Beranda Sosok Kisah Cornelis de Houtman dari Gouda (2)

Kisah Cornelis de Houtman dari Gouda (2)

Ilustrasi kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten. (ist)
Awal Pelayaran Menuju Timur
Angin laut membawa aroma garam dan kebebasan. Di geladak kapal yang berderit diterpa ombak, Cornelis de Houtman berdiri menatap cakrawala tanpa ujung. Setelah setengah tahun tinggal di tanah air, lautan kembali memanggilnya.
Di sisinya, Frederick de Houtman, sang adik, menatap ke arah timur. Keduanya berlayar di bawah bendera De Moucheron, bangsawan asal Veere yang menjadi penyandang dana. Kali ini, mereka menargetkan Aceh, tanah rempah yang menjadi legenda di pelabuhan-pelabuhan Eropa.
Namun sejarah tidak selalu berpihak pada yang pertama. Lima minggu setelah kapal Cornelis berangkat, Jacob van Neck memimpin armada lain dengan kekuatan besar dan dukungan Compagnie van Verre—cikal bakal VOC. Van Neck tiba di Banten dan pulang membawa kapal penuh rempah. Dunia mengingat yang menang, sementara nama Cornelis perlahan tenggelam.
Kenangan dari Kota Gouda
Meski sejarah mencatat Van Neck sebagai pemenang, kota Gouda tidak melupakan dua bersaudara de Houtman. Pada tahun 1880, dua setengah abad setelah kematian mereka, warga mendirikan monumen peringatan sederhana. Bagi Gouda, Cornelis dan Frederick tetap pelopor yang pertama menantang samudra demi kejayaan Belanda.
Persiapan Ekspedisi Kedua
Dalam pelayaran terakhirnya, Cornelis bukan lagi juru tulis, melainkan laksamana armada dua kapal, Leeuw dan Leeuwin. Ia memberi komando Leeuwin kepada Frederick, sementara ia sendiri memimpin Leeuw bersama Pieter Dirksz Stockmans.
De Moucheron menambahkan nuansa internasional dengan merekrut John Davis, pelaut Inggris legendaris. Davis dikenal bukan hanya karena keahliannya menavigasi, tetapi juga karena keberaniannya menantang dominasi Spanyol di laut.
Saat kedua kapal meninggalkan pelabuhan, langit musim panas menyala warna tembaga. Cornelis berdiri di geladak tanpa berkata-kata—belum tahu bahwa lautan yang memberinya nama, kelak menjadi saksi akhir hidupnya.
Kabut Bayang di Aceh
Angin utara membawa bau tanah dan rempah yang lembap. Pada 24 Juni 1599, dua kapal Belanda tiba di Pulau Weh, gerbang Aceh Darussalam. Namun sambutan di timur tidak sehangat harapan mereka.
Rakyat Aceh masih curiga pada orang asing, terutama Belanda. Sikap keras Cornelis yang di Eropa dianggap tegas, di mata Aceh terlihat sombong. John Davis menilai Cornelis sebagai pemimpin yang “haus kehormatan tapi miskin kebijaksanaan”.
Hanya Frederick yang menulis dengan nada tenang tentang kakaknya dalam karyanya Cort Verhael.
Perjalanan panjang dari Belanda, singgah di Madagaskar, hingga tiba di Aceh membawa firasat buruk. Penduduk Madagaskar menolak berdagang, mengingat perlakuan kasar pelaut Belanda sebelumnya. Dari sana, tanda-tanda kesialan mulai terasa.
Intrik dan Kesalahpahaman di Istana Aceh
Setibanya di Aceh, Cornelis berharap menjalin aliansi dagang dan politik. Namun Affonso Vicente, agen Portugis, menebar fitnah bahwa De Houtman datang untuk menaklukkan Aceh. Sultan yang semula bersahabat mulai mencurigai niat Cornelis.
Sikap hemat Cornelis memperburuk keadaan. Sultan yang terbiasa menerima hadiah besar merasa terhina. Sejarawan Prancis Jurien de la Gravière menulis, “Jika Portugis di posisinya, mereka pasti tahu cara membuat Sultan tersenyum.”
Awalnya Sultan ingin bersekutu melawan Johor, tetapi Cornelis menolak terlibat perang karena trauma masa lalu di Banten. Penolakan itu dianggap penghinaan, dan hubungan mereka memburuk cepat.
Pengkhianatan di Tanah Aceh
Pada 11 September 1599, tragedi pecah. Di pelabuhan, Frederick dan pedagang Prancis Gyon le Fort tengah memeriksa muatan ketika utusan Sultan datang membawa hidangan. Para pelaut Belanda tak menyadari bahwa makanan itu telah diracuni ketjoeboen.
Beberapa menit kemudian, puluhan awak kapal tersungkur kejang. Di tengah kekacauan, prajurit Aceh menyerbu kapal. Cornelis de Houtman bertahan bersama tiga perwira, hingga akhirnya Laksamana Malahayati menebasnya dalam duel mematikan.
John Davis memimpin perlawanan terakhir. Ia memotong tali sauh dan menembaki pelabuhan. Laut berubah merah.
Sebanyak 28 orang Belanda tewas, dan Frederick ditangkap bersama beberapa awak lain. Sultan menyesal, namun semuanya sudah terlambat.
Akhir Sebuah Legenda
Setelah darah cukup tumpah, Sultan memanggil Gyon le Fort untuk berdamai. Namun ia menolak dan hanya berkata pelan,
“Cukuplah darah yang tumpah di sini.”
Sebagai perwira tertinggi yang tersisa, ia memerintahkan:
“Naikkan jangkar. Kita pulang.”
Dua kapal perlahan meninggalkan pantai Aceh—membawa kabar duka dan meninggalkan jasad Cornelis de Houtman, sang pelopor pelayaran Belanda ke Timur.
Warisan yang Tak Tenggelam
Meski pelayarannya berakhir tragis, ekspedisi Cornelis membuka jalan bagi generasi setelahnya: VOC, kolonialisme, dan hubungan panjang antara Nusantara dan Eropa.
Cornelis de Houtman tidak hanya dikenang sebagai pelaut, tetapi juga simbol keberanian sekaligus kesalahan manusia di hadapan ambisi besar.
Cerita ini diadaptasi dari buku: De eerste schipvaart der Hollanders naar Oost-Indië, 1595-1597 karya Jarig Cornelis Mollema. (1935)