Beranda Pendidikan Menginstal Kearifan Lokal dalam Pendidikan Anak

Menginstal Kearifan Lokal dalam Pendidikan Anak

Ilustrasi - foto istimewa kumparan.com

Menginstal Kearifan Lokal dalam Pendidikan Anak

Oleh : Atih Ardiansyah

Ketika Pemerintah menjadikan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai program prioritas pendidikan nasional pada tahun 2018, saya justru teringat dengan ide pembubaran PAUD yang pernah dicetuskan oleh mantan bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Menurut Dedi, penyelenggaraan pendidikan anak usia dini merupakan wujud kemunduran cara berpikir dan penghilangan karakter kita sebagai bangsa. Makanya, menurut Dedi, play group atau yang sejenisnya sebaiknya dibubarkan saja.

Mengapa PAUD mesti dibubarkan? Pertama, play group diadopsi dari Barat yang rata-rata penduduknya merupakan pekerja yang hampir tidak memiliki waktu. Kedua, secara sosiologis masyarakat Barat sangat individualistik. Ketiga, di Barat, terutama di perkotaan, sudah sangat sedikit lahannya. Sibuk kerja, individualistik dan kekurangan lahan merupakan faktor-faktor yang bisa dimaklumi bagi terselenggaranya play group di Barat (Mulyadi, 2013: 22-23).
Akan tetapi, play group dari Barat tidak bisa begitu saja diadopsi di Indonesia. Beberapa fenomena yang terjadi rasanya telah cukup menjadi penguat alasan ini. Pendidikan anak pra sekolah melalui lembaga PAUD, menurut Dedi Mulyadi, telah turut membangkrutkan perekonomian masyarakat. Sebagai contoh, uang jajan anak Rp10 ribu/hari, sementara uang jajan orang tua yang menunggui bisa lebih besar. Kita memang kerap menemukan orang tua, terutama ibu-ibu, berkumpul di sekitar PAUD menunggui anak-anak mereka sekolah. Ini tentu paradoks, anak dididik oleh guru sedangkan di sana ada ibunya yang menunggui. Padahal di Barat sebagai tempat asalnya, anak berada di play group karena orang tuanya bekerja. Belum lagi perkumpulan ibu-ibu di PAUD bisa menciptakan kelompok gosip atau yang paling parah kelompok sosialita.

Menitipkan anak ke play group sementara orang tua tidak bekerja, malah ada di PAUD menunggui anak, bukan hanya menciptakan perilaku konsumerisme melainkan menciptakan kondisi di mana PAUD justru merenggut periode emas anak-anak. Keberadaan PAUD telah membuat orang tua menyerahkan tanggung jawabnya kepada guru-guru, dan lalai dengan tanggung jawabnya, sementara mereka tidak bekerja.

Penguatan Karakter dan Kearifan Lokal
Beberapa kritik atas penyelenggaraan pendidikan anak usia dini patut menjadi perhatian, terutama bagi pemangku kebijakan. Apalagi saat ini, dengan Peraturan Presiden Nomor 87/2017 tentang penguatan Pendidikan Karakter, pendidikan anak usia dini telah diwajibkan. Dasar hukum diwajibkannya anak pra sekolah mengikuti PAUD pun tentang pendidikan karakter, tentu saja yang harus menjadi pokok perhatian adalah mengenai penguatan karakter.

Pendidikan karakter sangat erat kaitannya dengan kearifan lokal. Para ilmuwan sosial budaya di Indonesia menekankan pentingnya kearifan lokal untuk memperkuat karakter bangsa. Hal tersebut merupakan salah satu poin rekomendasi dari Kongres Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada 10-20 Oktober 2012 yang lalu.
Secara umum local wisdom (kearifan lokal/setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004). Ridwan (2007), dalam Jurnal Ibda P3M STAIN Purwokerto Vol 5 No.1, 27-38 menuturkan bahwa kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budi (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.

Lalu bagaimana agar penguatan karakter melalui kearifan lokal ini bisa diimplementasikan dalam pendidikan anak?
Dalam bingkai Nawacita, desa menjadi salah satu perhatian utama, ketika kompas pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran dalam kerangka NKRI. Dalam konteks pendidikan anak, terutama penguatan karakter anak, perlu kiranya mengambil spirit kearifan lokal dari desa.
Masyarakat desa, secara sosiologis, merupakan komunitas yang masih memegang teguh semangat gotong royong, yang mana semangat tersebut telah hilang dari masyarakat perkotaan. Maka penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, baik yang ada di perkotaan dan terutama di desa-desa, harus mengadopsi nilai-nilai yang terkandung dalam semangat gotong royong tersebut.

Sesungguhnya, semangat gotong royong di desa, telah tertanam kuat sejak dini. Sejak kecil, anak-anak desa telah dikondisikan oleh alamnya untuk mengamalkan semangat ini. Dengan sungai yang masih terjaga keasriannya, anak-anak desa membentuk kelompok ngojay, kelompok mandi bersama. Karena sungainya bersih dan jernih tentu banyak ikannya. Anak-anak pun bukan hanya mandi, tetapi bekerja sama menangkap atau memancing ikan, bakar ikan kemudian makan bersama. Sawah-sawah yang belum dirambah pengembang pun menjadi sarana menumbuhkan semangat gotong royong. Anak-anak desa asyik main lumpur, menangkap belalang, mencari belut dan sebagainya. Selain semangat gotong royong di sini juga ditanamkan semangat kemandirian. Tidak hanya itu, di desa juga terdapat banyak permainan tradisional yang mengharuskan anak-anak berkelompok untuk memainkannya. Sebut saja sedikit di antaranya main bola di lapangan terbuka, dam-daman, halma, kecor, sorodot gaplok, gampuh, gobag sodor dan sebagainya.

Maka akan tampak aneh apabila bentuk bangunan dan fasilitas PAUD yang ada di pedesaan harus sama dengan PAUD yang ada di perkotaan. Akan lucu rasanya bila anak-anak PAUD di pedesaan dibiarkan berada di dalam lingkungan sekolah semata-mata padahal masih banyak sawah, sungai jernih, lapangan luas, hutan dan lain-lain yang bisa mereka eksplorasi. Justru akan berbeda, khas, dan berkarakter saat guru-guru PAUD mengajak serta anak-anak usia pra sekolah itu main di sawah atau di sungai, selain di ruang kelas. Anak-anak diajak untuk mengenal sawah, tempat di mana padi ditanam, sumber nasi yang mereka makan. Anak-anak dikenalkan dengan sungai, diajak untuk menjaga keasrian sungai yang telah memberi mereka kesegaran dan ikan-ikan, dan sebagainya.

Di sinilah diperlukan keluwesan berpikir pada penentu kebijakan, perumus kurikulum dan yang lainnya. Pihak pemerintah dan orang tua, atau dengan lembaga adat di kampung perlu duduk bersama. Jangan sampai kurikulum PAUD di pedesaan harus menduplikasi konsep PAUD yang ada di perkotaan sampai-sampai mengabaikan kearifan lokal dan hidangan alamnya. Sebaliknya, PAUD yang ada di perkotaan mestinya mengadopsi kearifan lokal yang masih lestari di desa-desa.
Bila ini diterapkan, saya berkeyakinan PAUD bukan hanya menjadi tempat menyemai karakter. Tetapi sekaligus menjadi jembatan bagi jurang kesejangan desa dan kota yang sudah kian menganga. Semoga. (*)

(Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, bergiat di Rafe’i Ali Institute)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini