undangan, sekaligus memperhatikan kepentingan daerah. Distribusi hasil pajak yang bersumber dari daerah asal wajib pajak harus diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat di daerah tersebut. Sebab, kemakmuran rakyat daerah pada akhirnya merupakan bagian integral dari kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan.