Beranda Gaya Hidup Jenis Pekerjaan Ini Rentan Picu Depresi

Jenis Pekerjaan Ini Rentan Picu Depresi

Ilustrasi - foto istimewa tribunnews.com

Bicara soal depresi, World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa ada sekitar 300 juta orang menderita penyakit depresi sepanjang 2005. Jumlah ini semakin meningkat hingga mencapai lebih dari 18 persen setiap tahun.

Sedangkan di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan tingkat rasio deresi dan kecemasan mencapai 14 juta orang. Satu dari tujuh orang mengalami masalah kesehatan jiwa di tempat kerja.

Berbagai penyebab diduga dapat memicu masalah kesehatan jiwa di tempat kerja. Mulai dari beban pekerjaan yang melebihi kemampuan, hubungan antar karyawan dan atasan, lokasi kerja dari tempat tinggal, hingga adanya kasus kekerasan atau pelecehan di tempat kerja.

Dilansir dari Klikdokter.com, pada kenyataannya beberapa pekerjaan rentan bersinggungan dengan depresi dan kesehatan mental. Berikut ini adalah di antaranya:

1. Perawat atau pengasuh

Merawat anak atau orang sakit di rumah ternyata berisiko tinggi menimbulkan depresi. Survei tahun 2007 yang dilakukan oleh National Survey on Drug Use and Health (NSDUH) menyatakan bahwa sebanyak 10,8 persen perawat atau pengasuh berusia 18–64 menderita depresi.

Penyebabnya tentu saja persoalan tuntutan perawatan yang menguras emosi.

2. Pekerja kuliner

Orang yang bekerja di dunia kuliner, mulai dari koki hingga pelayan restoran, berisiko mengalami depresi. Hal ini terkait dengan masalah kepuasan pelanggan.

Dilansir dari Health.com, sebanyak sepuluh persen kasus depresi di Amerika terjadi pada pekerja di bidang ini.

3. Pekerja kreatif

Sebagian besar penyebab depresi pada seniman atau pekerja kreatif lainnya adalah penghasilan dengan nominal yang tak tentu dari banyaknya waktu kerja yang dihabiskan. Sementara itu tuntutan gaya hidup juga tinggi.

Profesi ini mengambil porsi 9,1 persen dari kasus depresi yang pernah terjadi dan rata-rata penderita juga memiliki penyakit bipolar.

4. Bagian keuangan

Bertanggung jawab atas kekayaan orang lain bisa menjadi sangat berat bagi kesehatan emosi seseorang. Sebuah studi menyatakan, kesehatan emosional para akuntan ditekan oleh jam kerja yang panjang, tuntutan yang keras, serta kekhawatiran membuat kesalahan.

Berdasarkan Forbes, kasus depresi dari pekerja di bidang ini berkontribusi sebesar 6,7 persen.

5. Sales

Kesulitan ekonomi saat ini tentunya menjadi tantangan yang cukup besar bagi para sales. Sebanyak 6,7 persen dari studi NSDUH disebutkan orang yang bekerja di bidang penjualan mengalami depresi dan gangguan emosional.

Atasi dengan yoga

Melihat fenomena maraknya kasus bunuh diri karena depresi seperti yang terjadi pada Kate Spade dan Anthony Bourdain, dr. Karin Wiradarma dari Klikdokter memaparkan bahwa solusi agar terhindar dari depresi sebenarnya bisa didapatkan dari olahraga yoga.

“Yoga dapat meningkatkan produksi hormon serotonin yang menimbulkan perasaan bahagia dan bersemangat. Selain berolahraga, yoga juga bisa menjadi ajang berkumpul dan bersosialisasi bersama teman atau mengenal orang baru. Perbaikan dari kehidupan sosial tersebut juga berdampak pada timbulnya mood yang lebih baik,” jelasnya.

Sebuah penelitian di Jerman pada tahun 2005 dilakukan terhadap 24 wanita yang mengalami stres dan depresi. Setelah menjalani kelas yoga selama 90 menit yang dilakukan secara rutin selama tiga bulan berturut-turut, angka depresi mereka berkurang hingga 50 persen. Angka stres dan kecemasan menurun hingga 30 persen dan kebahagiaan meningkat sebesar 65 persen.

Selain itu, dengan rutin berolahraga yoga, gejala psikosomatik seperti sakit kepala, nyeri punggung, dan insomnia turut membaik.

Beberapa jenis pekerjaan bisa jadi berisiko menimbulkan depresi hingga memicu seseorang untuk bunuh diri. Jika Anda mengalami kecemasan tingkat tinggi, segera temui psikiater atau psikolog. Semakin cepat Anda bertindak, maka semakin cepat pula Anda mendapatkan penanganan yang tepat. (Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini