Beranda Opini Kedelai Antara Harapan dan Kenyataan

Kedelai Antara Harapan dan Kenyataan

Sugiyarto.S.E.,M.M Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang

Oleh : Sugiyarto,S.E.,M.M,                           Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang

Presiden Jokowi saat peresmian pembangunan pertanian 2021 di Istana Negara kembali menegaskan kepada pembantunya (para menteri) untuk bekerja dengan cara yang luar biasa dalam mempersiapkan Indonesia menjadi negara swadaya pangan. Salah satu komoditas yang menjadi perhatian presiden adalah permasalahan kedelai.

Tempe dan tahu adalah makanan asli Indonesia serta identik dengan makanan kaum marginal. Stigma ini timbul, karena ada teori bahwa tempe adalah salah jenis makanan yang memiliki kandungan protein tinggi selain daging, sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia. Menurut ahli gizi, tempe bisa menjadi pengganti daging untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Teori bahwa tempe memiliki banyak kandungan protein adalah sebuah fakta. Bahkan ada  pemikiran dari sebagian masyarakat kita bahwa dengan mengkonsumsi tempe dan tahu secara  rutin, keturunan mereka bisa menjadi generasi pintar dan sehat.

Fakta di lapangan sebagian besar masyarakat kita mengkonsumsi tempe, lebih karena faktor murah dibandingkan faktor gizi. Padahal tempe bila dikonsumsi secara konsisten dengan proses yang baik dan benar, bisa mengendalikan kolesterol jahat (LDL), karena tempe mengandung omega-3 dan omega-6.

Mungkin di antara kita sering membeli gorengan di pinggir jalan, salah satu pilihannya jatuh pada tempe goreng hanya sebatas untuk mengganjal perut atau sekadar sebagai camilan dalam perjalanan.

Khusus masyarakat yang berada di wilayah Solo-Jogja, tempe selalu menjadi pendamping setia ketika masyarakat makan soto di warung. Ada sebagian hotel di Jawa Tengah menyajikan tempe mendoan atau orek tempe sebagai pelengkap sarapan pagi bagi tamu hotel.

Ketika tempe sudah menjadi bagian dari kebutuhan  pokok masyarakat, maka ketergantungan terhadap bahan baku (kedelai) akan semakin tinggi. Hal ini terbukti hampir setiap tahun selalu terjadi permasalahan pasokan kedelai. Kalaupun ada, harga yang diperoleh pengrajin tempe sangat tinggi, sehingga para pengrajin memilih untuk berhenti produksi.

Mereka memahami, bahwa pasar produk  mereka adalah masyarakat kelas bawah.  Walaupun tempe juga dikonsumsi oleh sebagian masyarakat kelas menengah ke atas. Mungkin karena tempe identik dengan pasar tradisional dan gerobak sayur. Sehingga banyak masyarakat sendiri yang kurang peduli apalagi para pengambil kebijakan di negeri ini.  Sehingga solusi yang tawarkan selalu hanya untuk penyelesaian permasalahan jangka pendek bukan solusi jangka panjang

Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi jika   tidak diimbangi dengan pasokan kebutuhan pangan yang tinggi dalam jangka panjang, akan menimbulkan permasalahan sosial di negara kita dan bisa membangun image yang tidak baik terhadap pemerintah.

Semua rakyat Indonesia mengerti tempe banyak dikonsumsi oleh masyarakat, namun banyak masyarakat yang tidak mengerti bahwa  bahan baku tempe dan tahu sebenarnya masih didatangkan dari luar negeri. Jangan-jangan pemimpin kita ini mengenal tempe dan tahu  tapi tidak memahami kalau kedelainya masih didatangkan dari luar negeri.

Negara kita memiliki lahan yang sangat luas dan subur. Selama kita ada kemauan dan niat baik untuk mengembangkan dan membuat  produktif, maka bumi yang sangat luas ini bisa memberikan manfaatnya yang luar bisa besar kepada masyarakat Indonesia.

Kita harus menyadari bahwa kebutuhan pangan tiga puluh ke depan dengan pertambahan jumlah penduduk tinggi, akan berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan pangan di dalam negeri.

Presiden Jokowi sudah memulai dengan konsep food estate di provinsi Kalimantan Tengah, namun dengan sisa pemerintahan  yang tinggal tiga tahun lagi kemungkinan besar belum bisa memberikan hasil dan perkembangan yang signifikan.

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab mundurnya percepatan realisasi  food estate yang digagas oleh presiden. Banyak anggaran yang direlokasi untuk kepentingan penguatan ekonomi nasional selama masa pandemi Covid-19, sehingga banyak menguras  keuangan negara yang menambah defisit  APBN semakin melebar.

Kita patut bangga masih ada petani kedelai di daerah Jawa Timur yang sangat kreatif dengan memanfatkan lahan bekas galian tambang C  sebagai lahan pertanian kedelai dengan pendampingan yang baik dari pemerintah  daerah setempat. Sehingga petani bisa menikmati harga yang baik, ketika negara eksportir kedelai mengalami permasalahan  panen.

Kita harus tetap optimis walaupun permasalahan bangsa ini sangat komplek. Dengan arah dan kebijakan yang benar dalam memetakan kebutuhan pangan dengan konsep food estate sebagai pusat cadangan kebutuhan pangan dalam jangka panjang maka kekuatan bangsa dalam memenuhi kebutuhan pangan dari dalam negeri bisa terpenuhi.

Jangan sampai tahu bulat, tahu gejrot, tempe mendoan, dan orek tempe yang saat ini bisa kita nikmati dengan mudah suatu saat harus didatangkan dari luar negeri. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, namun bisa terjadi jika  para pemimpin bangsa ini hanya berpikir dan melihat kepentingan jangka pendek.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini