Oleh : Fauzi Sanusi
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri. Sebuah kawasan yang dipenuhi pabrik baja, industri petrokimia, pelabuhan, dan proyek-proyek triliunan rupiah. Di atas kertas, ini adalah simbol pertumbuhan, kemajuan, dan masa depan.
Namun di balik gemerlap angka investasi itu, tersembunyi masalah-masalah yang selama ini jarang dibahas secara terbuka: pengusaha lokal (Usaha Kecil Menengah) yang tidak dilibatkan, janji kemitraan yang tidak ditepati, serta sistem tender yang tidak transparan dan cenderung eksklusif. Tapi di balik semua geliat itu, ada satu pertanyaan yang semakin nyaring terdengar. Milik siapa dan untuk siapa sebetulnya kota industri ini.
Milik Siapa Sebenarnya?
Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ini adalah jeritan kolektif dari banyak pelaku usaha lokal yang merasa seperti tamu di rumah sendiri. Mereka bukan tidak ingin bersaing, bukan pula tidak memiliki kapasitas. Banyak di antara mereka memiliki pengalaman panjang, modal kerja, dan kemampuan teknis yang sudah teruji. Namun ketika peluang datang, mereka justru disisihkan secara sistemik. Tidak diundang dalam tender, tidak diberi informasi, bahkan tidak diajak berdialog.
Mereka menyaksikan proyek-proyek besar datang silih berganti, tetapi nama-nama yang mendapatkan pekerjaan justru berasal dari luar daerah, dari lingkaran tertentu yang sudah terjalin erat dengan investor sejak awal walaupun sebetulnya pekerjaan tersebut dapat dikerjakan oleh pengusaha lokal. Sistem yang ada seakan menutup akses, bukan karena alasan teknis, tapi karena minimnya kemauan untuk berbagi ruang usaha secara adil. Ini bukan sekadar persoalan kompetensi, tetapi soal ekosistem yang timpang sejak awal mula proyek dimulai.
Bukan Anti-Investasi, Tapi Rindu Keadilan
Pengusaha lokal tidak anti-investasi. Justru mereka sadar, investasi adalah darah bagi ekonomi daerah. Namun yang mereka minta adalah keadilan: akses, keterlibatan, transparansi, dan perlakuan setara. Banyak dari mereka yang mampu mengerjakan pekerjaan konstruksi, pengadaan, logistik, hingga layanan penunjang lainnya. Tapi kemampuan itu sering kali tak dianggap, karena sistemnya tak pernah memberi mereka ruang.
Yang lebih menyakitkan, seringkali muncul janji-janji manis di awal proyek: akan melibatkan vendor lokal, akan memprioritaskan pengusaha daerah. Tapi janji tinggal janji. Tidak ada mekanisme pengawasan. Tidak ada transparansi. Yang tersisa hanya rasa kecewa dan ketidakpercayaan yang semakin dalam.
Dari Ketimpangan ke Ketegangan
Dalam situasi seperti ini, ketimpangan mudah berubah menjadi ketegangan. Ketika ruang formal tertutup, tekanan informal muncul. Kita tentu tidak membenarkan tindakan melanggar hukum atau pendekatan intimidatif. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa akar dari masalah ini adalah sistem yang timpang.
Jika Cilegon ingin menjadi kota industri yang berkelas dunia, maka ia harus dibangun bukan hanya dengan beton dan baja, tetapi juga dengan keadilan. Dengan kolaborasi. Dengan sistem yang membuka ruang bagi siapa pun yang punya kapasitas, bukan hanya yang punya koneksi.
Membangun di Cilegon atau Membangun Cilegon
Ada perbedaan besar antara membangun di Cilegon dan membangun Cilegon. Yang pertama hanya soal lokasi—sekadar memindahkan alat berat dan memulai konstruksi fisik. Efeknya tidak signifikan terhadap pengangguran dan ekosistem perkonomian lokal. Tapi yang kedua soal komitmen: apakah kehadiran investor benar-benar memberi dampak jangka panjang bagi masyarakat dan pelaku ekonomi lokal.
Sering kali, proyek-proyek besar yang dibangun di Cilegon hanya menyisakan debu dan lalu lintas padat, tapi tidak meninggalkan jejak kolaboratif yang bermakna. Pekerjaan subkontrak justru jatuh ke pihak luar yang sudah dikondisikan sejak awal. Transfer teknologi hanya jadi jargon presentasi. Sementara pengusaha lokal tetap berada di luar pagar, menunggu janji yang tidak pernah ditepati.
Membangun Cilegon berarti ikut menumbuhkan ekosistem lokal: melibatkan vendor daerah, memberikan pelatihan, membangun kepercayaan, dan membuka akses pasar. Ini tentang investasi yang memperkuat daya saing lokal, bukan menggantikannya.
Investor yang bijak tidak sekadar datang dan membangun, tetapi turut membesarkan ekosistem yang ada. Mereka membuka ruang dan peluang, bukan membentuk lingkaran eksklusif.
Solusi
Ini waktunya pemerintah daerah tidak hanya jadi fasilitator investasi, tapi juga menjadi penjaga keadilan ekonomi. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
1. Membuat regulasi yang mewajibkan keterlibatan pelaku usaha lokal dalam proyek strategis, dengan batas minimal 30% dari nilai kontrak. Regulasi ini perlu disusun partisipatif, disertai sanksi administratif bagi pelanggar, dan didukung daftar resmi vendor lokal yang terverifikasi untuk mencegah manipulasi data.
2. Mewajibkan keterbukaan data vendor dan mitra kerja semua proyek besar.
3. Membentuk forum kemitraan antara investor, pemerintah, dan asosiasi pengusaha lokal.
4. Membangun sistem digital e-vendor lokal yang akuntabel dan profesional.
Dengan begitu, tidak ada lagi pertanyaan, “milik siapa kota ini?” Karena jawabannya akan menjadi jelas: kota ini milik semua, tumbuh bersama, dan adil untuk semua. (*)