Beranda Opini Kado Besar Nahdlatul Ulama Untuk NKRI (Refleksi Harlah Nahdlatul Ulama ke 101)

Kado Besar Nahdlatul Ulama Untuk NKRI (Refleksi Harlah Nahdlatul Ulama ke 101)

Abdul Jabar. (doc.pribadi)

Oleh : Abdul Jabar, S.Pd.I
Ketua Yayasan Sahabat Mandiri dan pengawai Sekretariat DPRD Kota Cilegon

31 Januari 101 tahun yang lalu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh para ulama NU (16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926) di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Berdirinya NU tidak bisa lepas dari peran mbah Wahab Chasbullah sebagai operator lapangan yang membentuk tiga organisasi pergerakan sebagai embrio NU yaitu Nahdlatul Wathon (NW), Tashwirul Afkar atau Nahdlatul Fikr dan Nahdlatul Tujar.

Pendirian NU bisa dikatakan sebagai respon para ulama dan umat Islam Nusantara atas kondisi sosial politik yang terjadi pada saat itu yakni untuk membendung gerakan Wahabi yang puritan dan anti tradisi ini, para ulama membentuk tim yang disebut Komite Hijaz, diketuai oleh KH. Wahab Chasbullah. Tim ini bertugas melakukan lobi dan negosiasi dengan Raja Arab yang melakukan persekusi terhadap ulama-ulama yang tidak sepaham dan berencana menghancurkan beberapa situs penting dalam sejarah Islam.

Lahirnya organisasi NU dengan cepat tersebar di seluruh Indonesia melalui para Kiai pondok pesantren di daerah masing-masing. Salah satunya di daerah Banten bergabung dengan Jam’iyyah NU seperti Pondok Pesantren Al-Jaharotunnaqiyah (KH. Abdul Latif), KH. Brigjen Sam’un (Al-Khairiyah) Cilegon Pondok Pesantren Nurul Falah Petir Serang (KH. Abdul Kabir), Pondok Pesantren Mat’laun Anwar Menes Pandegelang (KH. Mas. Abdurrahman), dan Ponpes Wasilatul Falah Kabupaten Lebak serta beberapa pondok pesantren lainnya.

Hal itu terbukti bahwa Muktamar NU yang ke 12 dilaksanakan di Menes Banten tahun 1938 sebagai tuan rumah. Sejarah singkat ini menunjukkan, spirit perjuangan NU adalah melawan tirani, baik tirani negara yang dicerminkan oleh pemerintah kolonial maupun tirani agama yang tercermin dalam gerakan puritanisme agama kaum Wahabi. Spirit ini yang membentuk cara pandang dan pemahaman ulama dan umat NU yang kemudian menjadi habitus karena tertanam secara otomatis (built in) dalam kesadaran umat NU. Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama NU, yang menunjukkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermazhab dalam Islam.

Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan zaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.” NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinnekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.

Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tathorruf). Tradisi keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia kerap mendapat tudingan negatif dari sejumlah kelompok. Tudingan itu datang dari kelompok yang kerap membawa paham puritan (puritanisme) dengan menolak segala bentuk improvisasi cara beragama masyarakat dengan tuduhan bid’ah dan lain-lain. Seperti tradisi, muludan, tahlilan, lebaran ketupat yang beberapa hari lalu dirayakan masyarakat Indonesia setelah berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Tradisi yang juga disebut Syawalan dengan ketupat sebagai hidangan utama ini kerap mendapat tuduhan bid’ah selain tradisi-tradisi lain yang berkembang di masyarakat.

Sikap NU untuk NKRI

Sikap ideologis NU terhadap Pancasila dan NKRI juga tercermin dalam penerimaan asas tunggal Pancasila pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Meski sebelumnya juga menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama NU. Sikap ini pun medapat cemoohan dari beberapa kalangan karena menganggap NU oportunis dan politis. Bahkan ada sebagian umat Islam yang mencurigai NU dibayar oleh pemerintah. Ketika muncul tirani pemerintah Orde Baru, sehingga terjadi hegemoni negara atas rakyat, maka NU tampil menjadi kekuatan kritis terhadap negara. Oleh Nakamura (1982) sikap NU ini disebut sebagai “Tradisionalisme Radikal”.

Sikap ini dilakukan NU sebagai bentuk menjaga NKRI dan Pancasila sekaligus upaya agar Pancasila tidak menjadi alat kekuasan yang tiran. Hal ini secara tegas dinyatakan Gus Dur: “Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya, tidak peduli apakah dia akan dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam.”

Pasca reformasi, tantangan NU tidak semakin berkurang. Keterbukaan iklim sosial politik yang membuka arus kebebasan di hampir semua sektor telah menjadikan Indonesia sebagai medan pertarungan bebas (free battle field) berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Akibatnya muncul berbagai anomali sosial yang menimbulkan keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat dalam gerakan radikal, munculnya kelompok intoleran di satu sisi dan di sisi lain munculnya gerakan pasar bebas yang melakukan eksploitasi sumber ekonomi dengan mengabaikan rasa keadilan. Dalam kondisi demikian, secara instingtif NU merasa terpanggil untuk bergerak membela dan mepertahankan NKRI dan Pancasila. Sikap ini muncul secara spontan, tanpa ada yang memerintah apalagi memfasilitasi. Meskipun sendirian, NU terutama Banser, tetap bergerak melawan provokasi dan berbagai tindakan anarki yang menggunakan simbol agama untuk kepentingan politik. Karena menurut NU gerakan seperti ini bisa mengancam integrasi bangsa.

Sebagaimana yang pernah dialami oleh para pendahulunya, ketika melakukan tindakan tersebut, saat ini NU juga mendapat caci maki dan fitnah dari kelompok Islam garis keras. NU dituduh membubarkan pengajian, anti ulama, penjaga gereja bayaran, liberal, sok nasionalis dan sejenisnya. Dulu tudingan seperti ini datang dari orang luar. Sekarang tudingan seperti ini bahkan datang dari beberapa kalangan NU sendiri yang sudah terkontaminasi oleh paham dan budaya kaum radikal sehingga tega menista para ulama dan sesepuh NU. Di sisi lain NU juga melakukan kritik tajam terhadap sistem ekonomi kapitalis yang eksploitatif. Sikap kritis ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk keputusan, juga berbagai gerakan advokasi yang dilakukan oleh umat.

Meskipun demikian, harus diakui, berbagai tarikan kepentingan dan godaan materi sempat membuat goncangan bahkan menimbulkan keretakan di beberapa bagian dari tubuh NU. Namun demikian kuatnya bingkai dan tali pengikat NU yang longgar itu tetap bisa menjaga keutuhan, sehingga serpihan-serpihan yang retak itu tidak sampai lepas dari tali pengikat.

Sejarah panjang NU dalam menghadapi gempuran badai fitnah, intrik, manuver politik dan caci maki merupakan modal dalam menghadapi berbagai goncangan situasi yang bakal terjadi akibat menguatnya kontestasi dan pertarungan ideologi yang sarat kepentingan. Hal ini menunjukkan bahwa api perjuangan NU terus menyala hingga sekarang. Selamat ulang tahun NU ke 101 Tahun, semoga kado besar NU untuk NKRI tepak konsinten dalam mempertahankan Pancasila dan NKRI dan semoga NU tidak kesepian dan sendirian lagi saat menerima fitnah, caci maki dan hinaan saat menjaga keutuhan bangsa. Yang terpenting, semoga NU makin kokoh dan tegar menghadapi keadaan yang makin terjal dan berliku. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini