Beranda Opini New Normal dan Menangkal Anomali Sosial

New Normal dan Menangkal Anomali Sosial

Salim Rosyadi

Oleh: Salim Rosyadi, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Pengurus Cabang GP Ansor Kab. Lebak

Pandemi belum berlalu, para gugus tugas masih berjibaku tanpa lelah dan payah di tengah keterbatasan petugas dan fasilitas. Hal ini tiada lain demi menyelamatkan nyawa umat manusia. Padahal kita tahu, nyawa mereka pun tak menjamin keselamatannya.
Beberapa waktu lalu, kita melihat situasi sosial sambil geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, di saat pemerintah dan penjaga posko kesehatan beroperasi di tiap lintasan untuk mengecek suhu memastikan masalah kesehatan, belum lagi petugas keamanan yang melerai keramaian yang seolah tiada berkesudahan. Tapi, alih-alih jalanan tetap saja padat merayap, belum lagi pasar dan tempat hiburan kian dipadati masa.

Sungguh ini keadaan yang membingungkan, disatu sisi hajat individu mesti terpenuhi, apalagi kebutuhan mendesak bagi para pedagang kecil yang mengharuskan membuka lapak. Sementara di sisi lain, petugas pun harus kewalahan demi memutus rantai virus yang seolah tiada berkesudahan. Sehingga bagi pemerintah keadaan ini seperti menghadapi simalakama.

Hampir dua bulan berlalu, ruang publik terkurung dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dampak lain dari kebijakan ini, banyak perusahaan yang harus gulung tikar, belum lagi karyawan yang diliburkan. Dengan demikian, untuk menghadapi kebuntuan ini pemerintah berupaya mencari jalan keluar dengan menggulirkan wacana New Normal, sekalipun istilah tersebut masih dipersoalkan.

Terlepas dari persoalan istilah, perguliran wacana tersebut realitasnya tampak absurd. Pasalnya, pihak pemerintah dihadapkan terus menjaga stabilitas ekonomi sekaligus dituntut memutus mata rantai penyebaran virus ini. Sementara pemaknaan lain bagi masyarakat, istilah tersebut merupakan keadaan baru yang boleh melakukan hal apa pun seolah virus ini tiba-tiba ditelan waktu. Padahal tim gugus tugas hampir setiap hari mengumumkan, sederetan angka positiv Copid-19 masih beranjak.

Lantas, jangan-jangan masyarakat kita belum siap secara mental menghadapi New Normal? Abdul Gaffar sebagaimana dikutip dalam Kompas.com menilai, New Normal bisa menjadi momentum ujian sosial bagi masyarakat. Dengan kondisi seperti ini seharusnya masyarakat mampu beradaptasi dengan kondisi baru yang jauh berbeda dari sebelumnya, faktor yang terpentig dalam hal ini selain kesiap-siagaan diri juga tergantung pada lingkungannya.
Mestinya terminologi New Normal bukan dimaknai membuka keran aktifitas publik yang sebebas bebasnya. I’tikad baik pemerintah dalam hal ini dimaksudkan untuk membuka kembali kebijakan ekonomi, sosial, keagamaan dan kegiatan publik dengan cara memberi batasan perspektif standar kesehatan dengan ketat dan ketentuan khusus.

Tujuan dengan adanya New Normal, sejatinya agar negara dapat berperan serta mampu menjalankan fungsi-fusnginya sesuai regulasi. Pasalnya, dengan terkurungnya ruang publik dua bulan terakhir, mengakibatkan lonjakan harga dan produktitias ekonomi turun drastis. Selain itu, banyak karyawan yang dirumahkan bahkan PHK yang menambah beban pengangguran.

Bayangkan jika aktivitas ekonomi tersendat, kemungkinan besar menurut pengamat ekonomi, negara akan mengalami kebangkrutan. Akibatnya akan terjadi kekacauan bahkan penjarahan. Artinya penerapan ini merupakan sebuah alternatif dari kesadaran sosial maupun ekonomi dalam upaya pemulihan, sekalipun bahaya wabah ini masih mengancam.
Dengan demikian, jangan sampai istilah New Normal ini menjadi kesia-siaan, apalagi solusi yang tidak memberikan dampak perubahan. Hal ini tiada lain kuncinya adalah kesadaran. Jangan sampai gegara istilah New Normal, masyarakat salah kaprah menafsirkan.

Baiknya, pemerintah betul-betul memberikan penerangan dengan jelas dan transparan. Setidaknya ada tiga langkah dalam upaya pemberian kebijakan ini agar tetap berjalan dengan harapan.

Pertama, tentu pihak pemerintah harus melakukan upaya yang sistematis, terkoordinasi dan konsisten dalam melakukan pengawasan publik, termasuk memaksimalkan sektor kesehatan untuk menjaga lonjakan penderita Covid ini.

Kedua, harus ada upaya sinergisitas antara pihak pemerintah, tim kesehatan dan pengamanan untuk memastikan keadaan perkembangan virus ini secara berkala. Terutama pemeriksanaan kesehatan yang masif.
Ketiga, saat situasi seperti ini, komunikasi secara virtual sebagai sarana alternatif yang ampuh untuk memudahkan dalam menjaga hubungan kegiatan sosial, keagamaan bahkan ekonomi.

Akan tetapi, di lain hal tidak seluruhnya model seperti ini membawa dampak kebaikan. Justru bagi sebagian orang sarana ini menyebabkan anomali media sosial, di mana media virtual ini menjadi alat propaganda masyarakat untuk menyebarkan energi negatif dengan berita hoaks dan menyulut emosi.

Mestinya, sebagai ikhtiar pengawasan tingkat pertama, pihak pemerintah, tokoh masyarat dan agama berperan aktif untuk melakukan Pos Kemanan Lingkungan (POSKAMLING) virtual. Artinya setiap warga dapat mengontrol apabila ada berita menyesatkan dan tindakan propokatif dengan melaporkan kepada pihak berwenang. Sehingga diharapkan dengan adanya upaya semecam ini, New Normal dapat berjalan normal.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini