SERANG – Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP) menilai pandemi Covid-19 dapat menurunkan kualitas Pilkada 2020. Ini terjadi karena adanya tahapan Pilkada yang harus disesuikan dengan protokol kesehatan.
JRDP berharap baik pemerintah dan penyelenggra pemilu setidaknya bisa menggeser waktu pelaksanaan Pilkada ke tahun 2021.
Seperti yang disampaikan, Badan Pekerja JRDP, Ade Buhori. Berdasarkan analisa JRDP, setidaknya ada tiga tahapan krusial yang terdampak dengan adanya pandemi. Yakni pemutakhiran daftar pemilih, pencalonan, serta pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
“Pemutakhiran daftar pemilih itu semua warga negara harus dicoklit oleh petugas KPU, tanpa terkecuali. Sisi lain, protokol kesehatan membatasi adanya interaksi sosial,” kata Ade, Sabtu (6/6/2020).
Di tahap pencalonan, lanjut Ade, jika di sebuah daerah yang terdapat calon perseorangan, maka KTP dukungan itu juga harus diverifikasi faktual secara keseluruhan dengan cara petugas mendatangi setiap rumah pendukung.
“Pada hari H pemungutan suara, akan sangat sulit bagi KPPS untuk mengatur lalu lintas pemilih yang keluar masuk dan kerumunan di luar TPS. Mempertimbangkan itu, kami sependapat dengan sejumlah elemen lain yang menyuarakan agar pilkada ditunda hingga tahun 2021. Prinsip utamanya adalah agar menjaga kualitas pilkada, sisi lain melindungi keselamatan pemilih di tengah pandemi,” jelas Ade.
Menurutnya, dengan menunda pilkada, kualitas persiapan menuju pilkada dapat lebih diawasi dan netralitas penyelenggaraannya serta kesetaraan para kontestan bisa lebih terjamin.
“Jika hari pencoblosan digelar Desember, maka semestinya penyelenggara pemilu harus memulai tahapan pra pencoblosan bulan Juni mendatang. Pada waktu tersebut, belum dapat dipastikan pandemi Covid-19 telah usai,” tuturnya.
JRDP juga menyoroti perihal adanya kesepakatan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk melakukan penambahan anggaran guna mengakomodasi protokol kesehatan. KPU RI mengusulkan dana tambahan senilai Rp 535,9 miliar untuk pelaksanaan Pilkada 2020 di 270 daerah pada 9 Desember mendatang.
Dana tambahan itu, bakal dipakai membeli alat pelindung diri (APD) untuk para petugas penyelenggara pemilu. Di antaranya masker, baju pelindung diri, sarung tangan, pelindung wajah, tong air, sabun cuci tangan, tisu hingga cairan disinfektan.
Terkait hal tersebut, aktivis JRDP, Iing Ikhwanudin menilai, penambahan anggaran itu jelas membebani APBN. Konsentrasi negara seluruhnya harus dipusatkan untuk penanganan pandemi. Iing menyatakan, KPU harus memberi jaminan bahwa penggunaan anggaran itu efektif.
“Jadi ini terkesan dipaksakan. Bukankah ketika digelar Desember 2020 biayanya justru tambah mahal, lantas kenapa harus bersikeras tetap digelar tahun ini. Kami juga ragu, biaya tambahan itu efektif hingga ke lapangan. Apalagi disambungkan dengan tingkat kedisplinan masyarakat. Jadi nanti KPU sibuk menumpuk masker, tapi praktik di TPS, masker itu sama sekali tidak digunakan. Ini adalah salah satu indikasi bahwa jika dipaksakan pilkada digelar 2020, maka celah hukum bisa menjerat penyelenggara. Bukan saja dari sisi maladministrasi tahapan, tapi juga penggunaan anggarannya,” kata Iing.
(Tra/Mir/Red)