Oleh: Sulaiman Djaya, pemerhati budaya di Kubah Budaya
Mudik biasanya diartikan sebagai ‘pulang kampung’ atau kembali ke kampung halaman. Kata mudik ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mereka yang pulang kampung adalah orang-orang yang telah meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahirannya, misalnya demi bekerja (atau mencari kerja) di kota Jakarta dan di kota-kota lainnya. Biasanya mudik ini dilakukan menjelang lebaran atau di saat lebaran, utamanya menjelang hari raya ‘Idul Fitri atau beberapa hari selepas ‘Idul Fitri, untuk melakukan ajang silaturahmi dengan orang tua atau sanak keluarga di kampung halaman. Sehingga kosa-kata ‘mudik’ ini lekat sekali dengan terminologi urban atau di kalangan orang-orang yang melakukan migrasi dan urbanisasi.
Akan tetapi, siapa sangka, ada kesamaan arti dan makna lahir dan arti tersembunyi antara kata ‘mudik’ dengan ‘Idul Fitri. Bila mudik adalah kembali atau pulang ke (menuju) kampung halaman di mana kita dulunya berasal dan dilahirkan, maka ‘Idul Fitri artinya kembali atau ‘pulang’ ke (menuju) fitrah kita di mana kita saat dilahirkan yang tanpa noda dan cela. Tentu saja, dalam konteks dan koherensinya dengan spirit bulan Ramadan itu sendiri, mereka (kaum muslim) yang berhasil kembali atau pulang ke (menuju) fitrah-nya adalah mereka yang lulus selama menjalani madrasah Ramadan.
Dapat kita lihat, kata dan istilah ‘mudik’ dan ‘Idul Fitri sama-sama memiliki pengertian kembali dan ‘pulang’, meski konteks keduanya tak sama alias berbeda. Hanya saja, arti dan pengertian kembali dan pulang itu sendiri mencerminkan bahwa kita senantiasa ingin balik ke asal di mana kita berasal. Bila dalam terminologi spiritual dan religius, maka asal kita adalah manusia-manusia yang tanpa cela dan noda (saat kita dilahirkan), yaitu dalam keadaan fitri, maka ‘mudik’ adalah kembali ‘mengunjungi’ tempat di mana kita dilahirkan, yaitu tanah kelahiran atau kampung halaman kita, yaitu kebersihan dan kejujuran kita sebagai manusia.
Ada sutu pembahasan dan telah yang cukup menarik yang dilakukan Ayatullah Murtadha Muthahhari tentang fitrah ini, yang dalam pandangannya tak terlepas dari tujuan risalah dan nubuwwah. Menurutnya, tujuan diutusnya para nabi tak lepas dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri, mengajak dan membimbing manusia untuk mengenal dan menemukan tujuan hidupnya yang hakiki. Dengan perantara seorang Nabi, manusia memahami potensi (fitrah) yang ada pada dirinya dan mengaktualkan sesuai dengan jalan yang benar. Sedangkan tujuan penciptaan itu sendiri, seperti yang diutarakan Ayatullah Murtadha Muthahhari, bukanlah demi kesempurnaan atau keperluan Sang Pencipta, melainkan untuk kesempurnaan makhluk. Penyempurnaan itu sendiri memiliki tahap-tahapan sebagai suatu proses, dan terdapat perbedaan diantara setiap makhluk dalam tingkat penyempurnaannya.
Berdasarkan apa yang dijelaskan Ayatullah Murtadha Muthahhari tersebut, dapatlah dipahami oleh kita bahwa salah satu tujuan diutusnya para Nabi adalah “untuk membimbing manusia mencapai kesempurnaannya, dan membantunya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya baik secara individu maupun sosial” dan itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan wahyu ilahi sehingga dalam perjalanannya, manusia memperoleh kemudahan.
Demikian pula, sebagaimana yang dijelaskan Ayatullah Murtadha Muthahhari, kita sebagai manusia dalam kedudukannya di antara makhluk hidup lainnya, memiliki kekhususan yang perlu dikaji secara terpisah, yang mana manusia memiliki akal, kehendak dan fitrah (yang tidak sama dengan makhluk lainnya, misalnya dengan binatang). Dan karena itu, demikian ditegaskan Muthahhari, pertumbuhan dan kesempurnaannya harus dicermati dari dua sudut; material dan spiritual. Dalam pandangan Muthahhari, dengan memperhatikan dua ciri khas manusia tersebut, dan dengan melihat dari sisi lain manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki fitrah, akal dan berpikir itu, manusia memiliki dua kebebasan, yaitu kebebasan sosial dan kebebasan spiritual.
Sementara itu, terkait dengan kebebasan sosial, sebagaimana dinyatakan Ayatullah Murtadha Muthahhari, seyogyanya manusia tidak dieksploitasi oleh orang lain dan orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Di sinilah, menurut Muthahhari, satu dari tujuan diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia –yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang lain.
Dan dalam konteks ‘Idul Fitri, kebebasan kaum muslim adalah ketika kaum muslim telah berhasil kembali (pulang) ke fitrahnya setelah berjuang selama sebulan penuh sepanjang menjalani Madrasah Ramadan hingga tiba di bulan Syawal. Rasulullah Saw bersabda, “Dinamakan bulan Syawal karena pada bulan itu dosa-dosa orang mukmin diampuni.”
Seperti kita tahu bersama, ‘Idul Fitri bagi kaum Muslim merupakan sebuah hadiah spiritualitas sejati dari Allah Swt, di mana hari raya ini bukan pesta materi duniawi (semisal hanya mengutamakan perlombaan untuk membeli baju-baju atau barang-barang baru), tapi hari rahmat dan ampunan Ilahi. Hari raya ‘Idul Fitri sejatinya adalah hari bersyukur bagi kaum muslim yang berhasil di bulan suci Ramadhan dalam ibadah dan penghambaannya kepada Allah Swt. Inilah hari kemenangan bagi kaum Muslim –yaitu tadi, hari kembali (atau mudik alias pulang) ke (menuju) fitrah kita yang tanpa cela dan dosa. Sebuah hari yang mengakhiri sebulan ibadah dan penyucian diri dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah Swt.
Dengan demikian tak ragu lagi, bahwa Lebaran ‘Idul Fitri tak hanya sekedar momentum ‘mudik’ bagi mereka (kaum muslim) yang meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran mereka demi bekerja atau mencari kerja di tempat-tempat lain, misalnya di kota Jakarta, untuk kembali (pulang) ke tanah kelahiran atau kampung halaman yang mereka (kaum muslim) tinggalkan, namun juga merupakan momentum bagi mereka (kaum muslim) yang telah berhasil kembali pulang ke fitrah mereka karena telah lulus dalam Madrasah Ramadhan selama sebulan penuh, yang mana capaian dan keberhasilan mereka di bulan Syawal (di hari raya ‘Idul Fitri itu) sesuai dengan sabda Rasulullah: “Dinamakan bulan Syawal karena pada bulan itu dosa-dosa orang mukmin diampuni.”