Beranda Nasional Masyarakat Pesisir Banten Tolak Keras Kebijakan Reklamasi Jakarta

Masyarakat Pesisir Banten Tolak Keras Kebijakan Reklamasi Jakarta

Ist.

SERANG – Masyarakat pesisir Banten utara, khususnya di Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten kian resah dengan proyek reklamasi teluk Jakarta. Musababnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018.

Pergub tersebut mengatur tentang pembentukan organisasi dan tata kerja badan koordinasi pengelolaan reklamasi pantai utara Jakarta. Melalui Pergub tersebut, masyarakat Desa Lontar menilai kelanjutan proyek yang sempat merugikan nelayan Lontar akibat rusaknya ekosistem laut akan kembali terulang.

“Lagi dan lagi pemerintah bikin ulah menerbitkan izin penambangan pasir laut untuk direklmasi di teluk Jakarta demi terbentuknya pulau buatan. Sungguh ironis pemerintah pusat yang tadinya koar-koar menghentikan reklamasi sekarng menandatangani bahkan menerbitkan izinnya,” kata Najib, warga Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Senin (5/8/2019).

Reklamasi teluk Jakarta yang menyedot pasir dari perairan Lontar dan sekitarnya, menurutnya merupakan bentuk tindakan perusakan alam yang merugikan nelayan. Kerugian tampak pada air laut keruh, rumah ikan rusak dan nelayan tak dapat tangkapan.

“Pak Anies Baswedan yang terhormat ada apa denganmu, dengan tanganmu tak sadarkah bahwa kami akan memusnahkan peradaban wilayah kami, demi terciptannya pulau palsu itu,” kata dia.

Untuk itu, pihaknya mengutuk keras kelanjutan proyek reklamasi teluk Jakarta. “Jika itu terjadi maka hari ini seluruh warga Banten mengutuk keras segala perbuatanmu,” tandasnya.

Gejala alam yang semakin marak terjadi seperti tsunami dan gempa bumi di Banten menurutnya adalah peringatan bagi manusia supaya tidak semena-mena merusak alam.

“Apakah Pak Anies paham ketakutan masyarakat di pesisir. Dengan kebijakan itu saya rasa tidak,” jelasnya.

Selain ketakutan akibat proyek reklamasi teluk Jakarta, nelayan Banten juga khawatir akan kehilangan ruang hidup akibat adanya Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Mereka menilai, raperda tersebut hanya akan melegitimasi sejumlah proyek yang justru mengakibatkan eksploitasi di laut secara terus menerus.

Aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), April Perlindungan mengatakan, ruang hidup untuk masyarakat pesisir Banten saat ini masih minim. Jika ditambah dengan disahkannya Raperda RZWP3K, dia meyakini bahwa regulasi itu hanya membuat sejumlah investor memiliki dominasi dan legalitas untuk mengeksploitasi ruang laut di Banten.

“Contohnya yang sudah terjadi kepada para nelayan di pesisir Pantai Dadap, Lontar dan Pulau Tunda. Di Dadap itu reklamasinya masih berjalan, dan justru akan semakin mendapatkan legalitas jika Raperda ini disahkan,” kata April.

Selain di wilayah pesisir Kabupaten Serang, menurut April, efek Raperda RZWP3K juga merugikan sejumlah nelayah di Pantai Bayah, Kabupaten Lebak. Di sana, kata dia, warga yang setiap hari menggantungkan hidupnya dari tangkapan ikan, harus mengeluh lantaran aktivitasnya terganggu oleh perlintasan kapal-kapal besar.

“Kapal-kapal besar di sana banyak merusak jaring tangkap nelayan,” ujar perempuan muda yang sudah terbiasa melakukan advokasi terhadap masyarakat pesisir di sejumlah wilayah di Indonesia ini.

April menyatakan, meski pada Rabu (17/7/2019), Panitia Khusus (Pansus) Raperda RZWP3K DPRD Banten sudah mengundang beberapa perwakilan masyarakat dan aktivis lingkungan dalam rapat dengar pendapat, namun agenda tersebut dinilai belum bisa memberikan solusi untuk keberlangsungan warga yang bermukim di wilayah pesisir. Sebab menurutnya, pembahasan itu hanya lebih mementingkan investasi dibanding mengayomi warga di pesisir Banten.

“Karena sampai saat ini, buktinya memang hanya untuk kepentingan investasi saja. Lebih parahnya, peluang masyarakat dalam proses pembahasan raperda ini sangat tertutup. Kami tidak diberikan ruang lebih banyak. Padahal, ada ribuan warga Banten yang setiap harinya menggantungkan hidup di wilayah pesisir,” tuturnya.

Senada disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Tb. Soleh Ahmad. Dia menilai, pembahasan Raperda RZWP3K masih cacat lantaran tidak menyantumkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Padahal menurutnya, kajian tersebut menjadi bagian penting untuk melihat kondisi lingkungan hidup di daerah pesisir Provinsi Banten.

“Harus ada KLHS-nya dulu, dari situ baru bisa menentukan zonasi. Contohnya begini, gimana pemerintah mau nentuin analisis peta rawan bencana kalau kajiannya juga enggak ada. Padahal kan banyak aktivitas industri besar di sekitar pesisir. Kalau itu enggak ada, seharusnya tidak bisa langsung dibagi-bagi zonasinya,” kata dia.

Sementara, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten Mad Haer menyinggung nasib warga Pulau Sangiang, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang yang terancam akan kehilangan mata pencahariannya sebagai nelayan jika raperda tersebut disahkan. Penyebabnya, karena dalam Raperda RZWP3K Pulau Sangiang akan ditetapkan sebagai zonasi wisata Taman Wisata Alam (TWA).

“Secara langsung, masyarakat Pulau Sangiang nanti akan kehilangan hak pengelolaan hasil bumi baik di darat maupun di laut. Belum lagi, permasalahan Pulau Sangiang juga belum diselesaikan sama pemerintah sampai saat ini, baik itu permasalah kriminalisasi dan kesejahteraan masyarakat di sana,” katanya.

Pria yang akrab disapa Aeng ini mendesak Pemprov Banten hingga pemerintah pusat agar membatalkan pembahasan Raperda RZWP3K tersebut. Selain banyak kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir, raperda itu juga hanya akan melegitimasi investor untuk mengeksploitasi ruang laut di Provinsi Banten.

“Kami mendesak agar pembasan raperdanya dihentikan saja. Regulasi itu nantinya hanya akan menambah beban masyarakat Banten,” katanya.

Diketahui, dalam pembahasan Raperda RZWP3K, Pemprov Banten berencana kembali melakukan pengerukan pasir laut untuk kebutuhan lanjutan reklamasi Teluk Jakarta. Sebanyak 125 juta meter kubik pasir laut di Banten, diperkirakan akan diangkut demi memenuhi proyek reklamasi yang menyisakan lahan seluas 2.500 hektare.

Ratusan juta meter kubik pasir laut di Banten yang akan dikeruk untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta itu rinciannya akan diambil dari dari 3 wilayah di Kabupaten Serang. Di antaranya perairan Lontar, Kecamatan Tirtayasa, perairan Kecamatan Pontang, perairan Kecamantan Pulo Ampel dan perairan di Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon.

Selain untuk kebutuhan reklamasi, pasir laut di Banten juga akan dikeruk untuk sejumlah investasi lain. Rinciannya, sebanyak 37,5 juta meter kubik pasir laut untuk reklamasi di wilayah industri Kecamatan Bojonegara dan Pulomerak seluas 750 hektare, serta 100 juta meter kubik pasir laut untuk kebutuhan perluasan Bandara Angkasa Pura II seluas 2.000 hektare.

Ketua Pansus Rapeda RZWP3K tahun 2018-2038, Toni Fathoni Mukson mengatakan, pihaknya masih memerlukan waktu untuk membahas lebih lanjut masukan-masukan terkait rancangan tersebut. Rencananya, pekan ini pansus akan membahasnya dengan Bappeda sebelum berkonsultasi ke kementerian.

“Kita akan rapatkan lagi, karena ini kan ada masukan-masukan. Apa saja kekurangannya, kita akan bahas itu supaya segera mengambil keputusan,” katanya. (You/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini