Beranda Opini Pemilu 2024: Masihkah Suara Rakyat, Suara Tuhan?

Pemilu 2024: Masihkah Suara Rakyat, Suara Tuhan?

Surat Suara Pemilu 2024 - Foto istimewa

Oleh: Peri Irawan, Peri Irawan (CEO Indonesia Menulis)

Sentimen negatif terhadap demokrasi di Indonesia terus menghantui (Asgart, 2002; Munhanif, n.d.; Perdana, 2023; Sondakh, 2014) yang dilontarkan oleh beberapa politikus, masyarakat, dan elemen lainnya berdasarkan fenomena empiris terhadap implementasi demokrasi. Terdapat statement dari mantan Presiden Amerika Serikat “Abraham Lincoln” yang menyajikan bahwasanya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, hal demikian menyebutkan bahwa rakyat menjadi kunci utama dalam demokrasi.

Dalam sejarah Indonesia tercatat sudah menjalankan 12 kali Pemilihan Umum (Pemilu) mulai dari tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1922, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan sekarang yang akan kita laksanakan yaitu tahun 2024. Demokrasi merupakan amanat konstitusi dan sebuah konsep pemerintahan yang menempatkan rakyat pada posisi pemegang kekuasaan yang paling tinggi. Demokrasi menempatkan rakyat sebagai dasar dalam setiap hajat kenegaraan, rakyat adalah salah satu sasaran yang diangkat derajat hidupnya, diberikan pendidikan dan pekerjaan yang layak, serta dipastikan kesejahteraannya, bukan menjadi beban untuk menanggung ambisi atau perilaku pejabat atau perwakilannya.

Rasanya value pemilu tahun 2024 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena menurut saya hari ini tiga kandidat yaitu Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dipaksakan untuk saling memberikan gagasan, beradu argumentasi, serta prestasi. Sehingga tercipta politik gagasan bukan lagi pencitraan terhadap rakyat, dengan kosmetik pemilu seperti membasmi korupsi, meningkatkan perekonomian, lapangan pekerjaan, pangan, kesehatan, kemiskinan, pendidikan, dan lainnya.

Sebenarnya itu bagus, karena memang pemimpin itu harus memiliki janji dan menempatinya, bukan berjanji namun tidak menempatinya apalagi rakyat menjadi musuhnya. Orientasi utama dalam politik jika mengambil pijakan dari Plato adalah perfect society, artinya orientasi utamanya adalah pada kemaslahatan rakyat dan kemajuan bangsa, namun permasalahannya masyarakat dibingungkan apakah benar agenda politik ini untuk kepentingan publik atau untuk kepentingan kelompok.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bagian. Fase pra-kemerdekaan dan fase pasca-kemerdekaan. Perkembangan demokrasi pasca kemerdekaan Indonesia mengalami pasang surut sejak kemerdekaannya hingga saat ini (Qutrul Nada et al., 2023), namun dalam perjalanan 55 tahun negara dan bangsa Indonesia, persoalan utamanya adalah demokrasi telah mengambil banyak bentuk.

Kehidupan berbangsa dan bernegara seperti bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial. Sebagai kaidah kehidupan, hakikat kaidah rekreasi secara empiris berkaitan dengan persoalan hubungan antara negara atau pemerintah dengan rakyat, atau sebaliknya, dan hubungan antara rakyat dengan negara atau pemerintahan itu seimbang. Dari banyaknya fase demokrasi yang dimulai dari demokrasi parlementer sampai dengan reformasi demokrasi, dalam ruang demokrasi ini, hak-hak dasar warga negara dijamin, jadi rasanya salah jika kita takut, dan jika kita merasakannya berarti ada permasalahan dalam ruang demokrasi kita.

Suara rakyat adalah suara tuhan, atau yang sering kita dengar dengan istilah “vox populi vok dei.” Asas tersebut dalam politik menyebutkan kurang lebih menjelaskan bahwa suara mayoritas dalam masyarakat harus dihormati dan diikutsertakan dalam pembuatan keputusan politik (Maharani et al., 2023). Konsep ini erat kaitannya dengan demokrasi, kekuasaan berada pada rakyat dan keputusan politik dibuat berdasarkan suara mayoritas. Dalam sistem pemilu, asas ini berarti bahwa suara mayoritas dari para pemilih harus menentukan hasil pemilu dan siapa yang terpilih sebagai pemimpin. Hal ini dilakukan melalui penghitungan suara yang adil dan transparan.

Oleh karena itu, pemilu yang bebas dan adil menjadi kunci dalam menjaga integritas demokrasi dan menghormati suara rakyat. Dalam konteks demokrasi dan sistem pemilu, konsep ini menjadi sangat relevan karena demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada pada rakyat. Dalam sistem pemilu, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat mereka secara langsung atau tidak langsung. Dalam pemilihan umum, keputusan akhir didasarkan pada suara mayoritas rakyat. Oleh karena itu, suara rakyat sangat penting dan harus dihormati dalam sistem pemilu.

Menyoroti pemilu 2024, kita potret bersama saat pencalonan, gabungan partai politik dan lainnya menunjukkan bahwasanya partai politik sebagai salah satu lembaga yang menjalankan konsep demokrasi, karena calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik. Namun dalam praktiknya, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, hal ini menandakan Indonesia belum dewasa dalam berdemokrasi karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya ditaati, pertama politik uang, dalam praktiknya banyak sekali kambing hitam terhadap politik uang dengan statement shodaqoh dan lainnya yang sangat beragam tidak hanya dalam bentuk uang, padahal praktik ini akan melahirkan pemimpin yang tidak berkualitas, selanjutnya yaitu kampanye dengan mengaitkan isu agama sehingga menimbulkan perpecahan dan kerukunan, fitnah dan lainnya.

Kedua, penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian sehingga meninggalkan harmonisasi antar warga negara. Ketiga, monopoli partai politik, sering sekali kita melihat partai yang berkuasa melakukan perubahan-perubahan seperti merevisi undang-undang terkait pemilu, hal itu juga memicu praktik nepotisme yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu. Keempat perihal dugaan kecurangan pemilu yang dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan yang membuat pelaku takut atau lainnya berdasarkan dengan ketentuan yang telah ada, namun sayang seolah-olah tidak mengetahui, pura-pura tuli atau buta dengan keadaan dan yang terakhir adalah perihal efektivitas pengawasan serta netralitas pejabat publik yang terbuka mendukung salah satu kandidat atau lainnya, teriak netralitas hanyalah sebuah jubah dan basa-basi. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini