Beranda Pendidikan Mengembangkan Identitas Siswa di Sekolah

Mengembangkan Identitas Siswa di Sekolah

Ilustrasi - foto istimewa kumparan.com

SERANG – Koalisi Guru Banten (KGB) kembali mendiskusikan buku ‘Critical Pedagogy For Early Chilhood and Elementry Educators’ karya Lois McFayden Christensen dan Jerry Aldridge,  secara daring, Rabu (23/2/2021) malam. Diskusi pada pekan kelima ini membahas tentang identitas peserta didik.

Identitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai jati diri. Kincheloe (2001), dalam buku yang dibahas, menyatakan bahwa pembentukan identitas penting untuk perubahan dan transformasi sosial.

Pemantik Diskusi Nelly Nuryani menjelaskan, bahwa pedagogi kritis berkontribusi pada perkembangan pembentukan identitas peserta didik terutama pada tingkat sekolah dasar, dalam membantu mereka bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti tertulis dalam buku Critical Pedagogy For Early Chilhood and Elementry Educators: Siapa saya? Kenapa saya disini? Saya mau kemana? Hambatan apa yang menghalangi jalan saya?

Selanjutnya, bagaimana saya bisa mengatasi rintangan? Bagaimana saya sampai di sana? Siapa yang melakukan perjalanan hidup dengan saya dan dalam kelompok apa saya melakukan perjalanan? Saat anak-anak memasuki lingkungan sosial, seperti kelompok bermain, prasekolah, dan taman kanak-kanak, mereka melihat perbedaan. “Mereka tidak buta warna. Dari kesadaran sosial mereka yang tidak terbatas, pertanyaan-pertanyaan mereka seringkali berfokus pada perbedaan,” katanya.

Deny Surya Permana salah satu peserta diskusi menilai bahwa para siswa ketika masuk ke kelas, sudah menyadari bahwa ada perbedaan antara dirinya dengan teman-temannya, kenapa dia memiliki warna kulit dan rambut berbeda, dia berasal dari keluarga kaya dan seterusnya. Anak sudah mengambil posisi saya berbeda dengan anak yang lain.

“Jadi itu sebagai pintu masuk bagi guru untuk memberikan pemahaman tentang identitas peserta didik,” kata Deny yang juga guru di Pandeglang tersebut.

Lody Paat, Dosen Universitas Negeri Jakarta mengatakan bahwa konsep identitas mempunyai berbagai wajah dengan sejumlah pengaruh seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Guru sangat jarang mendalami tentang identitas. Konsep identitas jarang ditanyakan atau dijelaskan baik pada saat Pendidikan Pelatihan Guru (PPG) maupun pada pelatihan-pelatihan guru, padahal sekolah mempunyai peran dalam membentuk identitas.

“Sekolah sebagai tempat proses pembetukan identitas murid kita, murid dengan latar belakang yang beragam, menjadi murid dengan identitas Indonesia,” katanya.

Lebih lanjut Lody menjelaskan, identitas itu dinamis selalu bergerak. “Bagaimana guru mengenali pembentukan identitas, dengan pertanyaan; siapa saya, mengapa saya berada disini, mengapa saya berada di Banten, saya mau kemana atau tujuan saya mau kemana, ketika ingin mencapai tujuan apa hambatan yang ada, caranya bagaimana, saya hidup dengan siapa, kelompok siapa? Pertanyaan ini dalam rangka pembentukan identitas.
Mengapa saya di sekolah ini, misalnya di Madrasah Ibtidaiyah, mengapa saya berada di Sekolah Dasar, mengapa saya berada di sekolah katolik, itu penting,” katanya.

Hambatan dalam pembentukan identitas di sekolah terjadi jika guru-guru di sekolah berlaku otoriter serta kurikulum sentralistik yang lebih memunculkan identitas tertentu secara dominan. Salah satu cara mengembangkan identitas melaui kesenian lokal. Bisa melalui seni rupa, seni sastra, seni pertunjukan, misalnya di sekola-sekolah yang ada di daerah seperti di Banten, maka yang diajarkan adalah kesenian Banten.

Saat ini anak-anak banyak yang lebih menggemari kesenian luar, seperti K-POP yang berasal dari Korea. Melalui konsep identitas dengan mengembangkan kebudayaan lokal, kita tidak perlu takut lagi ketika anak-anak menggemari kebudayaan luar, karena identitas daerah dalam memperkuat identitas ke-Indonesiaan sudah terbangun salah satunya melalui sekolah.

“Saatnya, kita mengenalkan kesenian daerah dalam pembentukan orang Banten yang Indonesia. Pembentukan identitas Indonesia melalui kebudayaan, musik, sastra dan drama lokal,” katanya.

Jimmy Paat menyatakan, karena tidak pernah membahas identitas sehingga dengan mudah murid ditarik oleh identitas tertentu, seperti identitas agama.

“Harus kita cium identitasnya. Guru harus dapat mencium identitas murid yang tidak terekam dalam catatan sekolah, bukan untuk dihilangkan atau diperkeras, namun ditambah oleh guru dengan identitas ke-Indonesiaan. Salah satunya melalui dengan Bahasa Indonesia, itu identitas yang dapat dengan mudah dilihat. Identitas itu beragam wajah jadi harus terus didiskusikan,” katanya. (Ink/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini