Beranda Uncategorized Pembangunan Gereja pada Masa Kesultanan Banten

Pembangunan Gereja pada Masa Kesultanan Banten

Lukisan tentang gereja di Nusantara pada masa kolonialisme VOC dan Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

BANTEN – Kesultanan Banten pada masa kejayaannya ternama sebagai bandar lada terbesar di Nusantara. Gerbang Kesultanan Banten terbuka lebar untuk semua pedagang yang datang. Tak hanya pedagang dari kerajaan di nusantara, pedagang dari negeri jauh seperti Portugis, Inggris, China, Arab, India, dan lainnya juga datang ke Banten.

Kapal-kapal dagang mereka kerap hilir-mudik di Banten. Kesultanan Banten menyambut mereka dengan tangan terbuka. Tanpa pandang bulu apalagi agama.

Kesultanan Banten banyak melakukan kerjasama dengan pedagang yang datang. Mereka disambut hangat. Sultan Banten juga memberikan kebebasan kepada para pedagang dari negeri-negeri jauh untuk menjalankan ibadah, sesuai agamanya masing-masing dan menyambut tokoh agama mereka dengan hangat.

Pada masa Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir atau Pangeran Ratu, tepatnya pada Juni 1642, untuk pertama kalinya Banten didatangi beberapa pastur. Mereka adalah lima orang pater Yesuit yang menunggu kesempatan berlayar menuju Maluku. Para pastur ini menetap di Banten kira-kira setahun.

Dalam Sejarah Paroki Kristus Raja disebutkan, sekitar bulan April 1672, Mgr. Pallu, MEP tinggal di Banten hampir setengah tahun. Pada waktu itu, sudah ada beberapa Imam, Bruder, Suster, dan dokter misi yang sedang singgah dalam perjalanan dari Tonkin menuju Madras di India.

Selain itu, pada jaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa ini, sudah banyak orang Katolik tinggal di daerah Banten. Mereka adalah orang Eropa, India, Cina, Maluku, Pilipina bahkan sudah ada pastor-pastor dari Konggregasi MEP dari Perancis. Selama masa ini silih berganti pater-pater datang pergi mengurus umat Katolik di Banten. Selain Mgr. Pallu MEP, ada juga Mgr. de la Chiesa OFM yang merupakan uskup terakhir yang tinggal di Banten.

Vincent Le Blanc (1553-1633), seorang pengembara asal Perancis pada abad 17 mengunjungi Kesultanan Banten masa Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651). Vincent menyaksikan Sultan Banten itu memberikan izin kepada warga Tionghoa yang tinggal di Banten untuk mendirikan klenteng. “Les Chinois ont un temple où ils adorent (Orang-orang Cina mempunyai klenteng tempat di mana mereka beribadah),” catat Vincent.

Selain untuk penganut agama Konghucu, Sultan Banten juga memberikan izin kepada umat Katolik menjalankan ibadahnya. Saat itu, ada beberapa pendeta Katolik di Banten. Mereka meminta izin kepada sultan untuk mengadakan ritual keagamaan. Sultan memenuhi permintaan mereka dengan hangat. Bahkan, Sultan menyatakan dengan senang hati untuk membantu jika diperlukan.

Claude Guillot, dalam Banten – Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII – menyebutkan, orang Eropa yang tinggal di luar benteng memiliki sebuah kapel kecil atau sebuah tempat berdoa dalam loji mereka masing-masing. “Dan masing-masing kompeni biasanya mendatangkan seorang agamawan bagi mereka,” tulis Claude Guillot.

Sultan Haji yang memiliki ambisi menjadi penguasa Banten berselisih dengan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji berkongsi dengan VOC untuk mengalahkan ayahnya. Siasatnya manjur. Sultan Haji bercokol di atas tahkta Kesultanan Banten pada 1683.

Sultan Abu Nashar Abdul Qahar atau Sultan Haji (1683 – 1687) membuat perjanjian kerjasama dan membuka banyak ruang bagi VOC di tanah Banten. Sebagai rasa terima kasih, Sultan Haji mengizinkan VOC menempati sebuah benteng. Benteng Speelwijk, namanya. Di dalam Benteng itu, Belanda diberikan izin untuk tempat tinggal dan mendirikan tempat ibadah: gereja.

Hubungan Kesultanan Banten dan VOC itu berlanjut hingga pemerintahan kantor dagang itu digantikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Orang Belanda semakin memiliki wewenang mengatur Banten. Bahkan, wewenang mendirikan gereja jadi tanggung jawab penuh pemerintah kolonial. Bukan kesultanan lagi.

Kehadiran Gereja Negara di dekat alun-alun Kota Serang jadi buktinya. Gereja itu didirikan pada 1846. Semuanya – dari biaya hingga gaji pegawai—ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Apalagi orang Belanda yang tinggal di Banten makin hari makin meningkat.

“Ketika status kekuasaan Belanda di Banten berpindah dari VOC ke Pemerintah Kolonial, pembangunan gereja, baik sebagai sebuah bangunan rempat ibadah kaum Kristen maupun sebagai sebuah institusi, selanjutnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kolonial. Tapak pertama dari pusat pemerintahan Hindia Belanda dibangun di Kota Serang yang ditandai dengan berdirinya kantor Residentie van Bantam.”

“Atas inisiatif Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) yang bermarkas di Batavia, pada 1846 didirikanlah sebuah ‘gereja negara’ di dekat alun-alun Kota Serang. Pengurus ‘gereja negara’ diangkat dan digaji oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pembangunan gereja di Kota Serang bukanlah tanpa alasan, sebab lebih dari 200 penduduk Eropa (terutama Belanda). Ketika itu tinggal di ibu kota. Sebagian besar dari mereka adalah penganut Protestan yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan rohaniah dari Pemerintah Kolonial,” terang Mufti Ali dalam buku Misionarisme di Banten (2021).

Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sikap bijak penguasa Banten itu mungkin untuk memberikan keamanan bagi pedagang asing. Maka, tak heran bila Banten menjadi salah satu pusat dagang besar di Nusantara. (Qizink La Aziva )

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini