Beranda Opini Melestarikan Bahasa Jawa Banten lewat Puisi

Melestarikan Bahasa Jawa Banten lewat Puisi

Ilustrasi - foto istimewa merdeka.com
Follow WhatsApp Channel BantenNews.co.id untuk Berita Terkini

 

Membicarakan puisi seperti membicarakan seorang kekasih, tak pernah ada ujungnya; yang satu selalu menghadirkan makna baru, satu lainnya selalu memberikan kenikmatan yang baru. Kedua hal itu perlu dimiliki seorang kekasih dan ketika hendak menghadirkan puisi. Agar selalu ada rasa penasaran yang terus timbul yang membuat hubungan baik terus terawat. Hal demikian diamini oleh Linda Christanty, seorang jurnalis dan sastrawan, ia menulis, “semakin banyak yang kuketahui tentang dirinya, semakin ia tak menarik lagi. Hubungan kita bisa panjang, karena aku tak tahu seluruhnya tentang dirimu”.

Dewasa ini, orang-orang semakin keranjingan puisi. Bisa kita temui di media-media sosial yang begitu menjamur. Netizen gemar mengutip puisi seorang penyair untuk merayu kekasihnya atau membuat orang-orang di sekelilingnya kagum. Apalagi setelah ada banyak film-film remaja yang tokohnya jago membuat kalimat-kalimat puitis macam di film Ada Apa Dengan Cinta atau yang terbaru Dilan 1990. Puisi telah dijadikan sebuah tren tersendiri di mata awam. Bahkan ditransformasikan ke media lain semacam video lirik yang tengah booming di jagat per-youtube-an. Sifatnya yang personal dan menggugat, kini fungsinya bisa bernilai hiburan dan sekadar untuk seru-seruan. Demi meraup ciye-ciye dari para pembaca dan menambah jumlah pengikutnya (followers) di Instagram, Twitter maupun media lainnya.

Namun demikian, tidak berarti orang yang semula tekun mendalami puisi-serius memilih mengikuti tren dan beralih menulis puisi-populer bertema cinta-cintaan. Meski arusnya kuat, tetapi ia tetap kokoh dengan kekonsistensiannya di jagat perpuisian. Orang yang mau bersusah payah itu bernama Muhammad Rois Rinaldi, penyair muda kelahiran Kramatwatu, Serang yang lebih banyak bergiat di Komunitas GAKSA, Kota Cilegon.

Buku tunggal pertamanya berjudul, Terlepas (Pustaka Jaya, 2015) berhasil mencatatkan namanya sebagai penyair Banten yang fokus mengangkat kegelisahan dan ketimpangan yang ada di Provinsi Banten, dengan perspektif dan sudut pandang seorang penyair. Ia detil dan berhasil menuliskan sesuatu yang orang anggap sepele menjadi sesuatu yang perlu kita renungkan dan perbaiki bersama. Bukunya itu juga meraih penghargaan dari E-Sastera Malaysia sebagai buku terbaik 2005-2015 posisi kedua. Tak cukup sampai di sana, penghargaan demi penghargaan berhasil ia sabet, sekadar menyebutkan beberapa di antaranya yakni: Anugerah Penyair Siber Asean 2016 (E-Sastera Malaysia), Tokoh Sasterawan Alam Siber 2015 (E-Sastera Malaysia), Anugerah Utama Penyair Alam Siber 2015 (E-Sastera Malaysia), Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera Malaysia, Maret 2014) dan Anugerah Penyair dan Tokoh E-Sastera Indonesia 2013.

Baca Juga :  Pemain Film YUNI Ajak Pedagang dan Penonton di India Bicara Jaseng

Tahun ini, rupanya ia juga tak mau lekas berpuas diri. Ia kembali dengan membawa sesuatu hal yang baru, tentu saja puisi. Yang membedakan dengan puisi-puisi sebelumnya adalah pada bahasa yang ia gunakan. Sebagai lelaki yang lahir dan besar di tanah Banten, ternyata ia tidak mau melupakan itu. Cara ia berterima kasih, salah satunya dengan menuliskan puisi berbahasa Jawa Banten. Buku itu ia beri judul Beluk (Gaksa Enterprise, 2018).
Dalam satu kesempatan, sewaktu ia ditanya kenapa menulis puisi Bahasa Jawa Banten, ia mengatakan karena belum ada sastrawan Banten modern yang menuliskannya, “Saya harus menulisnya sebagai pembuka,” katanya melalui pesan WhatsApp. “Saya juga mewarisi Bahasa Jawa Banten dari lahir, baik yang bahasa surah kitab, bahasa bebasan atau bahasa harian. Maka saya merasa perlu mentransformasikan itu kepada generasi selanjutnya apalagi generasi Banten hari ini.”
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya tentang penggunaan Bahasa Jawa Banten yang jarang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Banten. Mungkin kurang dari 30 persen pengguna Bahasa Jawa Banten saat ini. “Bisa jadi, sepuluh tahun mendatang, atau satu generasi mendatang mungkin tinggal 5 persen pengguna Bahasa Jawa Banten”, katanya serius.
Menulis Bahasa Jawa Banten tentu memiliki kesulitannya tersendiri. Rois mengakui, kesulitannya adalah ketika mentransformasi kebiasaan menggunakan Bahasa Indonesia ke bahasa daerah. Karena struktur bahasa berbeda, idiom juga berbeda, pola mindset juga berbeda. Untuk merampungkan buku puisi Beluk ini sendiri, ia membutuhkan empat tahun untuk sedikit beradaptasi dengan pola-pola Bahasa Indonesia agar tidak terjebak di sana dan menemukan pola Bahasa Jawa Banten.

Ali Faisal, SH., MH., ME, Anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Banten periode 2017-2022, yang juga menulis pengantar dalam buku ini mengakui kesulitan itu. Dalam pengantarnya yang berbahasa jawa ia menulis, “Tembenan niki kulē ngēwacē puisi sing ditulis ngēngge bahasē Jawē Banten. Lagi damēl puisine saos angel, napik malih puisi ingdalēm bahase Jawē Banten. Kakē Rois sampun ngēbaktekakēn sēkalihe.”—baru kali ini, saya membaca puisi yang ditulis dalam Bahasa Jawa Banten. Menulis puisinya saja sudah susah, apalagi menulis puisi dalam bahasa Jawa Banten. Rois sudah membuktikan keduanya.

Baca Juga :  Bijak dalam Bermedsos

Di Indonesia sendiri, pada masa di bawah penjajahan Hindia Belanda, penerbit Balai Pustaka cukup serius menerbitkan buku-buku berbahasa daerah. Tujuan didirikannya untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama, melingkupi bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu dan bahasa Madura.
Jauh setelah itu, yakni tahun ini, Dinas Kebudayaan (Disbud) di Sleman menerbitkan majalah berbahasa jawa yang diberi nama Memetri. Singkatan dari memasah endahing manah emut trapsilaning rasa ingwang. Maknanya mengasah keindahan hati untuk membentuk jati diri manusia menuju perilaku dan budi pekerti yang luhur. Tujuannya tak lain untuk melestarikan bahasa Jawa daerah Sleman.

Menurut catatan, surat kabar berbahasa Sunda pertama yang diterbitkan di Bandung adalah Sora-Merdika pimpinan Moh. Sanoesi. Tahun I No. 3 terbit pada tanggal 1 Mei 1920. Di zaman pendudukan Jepang semua surat kabar yang ada di Bandung dan Jawa Barat ditutup. Semuanya disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
Setelah proklamasi kemerdekaan, di masa “Negara Pasoendan” diterbitkan Harian Persatoean yang terakhir dikelola Djawatan Penerangan pada waktu itu. Selanjutnya pada tahun 1950-an terbit “Harian Pikiran Rakjat” yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk, menayangkan berita dalam bahasa sunda. Tahun 2016 di Bandung terbit Majalah Simpay Pasundan, majalah yang khusus berbahasa sunda dan terbit perbulan.

Di Provinsi Banten sendiri, ada majalah Kandaga yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Banten. Ada satu kolom khusus yang menayangkan puisi berbahasa daerah; Jawa dan Sunda Banten. Rois, sewaktu ditanya adakah penulis lain yang menekuni bahasa daerah ia malah menanyakan balik, daerah mana yang dimaksud? Untuk beberapa daerah seperti Banyumas dan Jawa Timuran, cukup banyak penulis atau penyair yang concern menulis puisi bahasa daerah dan menerbitkannya. Sedangkan, menurut Rois sendiri, jika di Banten, belum ada penyair yang menulis puisi bahasa Jawa Banten dalam pengertian serius. Kalau yang sekadar menuliskannya ketika diminta memang ada, tetapi yang konsisten menulis belum tertangkap dalam radarnya. Meski begitu, untuk sekarang ada indikasi dua penyair yang sedang menggarap buku bahasa Jawa Banten; Encep Abdullah dari Pontang dan K.H. Mukti Jayaraksa asal Kota Cilegon.
Pertanyaannya kemudian, Bisakah menulis puisi dalam Bahasa Jawa Banten ini dijadikan sebuah tren semisal apa yang sudah disebutkan di pembuka tulisan ini?

Baca Juga :  Anatomi Pembangunan Cilegon

Ketika mendapati pertanyaan seberapa perlu penulis muda Banten menulis karyanya dalam bahasa daerah, Rois menanggapinya dengan sebuah pertanyaan lagi, “Saya, sih, tidak merasa mereka harus, tapi saya tanya lagi, merasa perlu tidak? Sebagai pegiat literasi, pegiat bahasa dan pegiat kesusastraan, kalau melihat dari perspektif kebudayaan dan warisan kultural, kira-kira merasa perlu atau tidak? Kalau secara pribadi dari saya, saya tidak perlu mengatakan perlu,” tandasnya.

Pada akhirnya, menjadi tren atau tidak, kembali lagi pada proses penempaan setelah karya itu terbit dan sampai ke tangan masyarakat pembaca. Akan ada semacam penilaian dan seleksi alam di sana, tugas penulis sebenarnya telah selesai ketika karyanya sudah menjadi milik khalayak. Tinggal ia seberapa konsisten dalam membangun keseriusannya menulis puisi-puisi berbahasa daerah. Akankah ini sebagai proyek coba-coba belaka atau memang benar-benar hasil dari perenungan dan dedikasinya sebagai sumbangsih untuk tanah kelahiran?
Cilegon, 24 Oktober 2018

Penulis:
*) Ade Ubaidil, pengarang asal Kota Cilegon

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News