Beranda Hukum Penghentian Kasus Bos Tambang Ilegal oleh Polda Banten Dinilai Janggal

Penghentian Kasus Bos Tambang Ilegal oleh Polda Banten Dinilai Janggal

Petugas Polda Banten menyisir lokasi tambang emas - foto istimewa

SERANG – Perjalanan kasus penanganan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dinilai janggal. Hal itu karena penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten menghentikan perkara (SP3) satu orang tersangka berinisial MT.

Sementara itu, dalam kasus yang sama tiga tersangka lain kini terus menjalani proses hukum yakni NT, JL, dan SH. Alasan penyidik, bahwa MT sudah dihukum atas perkara yang sama atau dalam terminologi hukum nebis in idem.

MT sendiri pernah berurusan dengan penyidik dari Mabes Polri atas perkara tambang emas ilegal. Pengadilan Negeri Rangkasbitung telah menjatuhkan vonis 10 bulan penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan badan pada 26 Januari 2019 lalu.

Putusan perkara MT tersebut tertuang melalui putusan nomor 229/PID.SUS/2018/PN RKB tanggal 17 Desember 2018.

Seiring berjalannya waktu, pada awal Januari 2020 lalu, Polda Banten kemudian membentuk Tim Satgas PETI setelah Presiden Jokowi dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo meninjau lokasi terdampak banjir bandang. Banjir bandang sendiri menerjang enam kecamatan di Kabupaten Lebak. Ribuan rumah warga hancur dan 8 orang dikabarkan meninggal dunia.

Dugaan saat itu, praktik tambang emas ilegal di wilayah Gunung Salak menjadi salah satu biang keladi bencana alam tersebut. Dalam perkembangannya, perkara MT resmi tercatat di Polda Banten pada 10 Januari 2020 melalui LP/14/I/Res.5.5/2020/Banten/SPKT. Ia disangka melanggar Pasal 158 dan atau Pasal 161 Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batubara dan atau Pasal 109 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sejak perkara tersebut resmi ditangani Polda Banten Januari 2020 silam, MT sempat meninggalkan rumah. Wartawan yang pernah meminta klarifikasi ke kediamannya di Cipanas, Lebak tidak berhasil menemui yang bersangkutan.

Seorang perempuan yang mengaku sebagai asisten rumah tangga mengatakan bahwa MT tengah melakukan perjalanan ziarah lintas Jawa. Wartawan yang datang sempat dipotret menggunakan ponsel oleh salah satu penghuni rumah.

Perkara MT kemudian kembali mengemuka setelah Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten menggelar ekspose kasus pertambangan emas ilegal Rabu, 15 April 2020. Dalam keterangan pers, Drektur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Kombes Pol Nunung Syaifudin menyatakan satu tersangka berinisial MT dihentikan proses penyidikannya alias SP3 karena pernah disidik oleh Bareskrim Mabes Polri.

“Dasar SP3 karena keterangan saksi ahli, keterangan saksi di TKP dan petikan putusan dari Pengadilan Lebak. Ini nebis in idem, khawatir kami dipersalahkan,” kata Nunung.

Pengajar hukum dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Aan Aspianto menyatakan bahwa nebis in idem tidak berlaku untuk perkara yang sama namun terulang pada waktu (tempus) berbeda. Misalnya, ia mencontohkan terjadi penipuan di tahun 2012. Korban melaporkan ke penyidik polres, sudah diadakan penuntutan jaksa, dan divonis pengadilan di tahun yang sama.

Tiba-tiba korban merasa tak puas dan kembali melaporkan kasus yang sama ke tingkat Polda. “Tidak bisa, karena (pelaku) sudah divonis,” kata Aan, Senin (20/4/2020).

Berbeda halnya jika setelah vonis pengadilan, pelaku kembali melakukan kejahatan yang sama. “Itu bukan nebis in idem karena waktunya berbeda. Korbannya bisa jadi sama, tempatnya sama, tapi waktunya berbeda. Ini kejahatan berulang, residiv orangnya disebut residivis,” kata dia.

Begitu juga dengan perkara MT, Aan melihat bahwa nebis in idem tidak tepat untuk menghentikan perkara tersebut mengingat perkara yang sama namun terulang pada tahun yang berbeda. (you/red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini