LEBAK – Gandi (35) sudah meninggalkan rumah saat langit masih abu-abu. Hanya berbalut kaos, celana pendek, dan kaos kaki yang dijepit sandal, ia menerobos kabut pagi di Kasepuhan Pasireurih, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak.
Motor Supra Fit yang sebagian bodinya hilang, menjadi kawan setianya dalam menanjak bukit curam Gunung Bongkok. Motor tua itu meraung saat melintasi jalan setapak yang sudah diberi batu agar ban tidak terpeleset.
Sesampainya di atas, ia memarkir motor dekat sebuah saung sederhana. Gandi lalu melangkah menuju deretan pohon aren yang menunggu untuk dipanjatnya hari itu, menggunakan tangga rakitan dari sebatang bambu panjang yang sudah diberi lubang-lubang berjarak pas sebagai pijakan kakinya.
Dalam sehari, Gandi bisa mengumpulkan paling banyak dua lodong penuh nira. Air bening yang nanti akan ia masak berjam-jam di saung tempat ia memarkir motor. Air nira itu ia didihkan sampai buih-buihnya hilang dan berubah menjadi cairan pekat berwarna merah. Dari sana, manis itu akan dituangkan ke cetakan yang mirip permainan congklak lalu ditiriskan, dan dijual per hulu atau per batok.
“Dari Rp6 ribu sampai Rp8 ribu. Dijual ke bos tiap hari biasanya 15 hulu,” kata Gandi kepada BantenNews.co.id, Sabtu (15/11/2025).
Gandi mengaku punya ratusan pohon di Gunung Bongkok, warisan turun-temurun. Pohon-pohon itu katanya sudah dimiliki masing-masing petani. Ia tidak pernah menghitungnya dengan pasti namun setiap petani tidak akan mengambil nira dari pohon yang bukan miliknya.
“Enggak akan ketukar tanpa perlu tanda,” ujarnya.
Tak jauh dari Kasepuhan Pasireurih, di Kampung Harian, Desa Hariang, Kecamatan Sobang, masyarakat setempat pun menggantungkan ekonomi mereka pada produksi gula aren sebagai komoditas utama.
Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB) CV Mitra Mandala, sebanyak 148 petani mendapatkan pendampingan dan pembinaan. Gula aren dari petani diolah menjadi gula semut halus berwarna coklat dengan varian original, jahe merah, dan jahe kunyit.
“Bedanya gula aren kami dari pohon asli, kaung. Kalau gula jawa pake kelapa atau gula tebu. Ini dari nira kaung asli, makanya aromanya beda sama rasanya kalau udah dibikin gula semut itu manisnya berkurang,” kata Angga selaku Quality Contro (QC) CV Mitra Mandala.
Angga menuturkan, gula aren yang didapatkan dari para petani berasal dari pohon aren liar di hutan, bukan dari tanaman budidaya. selain memproduksi gula untuk kebutuhan pangan, mereka juga mengolah gula campuran khusus industri yang dikerjakan secara terpisah.
Gula semut dari Kampung Harian pun telah merambah pasar mancanegara, mulai dari Korea Selatan, Amerika Serikat, Jerman, Singapura, hingga Malaysia. Untuk ekspor, Mitra Mandala mematok harga sekitar Rp40.000 per kilogram, sementara untuk pasar dalam negeri harganya lebih murah lima ribu rupiah.
“Kalau ekspor itu kemarin dengan Korea Selatan kontrak satu tahun 80 ton,” ucapnya.
Di pasar lokal, produk gula semut mereka sering dibeli oleh sejumlah kedai kopi di Tangerang dan wilayah sekitarnya, yang memanfaatkannya sebagai bahan utama minuman kopi gula aren yang kini digemari anak muda.
Hingga kini, gula semut produksi CV Mitra Mandala belum dipasarkan secara daring dan masih bergantung pada para reseller. “Biar pembeliannya tetap ke kami, nanti reseller saja yang menjualnya secara online,” katanya.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi
