Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan
Tanggal 9 Juli 1888, merupakan kronik perjuangan rakyat Cilegon melawan penjajah, Pusat pemerintahan diserbu dari berbagai penjuru, sasarannya rumah pejabat Cilegon baik yang Belanda maupun yang bukan Belanda (pejabat pribumi).
Serangan awal dilaksanakan waktu sepertiga malam menjelang subuh, sasarannya pertama adalah rumah yang tidak jauh dari rumah H.Ishak —markas pemberontakan–, yaitu tempat tinggal F. Dumas juru tulis Asisten Residen, penyerbuan dipimpin H.Tubagus Ismail. Dumas berhasil lolos, tapi akhirnya diburu dan dibunuh pagi harinya oleh H.Tubagus Ismail dan Kamidin.
Berabarengan dengan itu satu pasukan juga menyerang Kepatihan untuk membunuh Patih, namun Raden Pena, Patih yang sangat dibenci rakyat tidak ada di tempat.
Pagi hari semua pasukan berkumpul di markas pemberontakan, yaitu Gardu Jombang Wetan, oleh Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan H.Ishak, dibentuk beberapa pasukan yang diberi tugas masing-masing untuk menyerbu Kepatihan, Rumah Asisten Residen, Penjara dan rumah pejabat lain yang dianggap sebagai antek-antek penjajah.
Untuk kronologi dan bagaimana terjadinya penyerangan, secara umum, tidak saya utarakan di sini, yang pasti saat itu Cilegon menjadi ajang pembantaian para pejabat yang dianggap sudah menyengsarakan rakyat. Darah bercucuran, mayat bergelimpangan. Para pejabat ada yang dibunuh di tempat, ada yang melarikin diri kemudian tertangkap lantas dibunuh dan banyak juga yang hanya terluka akibat serangan para pejuang yang meneriakkan perang sabil. Intinya, hari itu Cilegon menjadi ajang pertumpahan darah khususnya dari para pejabat kolonial yang di ada di Cilegon.
Penyerangan bukan hanya di pusat pemerintahan saja (Cilegon), tapi terjadi di beberapa wilayah seperti Bojonegara, Grogol, Mancak, Bagendung, dan Krapyak. Sasarannya adalah asisten wedana, Asisten Wedana Grogol dan Mancak terbunuh, sementara asisten wedana Bojonegara, Bagendung dan Krapyak berhasil melarikan diri.
Perlu dicatat di sini bahwa pimpinan pemberontakan selain Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan H.Iskak, ada pula kiai-kiai yang secara khusus diberi tugas oleh Ki Wasid sebagai pimpinan kelompok untuk memimpin penyerbuan dan memburu para pejabat yang melarikan diri seperti Lurah Jasim, H.Mahmud (Terate Udik), H.Abdulgani (Beji) H.Usman (Arjawinangun), H.Usman (Tunggak), Lurah Kasar, H.Masna, H.Kamad (Pecek) Sarip (Kubang Kepuh), H. Hamim (Temuputih).
Ada juga yang ditugaskan untuk mempertahankan Cilegon saat pasukan menuju Serang untuk menyerbu Pusat Pemerintahan Banten, di antaranya Agus Suradikaria, H.Kasiman, H.Madani, H.Koja (Jombang Wetan), H.Akhiya termasuk H.Mahmud (Terate Udik).
Menurut laporan Direktur Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda seperti dikutip Sartono Kartodirjo, ada 17 orang yang dibunuh saat penyerbuan pusat pemerintahan di Cilegon, yaitu JHH Gubbels (Asisten Residen), Anna Elizabeth Gublles (istri Gubbels), Dora Gubbels, Elly Gubbels (anak Gubbels), Henry F Dumas (Juru Tulis Asisten Residen), U Bachet (Kepala Penjualan Garam), J Grondhout (Kepala Pemboran), Cicile Wijermans (istri Grondhout), Raden Cakradiningrat (Wedana Cilegon), Mas Sastradiwiria (Jaksa), Raden Purwadiningrat, Mas Kramadimeja, Sadiman, Jasim, Jamil, Mas Jaya Atmaja, Mas Asidin. Sedangkan Raden Pena, patih yang paling dibenci rakyat lolos dari penyerbuan karena tidak ada di Cilegon.
Dari sekian korban yang terbunuh (dibunuh) para pejuang dalam penyerangan di atas, yang menarik adalah terbunuhnya Anna Elizabeth Gubbles (Istri assisten residen Gubbels). Anna Elizabeth awalnya dibiarkan lolos melarikan diri dari penyerangan para pejuang yang heroik. Karena merasa terancam dengan situasi yang mencekam, akhirnya lari menyusuri jalan hingga ke Seneja.
Keberadaan Anna Elisabeth di Seneja ini tentu saja ibarat masuk kandang macan lantaran di sana masih banyak pejuang berkumpul. Mulanya ia minta tolong kepada seorang perempuan untuk dicarikan andong, maksudnya untuk melarikan diri ke arah Serang. Anna Elisabeth tidak sadar siapa yang di hadapannya, ternyata perempuan ini adalah Nyai Kamsidah. Nyai Kamsidah bukannya menolong mencarikan andong, malah menyerang istri Asisten Residen ini. Terjadilah perkelahian antara Nyai Kamsidah dan Elisabeth. Nyai Kamsidah kemudian mendapat bantuan dari pejuang yang ada di situ, kemudian menyemprotkan sejenis cairan ke mata Anna Elisabeth. Elisabeth terbunuh, mayatnya kemudian ditemukan di sekitar jalan menuju Serang.
Setelah Cilegon diduduki para pejuang dan para pejabat penting sudah dibunuh, sasaran berikutnya adalah pusat pemerintahan Keresidenan Banten di Serang. Keberangkatan para pejuang menuju Serang terdiri beberapa gelombang, ini atas perintah Ki Wasid. Pasukan di bawah pimpinan Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail berangkat terakhir sore hari menjelang malam setelah ada kepastian Asisten Residen Gubbels berhasil dibunuh. Sementara pasukan yang berangkat awal, masih menunggu kedatangan pasukan Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail di sekitaran Serdang-Krapyak. Setelah pasukan Ki Wasid bergabung, dengan penuh keyakinan lantas bergerak menuju Serang.
Berbarengan dengan itu, tanpa disadari oleh Ki Wasid dan pasukannya, Bupati Serang didampingi dengan pasukan tentara kolonial pimpinan Letnan Van der Star, justru bergerak menuju Cilegon setelah ada laporan Cilegon diduduki para pejuang dan para pejabatnya mati terbunuh.
Bentrok antara dua kekuatan tidak dapat dihindari, hal ini terjadi di sekitar Toyomerto pada tanggal 10 Juli 1888. Kekuatan militer bersenjata senapan lengkap berhadapan dengan kekuatan rakyat yang dibekali dengan senjata golok, klewang dan bambu runcing dengan tekad perang sabil.
Ketika kedua pasukan saling berhadapan, Bupati Serang dan kontrolir lantas turun dari dokar. Bupati minta agar Ki Wasid dan pasukannya mengurungkan niatnya untuk menyerbu Serang, namun sia-sia lantaran permintaan Bupati itu ditolak dan dibalas dengan teriakan “Sabil Allah”.
Situasi mencekam karena dua kekuatan berhadap hadapan langsung, Kolonel Van der Star mengambil alih komando, minta supaya pasukan pejuang yang berkekuatan sekitar 200 orang membubarkan diri dengan ancaman akan ditembak jika tidak menyerah, namun para pejuang tak mau menyerah, terjadilah pertempuran sengit. Serentetan tembakan dari tentara kolonial diarahkan ke pasukan Ki Wasid, darah bercucuran dan korban bergelimpangan di pihak pasukan Ki Wasid, sebagian syahid sebagian terluka parah.
Jelas pertempuran ini sangat tidak seimbang, bahkan tidak diduga sebelumnya oleh para pejuang Cilegon.
Melihat kekuatan yang tak imbang dari segi persenjataan, ditambah lagi banyaknya anggota pasukan yang bergelimpangan, pasukan Ki Wasid kemudian mundur. Andai saja pertempuran ini berkesudahan lain, misalkan pasukan Ki Wasid mengalami kemenangan, maka tidak menutup kemungkinan Serang akan menjadi ajang pergulatan antara pejuang dan pihak kolonial.
Dengan mundurnya pasukan Ki Wasid di Toyomerto, sangat berpengaruh terhadap rencana penyerbuan ke Serang mengingat pasukan yang dibentuk atas perintah Ki Wasid untuk wilayah afdeling Serang dan sekitarnya sedang menunggu perintah dan kedatangan Ki Wasid.
Pasukan tersebut yaitu dari Bendung dipimpin H.Moch. Asik, Terumbu dipimpin H.Hanafiah dan H.Muhyidin, Kubang dipimpin H.Khatab, ketiga pasukan ini langsung di bawah pengawasan H.Sangadeli (H.Sadeli—pen). Demikian juga di Kaloran dibentuk pula pasukan dipimpin Raim dan Kaganteran dipimpin Abu Bakar.
Sejak tanggal 9 Juli 1888, sebagaimana perintah Ki Wasid, semua pasukan telah siaga penuh dan berkumpul di sekitar Masjid Agung Serang dan Kaloran. Rencananya memang Serang akan diserbu dari segala penjuru termasuk oleh pasukan Ki Wasid dari Cilegon. Namun hingga hari Senin tanggal 10 Juli itu, belum ada perintah dari Ki Wasid, bahkan Ki Wasid-pun belum juga muncul di Serang. Malam harinya baru terdengar kabar bahwa Ki Wasid dan pasukannya dihadang tentara kolonial di Toyomerto, sedangkan pasukannya banyak yang menjadi korban kemudian mundur.
Mendengar pasukan Ki Wasid dihadang oleh tentara kolonial dan mengalami kekalahan di Toyomerto, maka pasukan di Serang yang sudah disiapkan, dibubarkan dan kembali ke kampung masing-masing. Penyerbuan ke Serang gagal total.
Dengan kekalahan pasukan Ki Wasid, pasukan kolonial bermaksud meneruskan perjalanan ke Cilegon, namun pada saat tentara menghampiri para pejuang yang tergeletak terkena tembakan, tiba-tiba seorang dari mereka bangun dan mendadak menyerang barisan depan tentara dengan golok. Seorang kopral bernama Daams bergumul dengan penyerang. Tak lama setelah itu, pejuang tersebut diberondong dengan tembakan. Pejuang yang bernama Mesir dari Arjawinangun tewas seketika. (*)
Bersambung