Beranda Pendidikan Memeriksa Ulang Keyakinan Mengajar

Memeriksa Ulang Keyakinan Mengajar

Ilustrasi - Media Indonesia

 

SERANG – Pelajaran apa yang membuat anak sekolah dasar di Banten susah payah mempelajarinya? Jawabannya; bisa Matematika, IPA, Bahasa Inggris, tapi bagi Pharamita, salah seorang pelajar sekolah dasar di Pandeglang-Banten, yang membuatnya kepayahan adalah belajar Bahasa Sunda.

Ketidakmengertian Pharamita dengan pelajaran Bahasa Sunda yang dipelajari di sekolah, diantaranya dipengaruhi materi yang diajarkan di ruang kelas, seringkali tidak sesuai dengan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, jadi ada yang berbeda walaupun sama-sama Bahasa Sunda.

Guru di sekolah Pharamitha mengajarkan, Bahasa Sunda berdasarkan buku pelajaran yang diterbitkan dari Jawa Barat. Pharamita merasa lebih gampang mempelajari Bahasa Inggris, karena dengan bantuan internet dia bisa banyak menemukan sumber belajar.

Pelajar kelas lima itu tentu tidak sendiri.
Persoalan yang diungkapkan oleh orang tua Pharamita, yang menjadi peserta diskusi ini menjadi pembicaraan yang menarik dalam rangkaian diskusi buku Critical Pedagogy For Early Chilhood and Elementry Educators bagian Praxis and Critical Pedagogy karya Lois McFayden Christensen dan Jerry Aldridge, yang digelar Koalisi Guru Banten (KGB) melalui daring, kemarin malam.

Lody Paat pembahas diskusi mengatakan, materi yang diajarkan di sekolah tidak terlepas dengan konteks kekuasaan, dan seringnya guru tidak banyak merenungkan kembali apa yang mereka ajarkan, karena menganggap apa yang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran.

Menurut Lody, Maxine Granee sudah menjelaskan bahwa salah satu tujuan belajar di sekolah untuk lebih memahami lingkungan tempat tumbuh kembang anak.
“Mestinya para guru memeriksa kembali apa yang diajarkan. Dalam konteks Banten, dalam pelajaran bahasa lokal, kita bisa berpendapat mestinya yang lebih baik yang dipelajari Bahasa Sunda orang-orang banten,” katanya.

Lebih lanjut Lody mengatakan, latar belakang anak baik; etnis, kultur dan agama atau keyakinan harus disambut sekolah untuk tujuan pembelajaran dan mengembangkan pengetahuan. Para guru harus memeriksa kembali yang mereka ajarkan, karena apa yang dianggap biasa seringkali mempunyai kepentingan tertentu terutama kepentingan kelompok dominan.
“Praksis adalah teori ditambah praktek atau sebaliknya, praktek harus terus diperiksa kembali oleh teori, dan teori harus dipraktekan,” kata Lody.

Sementara Jimmy Paat, pendedah lainnya mengatakan, para guru melakukan kebodohan besar jika mengajar hanya berdasarkan praktek tanpa memeriksa kembali teori yang melatarbelakangi apa yang mereka lakukan. Ki Hadjar Dewantara menuliskan bahwa mengajari anak dengan naluri dan insting saja tidak cukup. Para guru harus mempelajari ilmu pendidikan atau pedagogik.
“Ketika anak kesulitan memahami pelajaran seringkali guru mengatakan karena anak malas dan tidak mau belajar, kenapa anak tidak mau belajar, bagaimana mengajarkan materi yang relevan dengan kehidupan anak, tidak diperiksa kembali, tidak diuji kembali dengan teori-teori,” katanya.

Sementara itu Deny Surya Permana pemantik diskusi membeberkan beberapa teori tentang praksis, salah satunya dari Kincheloe. Kata praksis berasal dari bahasa Yunani kuno. Memberlakukan teori dan keterampilan, atau praktik, ke dalam refleksi. Praksis yang diterapkan dalam pendidikan dasar, maka hasil belajar mengajar yang transformasional.
“Guru sekolah dasar yang mempraktikan pedagogi kritis harus mengetahui siswa mereka, memfasilitasi mereka bagaimana melihat dunia dari sudut pandang mereka,” kata guru di Pandeglang tersebut.

Dalam buku itu juga diceritakan bagaimana para guru tidak hanya mengenal siswanya, mereka juga mengenal keluarganya. Mereka berusaha untuk lebih memahami tentang  asal  setiap siswa. Misalnya, seorang pedagog kritis akan mengundang seorang ibu yang berasal dari lingkungan Meksiko Amerika, untuk membuat tortilla untuk pelajaran matematika yang mengintegrasikan beberapa pecahan dan padanan saat anak-anak mengukur bahan untuk menyamakan keseluruhan. Dengan menggunakan pengetahuan budaya dalam komunitas pelajar lokal, pengetahuan dirayakan dan dibangun secara komunal dan relevan.
“Memfasilitasi mereka bagaimana melihat dunia dari sudut pandang mereka, belajar dengan latar belakang keseharian mereka misalnya bisa saja guru matematika di Banten, membawa martabak untuk belajar lingkaran,” kata Deny.

Selain datang berkunjung untuk mengenal keluarga peserta didik, mencatat masalah dan bahan untuk dipelajari yang ada di luar sekolah, dan manfaatkan teknologi untuk mencari bahan bacaan dan topik penelitian menjadi cara untuk mempelajari praksis. “Teknologi adalah cara bagi anak-anak untuk meneliti topik, sekaligus untuk merepresentasikan pembelajaran untuk menilai sejauh mana anak memahami materi pelajaran,” kata Deny. (Ink/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini