Beranda Opini Kritik Capaian Pembangunan Kota Cilegon

Kritik Capaian Pembangunan Kota Cilegon

Moch. Nasir SH, Pegiat Literasi, Alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta. (Ist)

Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi, Alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Cilegon  mengadakan Dialog Capaian Pembangun. Kegiatan itu diadakan di delapan Kecamatan se Kota Cilegon dalam rangka sosialisasi tentang capaian pembangunan wabil khusus sosialisasi tentang realisasi 10 Janji Kampanye yang kemudian dijadikan sebagai program pembangunan Kota Cilegon.

10 program Janji Kampanye itu yakni : Pemberian Bantuan UMKM, Beasiswa Full Sarjana, Pemberian Honor RT/RW Rp1 juta perbulan, 50% Kenaikan Honor Guru Honorer dan Guru Madrasah dan 25% Kenaikan Tunjangan Kinerja ASN, 25.000 Lapangan Pekerjaan, Rp10 juta Dana Stimulan Operasional DKM, Rp100 juta untuk Pembangunan per RW, Pembangunan 43 Ruang Terbuka Publik (RTP) dan 8 Pembangunan Youth Center, Pembangunan Puskesmas dengan fasilitas memadai, Bantuan Kesehatan melalui BPJS. Empat di antaranya janji itu disebut program Kartu Cilegon Sejahtera (KCS) yakni Program Penyerapan Tenaga Kerja, Bantuan UMKM, Bantuan Pendidikan dan Bantuan Kesehatan sebagaimana terangkum dalam Peraturan Walikota Cilegon Nomor 11 tahun 2021 tentang Program KCS.

“Pada prinsipnya, sepuluh program itu sudah kami realisasikan dengan baik. Kalaupun ada yang belum, itu karena sisa masa jabatan kami yang mestinya sampai 2026, tapi hanya sampai 2024,”.

Begitulah narasi yang dibangun oleh Walikota Cilegon dalam setiap pelaksanaan Dialog Capaian Pembangunan itu. Dalam konteks pelaksanaan, sebetulnya bukan itu masalahnya. Tapi janji yang dituangkan dalam program pembangunan baik yang melalui program KCS atau bukan, disebutkan kuantitasnya atau dalam bahasa kampungnya, disebutkan berapa jumlah yang akan dibangun atau berapa banyak yang akan diberikan seperti Pembangunan Alun-alun Kelurahan 38, Pembangunan Youth Center 8, Penyerapan Tenaga Kerja 25.000 orang, Beasiswa Full Sarjana sebanyak 5.000 orang dan lainnya. Janji itu kemudian ditambah dengan pernyataan, jika tidak terealisasi dalam waktu 3 tahun, siap mengundurkan diri. Dengan narasi seperti itu, maka dapat diartikan bahwa untuk merealisasikan janji itu, tidak tergantung dengan masa jabatan, tetapi ditarget berdasarkan waktu yakni 3 tahun.

Laksana mendaki gunung, sasaran utamanya adalah puncak gunung. Untuk mencapai puncak, ditarget dalam waktu tiga jam. Yang jadi pertanyaan adalah apakah si pendaki tersebut sampai ke puncak gunung dalam waktu tiga jam?. Jangan-jangan baru dilaksanakan pendakian, mlipir-mlipir di area wisata, lantas dinyatakan sudah terealisasi pendakiannya. Padahal sesungguhnya, target utama sampai ke pucak gunung secara nyata tidak tercapai.

Terkait dengan capain pembangunan, sebetulnya secara politis sangat mudah untuk mendeteksinya lantaran semua aspek program pembangunan sudah terangkum dalam APBD. Dalam APBD itulah dimuat semua program pembangunan untuk tiap tahun anggaran termasuk di dalamnya program janji kampanye itu. Pelaksanaannya dipertanggungjawabkan kepada DPRD sebagai representasi rakyat melalui Peraturan Daerah.

Sedangkan apa yang disampaikan dalam kegiatan Dialog Capaian Pembangunan, sepertinya hanya ingin menjelaskan kepada masyarakat tentang capaian pembangunan Kota Cilegon sebagai bagian dari strategi mengambil hati rakyat agar jangan sampai termakan isu tentang gagalnya pelaksanaan 10 Janji Kampanye termasuk Program KCS yang saat ini berkembang dalam masyarakat.

Hal ini bisa kita lihat dari berbagai pemberitaan di media terkait dengan pelaksanaan Dialog Capain Pembangunan. Narasi yang dibangun selalu mengagung-agungkan tentang betapa suksesnya pembangunan Cilegon khususnya tentang pelaksanaan 10 Janji Kampanye itu. Sungguhpun demikian, masyarakat tentu punya pandangan terhadap apa yang telah disampaikan dalam setiap kegiatan Dialog Capaian Pembangunan maupun dalam berbagai kesempatan disandingkan dengan realitas di lapangan yang bisa dilihat dan dirasakan.

Seperti pembangunan 43 Alun-alun Kelurahan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sudah ada yang dibangun di beberapa kelurahan seperti di Cibeber, Sukmajaya dan Tegalbunder melalui APBD tahun 2022. Namun pelaksanaannya tidak selesai dalam satu tahun anggaran sehingga terpaksa dianggarkan kembali melalui APBD 2023. Adapun saat ini sedang dibangun RTP lain seperti di Kelurahan Masigit, Ciwedus, Bagendung, Ketileng yang pembangunannya ditolak warga. Sungguhpun demikian, jika dihitung berdasarkan jumlah yang dijanjikan, belum mencapai 50% dari jumlah 43 Kelurahan.

Pertanyaannya adalah, apakah hanya dengan membangun beberapa Alun-alun Kelurahan  bisa dikatakan tercapai janjinya?.  Ya tentu jawabannya adalah “tidak tercapai”. Jika pertanyaannya apakah sudah membangun Alun-alun Kelurahan?, maka jawaban adalah ‘’sudah”, tapi tidak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan.

Oleh karena itu, dengan melihat realitas di lapangan dan rentang waktu yang dijanjikan serta program yang ada dalam APBD, saya berani mengatakan bahwa pembangunan 43 Alun-alun Kelurahan, rasanya tidak mungkin akan tercapai dalam waktu 3 tahun. Mau mundur?, ya silakan.

Demikian halnya dengan Pembangunan 8 Youth Center. Istilah Youth Center ini terasa asing dan agak susah mengartikan pemaknaannya. Jika melihat kosa kata yang digunakan, Youth Center merujuk pada satu tempat, apakah gedung atau lapangan yang nanti berfungsi sebagai pusat kegiatan kaum muda Cilegon. Namun apapun makna dari istilah itu, yang pasti sudah dijanjikan untuk dibangun 8 Youth Center. Jika merujuk dari angka itu, bisa jadi ini dikaitkan dengan jumlah Kecamatan yang ada di Cilegon.

Alih-alih memenuhi janji, pada 6 Juni  2021 lalu Youth Center ini justru di-launching-kan di Taman Layak Anak dengan nama Youth Center Genre. Tentu saja launching ini sangat janggal, sebab yang diresmikan bukan tanda dimulainya pembangunan, tapi malah menjadikan Youth Center sebagai satu komunitas bergandengan dengan komunitas yang bernama Genre sehingga menjadi Youth Center Genre. Genre merupakan singkatan dari Generasi Berencana, program nasional yang dikembangkan BKKBN di berbagai daerah dan bernaung di OPD Pemerintah Daerah, di Cilegon di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB).

Lantas dimana saja letak pembangunan Youth Center itu?, jika sekadar berwujud RTP, dari dulu juga sudah ada di beberapa Kecamatan di antaranya di Kecamatan Cilegon, Purwakarta, Jombang. Ada kabar bahwa saat ini sedang dibangun di Kecamatan Cibeber dan melengkapi fasilitas di RTP Kecamatan Cilegon. Jadi kesimpulannya, Youth Center itu sama dengan RTP bin Alun-alun.

Tentu saja masyarakat masih menantikan dibangunnya RTP di Kecamatan yang belum memilikinya. Jika tidak dibangun pada tahun anggaran 2024 secara keseluruhan, maka  apapun alasannya, pembangunan 8 Youth Center tidak bisa dilaksanakan dalam jangka waktu 3 tahun, ingat lho akan janji pengunduran diri.

Janji yang lain adalah 25.000 penyerapan tenaga kerja. Janji ini bisa diartikan bahwa ada 25.000 warga Cilegon yang akan terserap sebagai tenaga kerja dalam waktu 3 tahun. Namun akhirnya masyarakat menjadi pesimis tentang janji ini lantaran secara regulatif penyerapan tenaga kerja dibelokkan dan diprogramkan sebagai Pelatihan Kerja dan Pemagangan (Perwal No 11 Tahun 2021). Tapi apapun bentuknya, mari kita kalkulasi jumlah 25.000 orang itu. Kalaupun dibelokkan menjadi pelatihan atau pemagangan, berarti jika dibagi 3 tahun sesuai janji, maka akan diperoleh angka atau jumlah 8.300 orang pertahun yang akan lulus Pelatihan Kerja dan Magang. Secara akal sehat sepertinya agak mustahil bisa tercapai, silakan tunjukkan ke publik, berapa orang saat ini (dari tahun 2021 hingga 2023) yang sudah lulus pelatihan atau magang atas upaya pemerintah. Andai saja sudah ada realisasi, yakin tak akan ribut soal Darurat Pengangguran seperti yang berkembang dalam masyarakat Cilegon. Kalaupun ada catatan mengenai rekrutmen tenaga kerja di beberapa perusahaan saat ini, perlu juga dipertanyakan apakah mereka itu hasil dari program 25.000 penyerapan tenaga kerja yang didengungkan Pemerintah Daerah. Toh mereka nyungsep-nyungsep sendiri dalam proses mencari lapangan kerja hingga diterima menjadi tenaga kerja. Bahkan hingga saat ini, banyak masyarakat yang protes atas penerimaan tenaga kerja di berbagai perusahaan yang dianggap tidak memihak pada tenaga kerja lokal.

Akhirnya, dapatlah diambil kesimpulan bahwa realisasi janji kampanye seperti yang saya paparkan di atas, secara nyata belum tercapai, bahkan ada kecenderungan tak mungkin akan tercapai dalam kurun waktu 3 tahun kepemimpinan Walikota saat ini. Jikapun kemudian ada pernyataan dari penyelenggara pemerintahan bahwa 10 Janji Kampanye sudah dilaksanakan dengan baik, tentu menjadi hal yang lumrah sebagai bagian dari upaya agar rakyat percaya soal kinerja pemerintahan atau sebagai bentuk klaim pembangunan yang sesungguhnya tak sesuai dengan fakta.

Terkait dengan pelaksanaan 10 Janji Kampanye lainnya, nanti bisa dilanjut  pada waktu yang  berbeda. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News