Beranda Peristiwa KPA Sebut Reforma Agraria di Banten Mandek

KPA Sebut Reforma Agraria di Banten Mandek

Anggota KPA saat unjukrasa beberapa waktu lalu. (Rasyid/bantennews)

KAB. SERANG – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Sartika, menyoroti konflik agraria yang membelit Pulau Sangiang, Kabupaten Serang.

Hal itu diungkapkan Dewi dalam pernyataan tertulis yang diterima BantenNews.co.id, Rabu (28/5/2025).

Dewi menilai, konflik yang telah berlangsung sejak era Orde Baru itu merupakan bukti kegagalan negara dalam menjalankan agenda reforma agraria.

“Konflik agraria di Pulau Sangiang bukan hal baru. Ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Masyarakat sudah tinggal di sana sejak 1950-an. Tapi justru tanah yang mereka tinggali malah diterbitkan Hak Guna Bangunan (HGB)-nya untuk perusahaan,” ujar Dewi.

HGB tersebut, menurut Dewi, diberikan kepada PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) di atas lahan yang telah lama dikuasai secara de facto oleh warga.

Ia menegaskan, penerbitan HGB itu merupakan bentuk pelanggaran hak atas tanah masyarakat adat dan lokal.

“Ini bukan kasus sengketa biasa. Ini adalah pelanggaran serius. Pemerintah dan perusahaan tidak bisa mengabaikan fakta bahwa warga sudah lebih dulu bermukim dan menggantungkan hidup dari tanah itu. Mereka bertani, melaut, beternak, dan membangun rumah di sana,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dewi mengkritisi status hukum HGB milik PT PKP yang diketahui telah habis masa berlakunya sejak Maret 2024. Ia menekankan, sesuai regulasi, permohonan perpanjangan HGB harus diajukan dua tahun sebelum berakhirnya izin.

“Kalau kita bicara tata hukum, mestinya permohonan perpanjangan itu sudah gugur. Maka, Kantor Pertanahan maupun Kementerian ATR/BPN tidak punya dasar lagi untuk memperpanjang HGB itu. Kalau tetap dipaksakan, maka prosesnya cacat hukum dan mencederai konstitusi,” ujarnya.

Dewi juga menyoroti bahwa proses penerbitan HGB sejak awal sarat masalah. Ia menyebut terjadinya tumpang tindih klaim, intimidasi terhadap warga, hingga kriminalisasi aktivis sebagai bukti ketimpangan struktural dalam penyelesaian konflik agraria tersebut.

Baca Juga :  Korban Terseret Ombak di Pantai Kembang Ranjang Lebak Ditemukan Dalam Keadaan Tewas

“Bukan masyarakat yang menyerobot. Justru, perusahaan lah yang masuk dan merebut lahan dengan legalitas yang dipertanyakan. Pemerintah juga terkesan membiarkan, bahkan melindungi proses ini,” kata Dewi.

Ia menegaskan, Pulau Sangiang semestinya menjadi objek prioritas dalam pelaksanaan reforma agraria nasional. Hal ini selaras dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang percepatan reforma agraria.

“Bukan perusahaan yang harus diprioritaskan, tapi masyarakat. Mereka yang selama ini menguasai dan memanfaatkan tanah dengan itikad baik harus diakui sebagai subjek dan objek reforma agraria,” ujarnya.

Dewi mendesak agar Bupati Serang dan Pemerintah Provinsi Banten tidak tinggal diam. Ia meminta agar surat rekomendasi dikeluarkan untuk mendukung hak-hak warga dan menolak perpanjangan izin HGB kepada PT PKP.

“Kalau ada political will, ini perkara yang mudah. Redistribusikan tanah itu kepada masyarakat. Jangan lagi pemerintah membolak-balik logika hukum dan sejarah. Justru perusahaan yang mengambil hak rakyat,” tandasnya.

Menurut Dewi, kasus Pulau Sangiang merupakan potret kecil dari carut-marut reforma agraria di Indonesia.

“Jika pemerintah serius, seharusnya Sangiang menjadi prioritas nasional, bukan dikorbankan untuk investasi,” katanya.

Penulis : Rasyid
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd