Beranda Opini Potret Buram Pasca Pemilu

Potret Buram Pasca Pemilu

Ilustrasi - foto istimewa google.com

Potret Buram Pasca Pemilu

Tanggal 17 April 2019 telah usai digelar. Hiruk-pikuk demokrasi pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden serta calon anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) telah dilalui dengan sukses dan aman dan tertib. Antusisme publik, terutama pada pilpres menandai tingginya kepercayaan sekaligus harapan publik bahwa sistem politik demokrasi akan menghadirkan transformasi sosial ke arah lebih baik sehingga tingkat partisipasi pemilih meningkat secara signifikan. Ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia semakin matang dan kita patut berbangga diri bahwa sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia kita berhasil menggelar pemilu dengan baik.

Namun, di sisi lain kita juga harus mengakui bahwa praktik demokrasi yang diwarnai oleh politik identitas, sebaran hoaks, dan eksploitasi ujaran kebencian selama empat setengah tahun terakhir ini telah menyumbang andil pada munculnya pembelahan sosial yang tajam.

Masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar yang dipisahkan oleh perbedaan afiliasi politik. Dua kelompok itu saling berhadapan, menegakkan fanatisme politiknya di atas klaim-klaim kebenaran yang semu. Sepanjang sejarah Indonesia pasca-Reformasi, barangkali inilah titik paling nadir kita dalam berdemokrasi benar-benar menguras energi bangsa.

Awalnya kita berharap setelah hari pencoblosan pemilu suhu situasi politik dapat mereda dan kembali normal. Namun perseteruan para telit politik yang tak kunjung selesai dan masyarakat yang sudah terpolarisasi politik, sehingga gesekan dan perselisihan karena perbedaan posisi atau pilihan di antara anak bangsa tetap saja kentara. Jika kita tidak waspadai, embrio konflik akibat polarisasi politik itu bisa mengerambah menjadi gesekan sosial yang mengancam eksistensi sebagai sebuah bangsa. Dalam konteks ini, sungguh tidak elok bila ada pihak yang justru membuat pernyataan yang membahayakan dan merusak persatuan bahkan penggiringan opini seolah-olah pemilu ini penuh dengan kecurangan dan kegagalan.

Terlebih hasil hitung cepat oleh seluruh lembaga survei tepercaya dan dikuatkan melalui hasil sementara real count lewat Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU menandakan pasangan 01 (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) lebih unggul dari pasangan 02 (Prabowo-Sandi). Hal ini disikapi secara berbeda oleh kedua kubu, aroma rivalitas terus menyesaki udara negeri ini, saling klaim, saling tuduh, saling hujat di antara kedua kubu menandakan belum dewasanya cara berpolitik kita, terlebih lagi, issu people power, stigma KPU curang dan hasil ijtima ulama III diarahkan untuk mendelegitimasi lembaga penyelenggara pemilu, perilaku seperti itu sesungguhnya tak hanya akan membuat buram wajah demokrasi, juga bertentangan dengan peradaban bangsa Indonesia.

Oleh karena itu kedua belah pihak baik harus menahan diri dan tetap berkomitmen menunggu hasil resmi hitungan manual yang akan ditetapkan KPU yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk menentukan pemenang kontestasi. Pemilu 2019 dan bila ada kejanggalan/ketidakpuasan tentunya sudah ada salurannya yaitu Mahkamah Konstitusi.

Tentu siapapun pemenangnya tetap harus bersikap bijak karena salah satu ciri kematangan demokrasi ialah sportivitas alias kesiapan untuk menang ataupun kalah. Provokasi dan ketidakpercayaan dini terhadap kenetralan lembaga penyelenggara pemilu patut diduga bentuk lain dari ketidaksiapan untuk menerima kekalahan. Pemilu Bukan semata ajang mencari pemenang dan menyingkirkan yang kalah. Karena itu, sifat kesatria menjadi penting, yang menang tak harus jemawa, yang kalah tak perlu marah. Karena itu, kita berpesan kepada semua pihak, baik elite, kontestan, maupun simpatisan pemilu, hentikanlah segala macam provokasi, ancam-mengancam, dan tindakan kekerasan lain.

Sesungguhnya itu tak akan membuat demokrasi di republik ini menjadi lebih baik, malah mundur beberapa langkah. Kata pepatah Pemimpin yang baik hanya akan dihasilkan melalui proses yang baik dan akuntabel. Tak mungkin kita punya pemimpin hebat, pemimpin jujur, dan pemimpin berintegritas kalau cara yang dipilih untuk menghasilkannya ialah cara-cara yang kotor.

Kita berharap para tokoh politik, tokoh agama dan tokoh pemuda haruslah bias menahan diri dan kuatkan rasa nasionalisme serta harus dapat menyikapi perkembangan siatuasi politik saat ini dengan rasional. Ambillah selalu sisi positifnya dan tinggalkan sisi negatifnya. Pemilu kali ini adalah momentum penting bagi bangsa, tidak hanya dalam konteks suksesi kekuasaan tertinggi atau juga sirkulasi elite legislatif, namun juga bagi konsolidasi demokrasi secara lebih luas.

Selain itu pula kita berharap langkah bangsa ini mengayun ke arah jalan rekonsiliasi. Langkah ini harus dimulai oleh para elite politik yang terlibat langsung dalam kontestasi elektoral Pemilu 2019 untuk menciptakan suasana aman dan kondusif dengan mengedepankan cinta tanah air dan rela berkorban bagi bangsa, serta menjunjung tinggi nilai nasionalisme dan persaudaraan antar agama, ras atau suku bagi semua bangsa agar tidak terjadi perpecahan ataupun perselisihan antar anak bangsa itu sendiri. (*)

Abdul Jabar, S.Pd
Pegawai Sekretariat DPRD Kota Cilegon
Pengurus Yayasan Al-Insan Kota Cilegon

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini