
CILEGON – Fenomena “Pak Ogah”, sebutan bagi orang-orang yang secara informal membantu mengatur lalu lintas di persimpangan jalan dengan imbalan uang receh, semakin marak di Kota Cilegon. Keberadaan mereka memicu perdebatan di tengah masyarakat: di satu sisi membantu mengurai kemacetan, namun di sisi lain memunculkan masalah sosial dan keamanan lalu lintas.
Di berbagai titik persimpangan strategis seperti Simpang PCI, Jalur Lingkar Selatan (JLS) dan di pusat Jalan Protokol Kota Cilegon para Pak Ogah hampir selalu hadir. Berbakal peluit di tangan, rompi dan gerak tubuh yang aktif, mereka mencoba mengatur arus kendaraan di tiap persimpangan jalan, saat lampu lalu lintas tak berfungsi atau saat jam sibuk.
Sebagian besar Pak Ogah merupakan warga sekitar yang mengaku terdesak kebutuhan ekonomi. Mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan menjadikan kegiatan “mengatur lalu lintas” sebagai sumber pemasukan harian.
“Tiap hari bisa dapat Rp30.000 – Rp50.000, lumayan buat makan,” kata salah seorang Pak Ogah di salah satu persimpangan Kota Cilegon yang enggan disebutkan namanya.
Fenomena ini menunjukkan adanya celah dalam sistem sosial dan ekonomi perkotaan, khususnya dalam hal penyediaan lapangan kerja dan perlindungan sosial.
Di sisi lain warga sebagai pengguna jalan juga cukup terbantu dengan adanya para Pak Ogah, terutama saat kondisi lalu lintas tengah padat, meski terkadang justru menimbulkan kemacetan akibat keberadaan Pak Ogah.
“Kalau tidak ada mereka, bisa lebih macet. Tapi kadang mereka juga bikin bingung pengendara,” ujar Dedi (35), seorang pengendara yang kerap melintas di Simpang PCI.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa Pak Ogah bukan petugas resmi. Keberadaan mereka kerap kali tanpa koordinasi dengan Dinas Perhubungan maupun pihak kepolisian. Ini menimbulkan kekhawatiran soal keselamatan lalu lintas dan legitimasi mereka di jalan.
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Cilegon (IMC), Ahmad Maki mendorong agar pemerintah juga membuka ruang dialog dengan komunitas Pak Ogah, bukan hanya melakukan penertiban semata.
“Fenomena Pak Ogah di Cilegon bukan sekadar soal lalu lintas, tapi cerminan persoalan sosial yang lebih dalam. Penanganannya perlu pendekatan komprehensif yang melibatkan instansi pemerintah, kepolisian, komunitas lokal, dan lembaga sosial,” ujarnya.
Selama belum ada solusi struktural, jalanan Kota Cilegon tampaknya masih akan dihiasi oleh sosok Pak Ogah yang berdiri di tengah persimpangan, menunggu recehan sambil bersahabat dengan risiko.
“Profesi Pak Ogah bisa jadi pelampiasan warga karena saat ini mencari pekerjaan susah. Mungkin bagi mereka, daripada nganggur lebih baik jadi Pak Ogah sebagai mata pencaharian untuk mendapatkan uang demi kebutuhan sehari-hari,” kata Maki.
Sementara itu Kasat Lantas Polres Cilegon, AKP Mulya Sugiharto menyatakan bahwa kehadiran Pak Ogah, yaitu sukarelawan yang membantu mengatur lalu lintas. Di sisi lain bisa membantu memperlancar arus kendaraan dan sisi lainnya juga dapat mengurangi risiko kecelakaan, terutama di persimpangan jalan.
“Namun, di sisi lainnya keberadaan mereka juga bisa menyebabkan kemacetan dan gangguan jika tidak berkoordinasi dengan baik atau bertindak sembarangan. Sementara sejauh ini belum adanya aduan dari masyarakat dengan keberadaannya Pak Ogah yang berada di Kota Cilegon untuk membantu kelancaran masyarakat di jalan raya,” ujarnya.
Pihak Kepolisian juga mengimbau kepada para Pak Ogah agar tidak meminta imbalan secara paksa kepada pengendara dan mengganggu pengguna jalan raya.
“Sehingga kami dari pihak kepolisian khususnya jajaran Satlantas Polres Cilegon memberikan imbauan aktif kepada jajaran Pak Ogah agar tidak adanya meminta secara paksa atau mengganggu pengguna jalan raya lainnya,” katanya.
Apabila ada masyarakat yang merasakan keresahan adanya pemaksaan yang mengarah kepada aksi premanisme, masyarakat disarankan langsung menghubungi pihak kepolisian.
“Masyarakat dapat menghubungi 110 layanan hotline Polres Cilegon dan Petugas kami akan langsung dengan cepat untuk mengamankan laporan tersebut,” tegas Kasat.
Penulis: Usman Temposo
Editor: Tim Redaksi