Beranda Nasional Konsumsi Rokok Indonesia Tembus Rp64 Triliun Per Tahun

Konsumsi Rokok Indonesia Tembus Rp64 Triliun Per Tahun

Ilustrasi - foto istimewa suara.com

JAKARTA – Rokok masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia pada 2021. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran per kapita di Indonesia untuk tembakau dan sirih mencapai Rp76.583 setiap bulan pada 2021 dan setahun mencapai Rp918.996.

Pengeluaran per kapita untuk rokok berada di posisi kedua tertinggi dalam kelompok bahan makanan. Posisinya hanya berada di bawah makanan, jadi yang pengeluaran per kapitanya sebesar Rp197.682 setiap bulan atau setahun mencapai Rp2.372 juta.

Sementara berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang. Pada 2011 lalu, jumlah perokok sekitar 60,3 juta orang, kemudian bertambah menjadi 69,1 juta jiwa di 2021.

Berdasarkan data tersebut boleh dibilang pengeluaran rokok masyarakat Indonesia yang sebanyak 69,1 juta perokok mencapai Rp64 triliun pertahun.

Menyikapi temuan tersebut, Direktur Centre of Youth and Population Research (CYPR) Dedek Prayudi menjelaskan, kegagalan pemerintah dalam menurunkan prevalensi merokok lantaran masih gamang untuk mendukung penggunaan produk tembakau alternatif.

Padahal, menurut dia, produk tersebut telah menerapkan konsep pengurangan bahaya sehingga memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok, sebagaimana telah dibuktikan dalam berbagai kajian ilmiah dari dalam dan luar negeri.

“Jika produk tembakau alternatif bisa diregulasi dengan baik dan tepat, maka produk ini dapat menjadi solusi tambahan untuk mengatasi prevalensi merokok. Namun, sayangnya Pemerintah Indonesia belum merencanakan atau merumuskan regulasi bagi produk tembakau alternatif secara khusus,” katanya di Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Pemerintah Indonesia, lanjut Dedek, seharusnya bisa mengikuti langkah Inggris, Selandia Baru, dan Jepang yang telah berhasil menurunkan prevalensi merokok berkat pemanfaatan produk tembakau alternatif.

Bahkan, negara-negara itu telah meregulasi pemanfaatan produk tersebut. Selain efektitivitas dalam menekan angka perokok, pemerintah juga perlu memisahkan regulasi antara produk tembakau alternatif dan rokok.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan menambahkan, dengan meregulasi pemanfaatan produk tersebut, maka pemerintah dapat memberikan pilihan kepada perokok dewasa yang kesulitan untuk berhenti merokok dengan beralih ke produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko.

Dengan adanya pilihan yang bersumber dari pemerintah, perokok dewasa dapat menentukan sikap dalam memilih produk tembakau.

“Pilihan ini nantinya dapat menjadi cara bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas kesehatan,” kata dia.

Menurut Satria, ada dua potensi negatif jika pemerintah belum melihat produk tembakau alternatif sebagai pilihan yang lebih baik daripada rokok.

“Pertama, prevalensi merokok akan tetap tinggi karena perokok dewasa tidak mendapatkan pilihan. Kedua, publik menjadi jengah karena menyadari bahwa informasi akurat mengenai produk tembakau alternatif merupakan hak informasi yang seharusnya didapatkan oleh publik, khususnya perokok dewasa,” ujarnya. (Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini