Beranda Opini Mitos Cinta Lintas Budaya

Mitos Cinta Lintas Budaya

Ilustrasi - foto istimewa IDN Times

Oleh : Ferliyadi Utama, Mahasiswi Fakultas Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Ketika seluruh dunia sedang di landa bencana berupa virus corona, warga negara +62 mengaitkan kekhawtiran mereka akan hal tersebut pada warisan bentuk cerita dari tradisi lisan sebagai upaya mengintegrasikan problematika kehidupan dalam suatu konstruksi sistematis yang di sebut mitos, mendistorsi fungsi perangsang perkembangan kreativitas dalam berfikir menjadi suatu kebenaran yang tidak harus di perdebatkan atas dasar kepentingan.

Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 633 kelompok suku besar dari kode suku yang tersedia dalam SP2010 menurut sensus hasil kerja sama Biro Pusat Statistik (BPS) dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada tahun 2013. Suku Jawa menjadi suku terbesar dengan proporsi 40,22% dari jumlah penduduk Indonesia, sedangkan proporsi suku betawi hanya sebesar 2,88% dari jumlah penduduk Indonesia.

Saking banyaknya suku dan etnis di Indonesia, urusan cinta terkadang jadi terhalang kepentingan yang mengatasnamakan mitos. Mitos yang di konstruksi oleh persepsi stereotip cendrung mengintimidasi, membuat penilayan masyarakat menjadi tidak sehat sebab fungsi mitos sebagai sarana edukasi seharusnya adalah untuk membina kesetiakawanan sosial agar dapat merangsang perkembangan pola pikir masyarakat bahwa dalam perbedaan terdapat terdapat keharmonisan. Bukannya malah menimbulkan perpecahan dengan menciptakan praduga negatif yang bertentangan dengan makna sila ke-3 Pancasila: Persatuan Indonesia.

Menurut saya makna dalam sila ke-3 Pancasila: Persatuan Indonesia adalah memberikan rasa pengakuan serta penghormatan dan menghargai perbadaan dalam ruang lingkup agama,ras, maupun budaya. Maka mitos sangat tidak relevan untuk di amini apalagi di percayai, karena hidup tidak sesempit lubang kunci sebab manusia berhak memiliki kebutuhan berbeda tanpa mengganggu siapapun termasuk dalam hal mencintai.

“Kebutuhan untuk merasa bangga dengan siapa dirimu sangat penting. Robert Josep Greene (R.A.W)”. Selaras dengan apa yang di kemukakan oleh Robert, dan demikian pun yang termaktub dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: “Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya untuk membentuk sebuah keluarga ( disebut dalam Pasal 10 UU HAM)”

Maka dalam naungan budaya yang memanusiakan manusia sejatinya setiap individu berhak mencintai tanpa memandang suku,ras, dan agama. Namun interpretasi mitos yang keliru mengkontemplasikan ulang bagaimana suatu mitos di hadirkan. Seperti mitos pernikahan suku Sunda dan Jawa misalnya yang di latarbelakangi legenda Perang Bubat, di mana nilai moral yang di hadirkan dalam legenda tersebut sebenarnya untuk menyadarkan kita tentang pentingnya komunikasi antara kedua belah pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman serta sifat serakah dan haus kekuasaan dapat menyebabkan terjadinya pertikaian dan perpecahan.

Tapi apa yang di pahami dan di amini oleh para pendahulu hingga kini adalah tentang larangan estri ti luaran yang terdapat dalam  Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan. Ini menunjukan interpretasi mitos yang keliru telah mengkontemplasikan ulang pesan yang ingin di sampaikan, sehingga sangat tidak relevan menurut saya untuk di jadikan sarana edukasi karena sama saja dengan mewariskan kebencian jika tanpa di sertai dengan penjelasan yang mumpuni tentang makna yang terkandung di dalamnya.

Dan memang untuk memahami suatu karya seni kita tidak bisa berhenti di arti namun harus memahami untuk bisa memaknai, meskipun pemahaman bersifat relatif tapi yang perlu di garis bahawi adalah, dalam setiap karya sastra selalu ada kebaikan di dalamnya. Begitupun dengan pengertian baik dan buruk pada sesuatu dalam penilaian yang di tanamkan melalui edukasi orang tua kepada anaknya misalnya, hal itu akan menempel selamanya karena orang tua adalah tokoh protagonis utama di setiap cerita pembentukan kepribadian anaknya.

Sebagai tokoh utama sudah selayaknya orang tua menjelaskan ketika mereka mengedukasi anaknya dengan sebuah mitos yang berlatarbelakang cerita legenda, sebab fungsi mitos cukup mempengaruhi kondisi psikologi dari fungsi pedagogik nya yang menanamkan nilai-nilai pembentuk karakter kepribadian yang terefleksi dalam pola pengasuhan orang tua.

Maka dari itu alangkah baiknya para orang tua lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya sambil mengajarkan realita hidup yang tak seindah cerita fantasi agar supaya nanti ketika ekspektasi tidak sesuai realita, sang anak tidak lagi menggunakan mitos pada generasi setelahnya, seperti apa yang kami dapatkan dari kalian wahai para orang tua.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini